Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta meluncurkan Catatan Akhir Tahun (CATAHU) 2021. Peluncuran ini dilatari kondisi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan. Sudah hampir dua tahun kita bergelut dengan krisis ini. Kondisi ini sejalan dengan kondisi demokrasi dan hak asasi manusia yang terus memburuk. Kondisi Pandemi Covid-19 memperlihatkan pada kita bagaimana penanganan pandemi dilakukan melalui 2 cara. Pertama, penanganan pandemi oleh Tiongkok yang terjadi secara cepat dan efektif karena segala sesuatu terlaksana dengan cara top down dan tersentralisasi. Kedua, pengalaman negara-negara seperti Selandia Baru, Australia, Korea Selatan, dan Taiwan yang secara efektif melakukan penanganan pandemi tanpa menegasikan demokrasi.
Pemerintahan Jokowi mengambil langkah yang mirip dengan yang pertama tadi, dengan tidak mendengar para ahli kesehatan, mengutamakan pertumbuhan ekonomi, meremehkan dan merepresi kritik dengan cara menuduhnya ingin mengganggu pemerintahan, menyelipkan agenda anti demokrasi ketika melakukan pembatasan sosial, serta menginstitusionalisasikan korupsi.
Selama pandemi terjadi, penderitaan yang paling kuat dirasakan oleh mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan, baik secara ekonomi (baca: miskin) maupun relasi kuasa (perempuan, anak, disabilitas, dan lain-lain). Bagaimana tidak, menurut Laporan Pelanggaran Hak Buruh di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Selama Pandemi Covid-19 yang disusun LBH Jakarta, sekurang-kurangnya 8.077 buruh di Jakarta mengalami pelanggaran hak selama tahun 2020[1], dengan berbagai bentuk, mulai dari PHK secara sewenang-wenang sampai dengan tindak pidana perburuhan. Selain itu, upah buruh di Jakarta hanya naik 37 ribu rupiah. Tentu saja ini berkat jeratan rezim upah murah Omnibus Law UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya.
Pandemi Covid-19 sebagai suatu krisis justru menjadi surga bagi para pemburu rente. Penggelontoran dana jumbo untuk penanganan pandemi dan dampak ikutannya, melalui kartu prakerja dan bantuan sosial (bansos), namun disinilah letak masalahnya. Proyek kartu prakerja yang sarat akan benturan kepentingan (conflict of interest), pengadaan bansos dikorupsi oleh elite politik yang bekerja sama dengan birokrat-pengusaha, dan pengadaan tes swab PCR maupun obat-obatan yang turut menyeret nama-nama pejabat publik, seperti Moeldoko, Erick Thohir, dan Luhut Pandjaitan.
Kondisi tersebut kian dilengkapi dengan pelemahan sistematis terhadap lembaga antirasuah yang selama ini diandalkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui serangkaian kriminalisasi, serangan fisik dan teror, stigma ‘taliban’, revisi Undang-Undang KPK, dan ditutup dengan pemecatan 57 pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), yang menurut Ombudsman RI dan Komnas HAM sarat akan maladministrasi dan pelanggaran HAM.
Terkait dengan perlindungan perempuan sebagai kelompok rentan. Permasalahannya masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Kekosongan instrumen hukum perlindungan perempuan berupa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan. Pada 3 September 2021 lalu, LBH Jakarta sudah menyampaikan 16 catatan penting mengenai RUU PKS versi Baleg DPR RI, adapun catatan tersebut dikeluarkan oleh LBH Jakarta sebagai respons atas materi muatan RUU PKS yang belum cukup memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.
Dampaknya, banyak kasus-kasus kekerasan seksual tidak ditangani secara serius dan mengalami penundaan berlarut (undue delay). Hal ini ditambah dengan inkompetensi aparat penegak hukum, wabil khusus kepolisian yang tidak berperspektif gender sehingga kekhususan dimensi relasi kuasa dalam kasus kekerasan seksual dianggap sebagai angin lalu.
Kondisi ini direspons serius oleh khalayak ramai dengan tagar #PercumaLaporPolisi. Tagar ini menandai gagalnya reformasi kepolisian sebagai mandat reformasi. Kepolisian terus-menerus menjadi cercaan publik, bukan hanya karena pelayanan publik yang buruk dan paling sering melanggar HAM. Namun juga sewenang-wenang dalam hal kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi. Tercatat, pembubaran diskusi film Endgame, ‘perburuan’ seniman mural di Tangerang, Bandung, Pangkalpinang, Pasuruan, dan tempat-tempat lain, pembubaran dan penangkapan peserta aksi May Day 2021, Hari Pendidikan Nasional, pelarangan aksi di berbagai tempat dengan alasan Covid. Padahal tidak ada bukti sahih bahwa aksi unjuk rasa menimbulkan klaster Covid-19 baru di masyarakat baik dalam maupun luar negeri.
Masih terkait dengan Omnibus Law Cipta Kerja, baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi (inkonstitusional) bersyarat, tapi absurdnya UU Cipta Kerja dinyatakan tetap berlaku dan pemerintah diwajibkan untuk memperbaiki prosesnya selama dua tahun. Seharusnya, undang-undang yang inkonstitusional langsung jadi tidak berlaku, namun publik menduga keras bahwa putusan tersebut merupakan kompromi MK.
Pada saat yang sama, MK juga sedang menguji Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara Dengan adanya undang-undang ini, dikhawatirkan militerisme akan semakin menguat dan kelompok vigilante seperti PAM Swakarsa akan kembali, kali ini dengan dasar hukum. Apalagi saat ini, TNI sedang melakukan operasi militer terselubung di Papua yang membuat ribuan warga mengungsi dan meregang nyawa. Terungkap fakta pula bahwa operasi militer tersebut memiliki kepentingan ekonomi berupa pengerukan sumber daya alam di Papua.
Permasalahan Jakarta (beserta daerah penyangganya) masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, banjir di musim penghujan yang masih menghantui tanpa upaya komprehensif, tepat guna, dan tepat sasaran selain menggusur warga, terkait hal ini, LBH Jakarta pada 11 Desember lalu telah menerbitkan catatan kritis mengenai RUU Penanggulangan Bencana. Selain itu, akses air masih buruk, bahkan ada upaya Gubernur secara diam-diam memperpanjang swastanisasi air Jakarta Upaya maupun tindakan penggusuran warga maupun pedagang tetap terjadi di masa pandemi seperti kasus Pancoran Buntu dan Menteng Dalam. Jakarta masih jadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Selain itu, lesunya kondisi ekonomi di tengah pandemi Covid-19 memaksa warga untuk mencari solusi dari pinjaman online. Nyatanya, solusi tersebut justru menambah penderitaan warga.
Di sisi yang lain, LBH Jakarta juga terus mendapatkan pengaduan permasalahan hukum dari masyarakat. Tercatat setidaknya sepanjang tahun 2021, dengan situasi pandemi Covid-19 yang tinggi—disertai dengan berbagai kebijakan pembatasan aktivitas oleh Pemerintah, LBH Jakarta masih menerima sebanyak 928 permohonan bantuan hukum dengan 3239 pencari keadilan. Sebanyak 841 permohonan merupakan pengaduan dari individu, dan 87 permohonan merupakan pengaduan kelompok.
Dilihat dari jenis kasusnya, tercatat 353 kasus PMU dengan pencari keadilan sebanyak 2810. Kemudian disusul oleh kasus Perburuhan dengan jumlah pengaduan sebanyak 271 kasus dan 741 pencari keadilan. Kasus Keluarga, Sipil dan Politik dan kasus Perempuan & Anak menjadi 3 kasus urutan terbawah.
Jika dilihat dari jenis pelanggaran hak, berdasarkan kategori Human Rights Information and Documentation Systems (HURIDOCS), pelanggaran Hak Sipil dan Politik menempati urutan tertinggi, dengan jumlah 683 pelanggaran. Selanjutnya pelanggaran hak Terhadap Kelompok Khusus berada diurutan ke-2 yaitu sebanyak 477 pelanggaran, dimana perlindungan terhadap kelompok khusus ini termasuk diantaranya hak pekerja, hak orang-orang yang ditangkap, hak tersangka, terdakwa, dan lain-lain. Tertinggi ke-3 pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya secara umum terdata sebanyak 333 pelanggaran.
Dari total pengaduan tahun 2021 yang masuk melalui pengaduan dan konsultasi, terdapat sebanyak 185 pengaduan dimana permasalahan hukum yang dialami merupakan dampak dari Pandemi Covid-19. Pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya secara umum menjadi pelanggaran tertinggi dengan jumlah 32 pelanggaran, kemudian Hak untuk Bekerja sebanyak 27 pelanggaran, sebanyak 25 pelanggaran Hak atas privasi, Hak untuk mendapatkan upah yang adil sebanyak 19 dan hak-hak lainnya.
Hal-hal tersebut di atas membuktikan bahwa pemerintah masih menjadi aktor utama pelanggar HAM rakyat dan merupakan suatu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa terdapat kemunduran total (total setback) di segala lini yang sungguh merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di tengah ruang-ruang demokrasi, LBH Jakarta sebagai bagian dari masyarakat sipil terus melancarkan berbagai upaya advokasi menanggapi berbagai langkah terhadap berbagai persoalan pelanggaran hak asasi manusia. Selama perjalanan satu tahun terakhir terdapat beberapa pembelajaran dari adaptasi gerakan bantuan hukum struktural LBH Jakarta dengan situasi pandemi COVID-19 diantaranya, mengkritisi penanganan Covid-19 yang lambat, antisains, dan membahayakan kelompok rentan, komersialisasi vaksin dan PCR, ‘pembunuhan’ KPK lewat TWK, menangani kasus-kasus kekerasan seksual, mendorong pengesahan RUU PKS dan mendukung Permendikbud 30/2021, mendampingi buruh-mahasiswa-rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi hanya karena aksi unjuk rasa, menguji perubahan UU MK ke MK sendiri, mencegah kembalinya militer ke ruang sipil dalam UU PSDN, mengkritisi seluruh masalah pengelolaan Ibukota (penggusuran, polusi udara, swastanisasi air, dan peraturan daerah bantuan hukum, dan seterusnya) melalui ‘rapor merah’ gubernur, menuntut pertanggungjawaban negara yang gagal mengendalikan pinjaman online melalui gugatan warga negara, dan seterusnya.
Lewat peluncuran CATAHU 2021 ini, diharapkan dapat menjadi sumber refleksi dan pengingat bahwa permasalahan ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia tidak bisa dilupakan begitu saja, namun harus diingat dan diselesaikan. Selain itu, kerja-kerja advokasi dalam kerangka gerakan bantuan hukum struktural perlu didokumentasikan dan dicatat sedemikian rupa agar menjadi pembelajaran berbagai pihak, dan tak lupa sebagai upaya melawan pembungkaman oligarki di tengah pandemi.
Jakarta, 17 Desember 2021
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
[1] Yenny Silvia Sari Sirait, et.al., Buruh Dicekik Pandemik: Laporan Pelanggaran Hak Buruh di DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi Selama Pandemi Covid-19, (Jakarta: LBH Jakarta, 2021).