Jakarta, bantuanhukum.or.id—Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat memutuskan vonis 1 tahun 6 bulan penjara, kepeda perempuan berinisial K atas dugaan penggelapan uang sebesar kurang lebih 150 juta, Rabu 05/11/14. Putusan tersebut oleh Penasehat Hukum K dari LBH Jakarta dianggap kurang tepat, dan kurang memiliki dasar yang kuat.
“Putusan Hakim, kami nilai (tim Penasehat Hukum K—red) kurang tepat, mengingat ini bukanlah kasus penggelapan, karena tidak ada kesengajaan terdakwa melakukan tindak pidana, melainkan hanya kelalaian,” ungkap Ichsan salah satu Penasehat Hukum K setelah sidang putusan usai.
Peristiwa tersebut berawal pada 6 Januari 2014 saat K akan menyetorkan uang perusahaan tempatnya bekerja ke Bank. Pada hari tersebut K menunda pekerjaannya untuk menyetorkan uang ke Bank karena sakit, sehingga pada hari tersebut K benar-benar lupa menyetorkan uang tersebut. Pada tanggal tersebut pula ia kehilangan uang perusahaan senilai kurang lebih 150 juta. Sadar akan kelalaiannya K berusaha mencari pinjaman untuk mengembalikan uang tersebut, karena sudah 1 minggu ia tak kunjung mendapatkan pinjaman, akhirnya ia memberanikan diri untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak perusahaan.
Singkat cerita, sebelum pihak perusahaan tempat K bekerja melaporkan kejadian ini kepada pihak kepolisian, K sudah bertemu dengan petinggi perusahaannya untuk menyepakati mekanisme penyelesaian masalah. Akan tetapi K tetap ditangkap dan kemudian diproses oleh pihak kepolisian dari sektor Jakarta Pusat (Polsek Gambir).
“K tidak bermaksud menggelapkan uang. tidak ada maksud untuk mengambil uang milik perusahaan, penggelapan itu harus ada unsur kesalahan dalam bentuk kesengajaan, sementara untuk kasus ini tidak ada, K murni lalai,” tutur Ichsan.
Dalam persidangan pula tim Penasehat Hukum K sempat menghadirkan ahli untuk membedah kasus ini. Senada dengan bangunan teori kasus tim Penasehat Hukum K, Eva A. Zulfa (Dosen Ahli Pidana FH UI) menjelaskan bahwa kasus ini bukanlah perkara pidana.
“Tindakan pelaku tidak bisa disebut sebagai suatu kesengajaan, melainkan kasus ini adalah sebuah kasus kelalaian,” jelas Eva selaku saksi ahli.
“sebelumnya juga K dan perusahaan mencapai kata sepakat untuk membuat surat penyataan, surat pernyataan penggantian tersebut merupakan upaya untuk memulihkan keadaan seperti semula, sepatutnya penyelesaian permasalahan ini diselesaikan dengan prosedur Restorative Justice,” tambah Eva.
Namun pada sidang putusan, Majelis Hakim berpendapat lain, Hakim memang menyetujui bahwa kehilangan uang adalah suatu kelalaian, akan tetapi dalam perkara ini Hakim juga menjelaskan bahwa terdakwa dan penasehat hukum tidak bisa membuktikan bahwa uang tersebut memang hilang. Pada akhirnya Majelis Hakim mengambil kesimpulan bahwasannya uang tersebut ada pada terdakwa.
putusan tersebut disayangkan oleh tim Penasehat Hukum K, karena menurut tim Penasehat Hukum K semua saksi yang hadir dalam persidangan oleh Penuntut Umum, Penasehat Hukum, dan terdakwa, semua menyatakan uang tersebut memang hilang. Selanjutnya Majelis Hakim yang menyatakan uang tersebut tidak hilang, merupakan sebuah kesimpulan yang tidak berdasar, karena selain semua saksi menyatakan bahwa uang tersebut hilang, Penuntut Umum pun tidak mampu membuktikan bahwa terdakwa menggunakan uang tersebut.
“tidak ada bukti dalam perkara ini yang mengindikasikan terdakwa menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi, seharusnya kalau memang uang tersebut dipakai terdakwa, sudah ada tindakan penggeledahan dan penyitaan dari penyidik atas barang hasil tindak pidana atau minimal ada bukti yang menunjukkan uang tersebut memang digunakan dan beban pembuktian ini ada di penuntut umum, bukan penasehat hukum”, jelas Ichsan.
Berdasarkan keputusan Majelis Hakim yang menuntut K dengan hukuman 1 tahun 6 bulan penjara, Penasehat Hukum K akan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menguji rasionalitas pertimbangan Majelis Hakim.