Rabu, 23 Juli 2014 menjadi saat yang paling memilukan bagi Ziman, istri, dan orang tua AA (korban). Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis Ziman 5 tahun penjara karena terbukti melakukan pencabulan terhadap AA (bayi 9 bulan) yang melanggar Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Mendengar putusan tersebut Ziman tertunduk menangis menahan ketidakadilan yang menimpanya, Ziman mengajukan banding atas putusan tersebut. Setelah putusan dibacakan, peristiwa yang ganjil terjadi yaitu Ayah dan Ibu AA bukanya marah atau teriak keberatan karena Ziman hanya dihukum ringan selama 5 tahun karena telah cabuli anaknya, namun mereka malah memeluk Ziman dan meneriakan agar tetap sabar, Tuhan tidak tidur, Allah adil. Orang tua AA ikut menangis dalam persidangan dan mengharapkan agar Ziman dibebaskan, karena Ibu AA yang sehari-hari menjaga dan merawat AA yakin bahwa anaknya tidak dicabuli bahkan sesaat sebelum dibawa ke rumah sakit, AA buang air besar dan tidak ada yang aneh sama sekali pada anus dan vagina AA. Perlu diketahui bahwa yang mendatangi LBH Jakarta untuk mendapatkan bantuan hukum bukanlah isteri Ziman, tetapi orang tua AA.
Sejak tahap awal penyidikan oleh Polres Jakarta Timur, kasus ini memang sarat dengan keganjilan, yaitu (1) Hakim mengatakan yang melaporkan kasus ini ke Polisi adalah pihak rumah sakit, padahal dalam berkas perkara yang menjadi pelapor adalah penyidik dari Polres Jakarta Timur yang menangani kasus ini, tentunya penyidik tidak memiliki kualifikasi sebagai pelapor; (2) Setelah AA diotopsi, Ibu korban dilarang menyentuh atau membuka penutup AA, dan ketika korban akan dimakamkan, Polisi melarang Ibu AA untuk ikut memakamkan dengan alasan harus ikut ke polisi, sehingga tetangga korban yang memakamkan; (3) Ayah AA pernah diminta oleh Polisi untuk memilih siapa yang akan dijadikan tersangka, apakah Ziman atau Kakeknya AA; (4) Selama AA dilakukan tindakan medis di IGD Rumah Sakit Bunda Aliyah, semua tindakan medis dilakukan tanpa ada persetujuan (inform consent) dari orang tua AA, diduga ada pelanggaran praktik/etik yang dilakukan oleh dokter dan rumah sakit; (5) Penyebab kematian AA bukanlah karena pencabulan, tetapi karena ada benda tumpul masuk ke dalam mulut AA sehingga mengambat nafasnya lalu mati lemas, diduga ini akibat tindakan medis yang dilakukan oleh Dokter; (6) Kasus ini terlihat sangat mewah, karena semua metode pemeriksaan dilakukan, seperti visum sampai dua kali, semua keluarga dekat dilakukan tes psikologis, lalu beberapa orang dilakukan tes mikrobiologi, beberapa orang dilakukan tes uji kebohongan, semua ahli dihadirkan dalam persidangan, padahal ahli-ahli tersebut sudah menyampaikan keterangannya dalam hasil pemeriksaan berupa visum maupun hasil tes. Hal ini bertentangan dengan praktik biasanya, ketika kita meminta dilakukan visum, biaya selalu dimintakan dari orang yang menjadi korban, Polisi selalu beralasan tidak ada dana atau anggaran untuk itu.
Pertimbangan Hakim yang memutus bersalah Ziman, dijatuhkan penuh dengan kekeliruan. Dalam persidangan sudah terbukti jika metode tes Mikrobiologi PCR tidak dapat membuktikan kalau Bakteri Chlamidya Trachomatis yang ada pada AA itu berasal dari Ziman, karena metode PCR tidak bisa menerangkan kalau bakteri pada Ziman DNA nya identik dengan bakteri pada AA, metode yang tepat adalah sequencing (tes DNA Bakteri), sehingga bisa dikatakan alat bukti hasil tes mikrobiologi dengan menggunakan tes PCR masih Prematur. Lebih parahnya lagi sampel bahan uji dari tubuh AA tidak diambil langsung oleh dokter Mikrobiologi, tapi diserahkan oleh Penyidik, kita tidak tahu itu benar-benar sample AA karena bisa saja tertukar dengan sample yang lain. Namun Hakim tetap saja buta menggunakan alat bukti hasil tes Mikrobiologi tersebut untuk mengatakan Ziman bersalah. Kemudian, Hakim menggunakan alat bukti tes kebohongan terhadap Ziman yang mana berdasarkan KUHAP ini tidak diakui, sistem hukum kita juga tidak mengakui nya, keakuratan dari hasil tes kebohongan juga masih bisa diragukan karena sangat gampang hasil tes tersebut dimanipulasi dengan cara dibentak-bentak, ditakut-takuti, atau karena kondisi mental dari yang diperiksa tidak siap atau tertekan, akan mempengaruh keakuratannya. Ahli mikrobiologi maupun psikologi forensic banyak yang meragukan kakuratan dari hasil tes ini, bahkan Mahkamah Agung dari USA menganggap alat bukti tes kebohongan ini invalid. Alat bukti lainnya yang dipakai oleh Hakim yaitu adanya visum yang menggambar luka divagina dan anus AA. Namun, visum ini pun masih diragukan, sebab terdapat perbedaan antara visum yang dibuat dengan hasil rekam medis. Dalam rekam medis tidak disebut sama sekali ada deskripsi luka divagina pada arah pukul 2, 3, 4 dan 6, namun di visum hal ini kemudian ada, dan yang lebih menyedihkan lagi visum dari RS. Bunda Aliyah dibuat berdasarkan hasil diskusi bukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Apakah ini boleh digunakan sebagai alat bukti? Hakim dalam persidangan juga mengabaikan kesaksian dari dua orang saksi dalam persidangan yang menerangkan kalau sebelum AA meninggal, dia buang air besar dan pipis, namun di vagina maupun di anusnya tidak ditemukan keanehan, tidak ada lecet atau kemerahan. Namun, kesaksian ini tidak dikutip / tidak dianggap sama sekali oleh Hakim.
Majelis Hakim telah melanggar Pasal 183 KUHAP, yang memutus bersalah tanpa minimum adanya dua alat bukti yang sah, dan putusan tersebut diambil penuh dengan keragu-raguan. Hakim telah melanggar asas beyond reasonable doubt (hakim dilarang memutus dengan keragu-raguanan). Maka dari itu LBH Jakarta bersama keluarga AA maupun Terdakwa, akan mengadukan Majelis Hakim yang menangani perkara ini kepada Komisi Yudisial maupun kepada Badan Pengawas MA. Selain itu, kami juga akan mengaduan pelanggaran kode etik/prosedur praktik yang diduga dilakukan oleh Dokteri IGD yang menangani AA dan Rumah Sakit Bunda Aliyah.