Pelanggaran data pribadi kerap kait kelindan dengan Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Komnas Perempuan pada 2017 melaporkan, terdapat 65 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan di ruang media sosial (online) kemudian meningkat menjadi 97 kasus pada tahun 2018. Salah satu kasus KBGO yang mencuat adalah yang menimpa KJD dan beberapa aktivis lain dengan modus serupa. Nomor ponsel pribadinya dicatut orang tidak dikenal lalu dipromosikan sebagai nomor ponsel dalam akun-akun prostitusi online yang terdaftar di beberapa aplikasi kencan online. Akibatnya, KJD mendapatkan teror pelecehan dan kekerasan seksual berupa telepon, video call, dan pesan-pesan WhatsApp dari orang-orang yang ingin menggunakan jasa prostitusi online. Teror yang bermula pada 24 April 2018 ini membuat kehidupan pribadi dan profesionalnya terganggu. Tuntutan utama (primair) kedua, akan lebih tepat guna dalam menegakkan inti permasalahan dalam kasus ini.
ELSAM sebagai lembaga yang konsisten mengadvokasi kebijakan perlindungan data pribadi pun telah memberikan pendapat mereka dalam Amicus Curiae yang mendukung pernyataan ini. Selain itu, JPU juga menuntut terdakwa dengan Pasal 93 UU No. 24/2013 tentang Perubahan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan. Sudah ada putusan pengadilan, namun pasal yang diterapkan hakim tidak mewakili kebutuhan korban. Pada 13 Mei 2019 lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus terdakwa LAM bersalah atas tuduhan Pasal 27 Ayat (1) UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2018 tentang ITE dan Pasal 93 UU No. 24/2013 tentang Perubahan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, dan menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa LAM selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Meskipun terdakwa LAM diputus bersalah dan dihukum penjara, LBH Jakarta dan SAFEnet melihat bahwa putusan hakim atas kejahatan yang dilakukan oleh LAM tidak merujuk kepada apa yang terjadi kepada korban dan kerugian yang benar-benar dialami korban.
Shaleh Al Ghifari, Pengacara Publik LBH Jakarta, menyampaikan bahwa penggunaan vonis hukuman pada pelaku yang menggunakan Pasal 27 Ayat (1) UU ITE tidak sejalan dengan semangat perlindungan korban KBGO.
“Kami sangat menyayangkan keputusan jaksa dan hakim pada perkara ini yang memilih menggunakan pasal yang justru sering digunakan untuk mengkriminalkan korban KBGO yang bersuara,” keluhnya.
“Jika jaksa dan hakim serius mengutamakan perlindungan hak klien kami, dan juga demi mewujudkan efek jera bagi pelaku, seharusnya pidana yang diberikan adalah pidana Pasal 32 Jo. 48 UU ITE tentang perbuatan tanpa hak memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang lain yang tidak berhak,” tambah Shaleh.
Lebih lanjut, SAFEnet dan LBH Jakarta juga menyoroti sikap penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan berbasis gender agar lebih berpihak kepada pengalaman korban, baik dalam proses pelaporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga ke tahapan persidangan.
“Perempuan seringkali mengalami reviktimisasi atau menjadi korban kedua kalinya karena ketidakjelasan penanganan hukum, terutama dalam menghadirkan alat bukti dan saat persaksiannya yang dihadapkan langsung dengan pelaku,” pungkas Nabillah dari SAFEnet.
KJD menduga hal yang terjadi padanya diakibatkan pandangan politik dan pekerjaannya sebagai sutradara yang sedang membuat film dokumenter mengenai seorang tokoh politik yang sempat menuai banyak kontroversi, Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama.
“Apa yang terjadi pada kasus ini merupakan wujud penindasan terhadap perempuan. Dengan modus ancaman dan teror oleh pelaku, ada upaya mengubah cara pandang korban yang berbeda pandangan politik dan kepentingan,” terang Nabillah Saputri dari SAFEnet.
KJD melaporkan kasusnya ke kepolisian pada 25 April 2018 dan meskipun ditanggapi dengan lamban, akhirnya terduga pelaku yang berinisial LAM ditangkap pada akhir tahun 2018. Kasus ini disidangkan untuk pertama kalinya pada 1 April 2019, nyaris satu tahun setelah teror berlangsung.
Namun demikian dalam mendakwa pelaku Jaksa Penuntut Umum masih mengutamakan penggunaan pasal-pasal yang kerap kali digunakan untuk mengkriminalisasi korban perempuan yang mengalami kekerasan seksual, alih-alih mengutamakan pasal-pasal yang lebih tepat. Pasal utama (primair) yang digunakan untuk menjerat LAM adalah Pasal 27 Ayat (1) jo. Pasal 45 (3) terkait konten bermuatan melanggar kesusilaan dengan subsider Pasal 27 Ayat (3) jo. Pasal 48 (2) terkait pencemaran nama baik dari UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2018 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Oleh karenanya SAFEnet dan LBH Jakarta mendorong adanya peningkatan kapasitas dari para aparat hukum untuk peka melihat konteks gender dalam menyikapi modus dan bentuk kasus-kasus KBGO dan tidak hanya menggunakan pasal-pasal trendi UU ITE yang justru bersifat karet.