Siaran Pers Tim Advokasi untuk Demokrasi
Tim Advokasi untuk Aksi 14 Agustus mendesak Kepolisian Polda Metro Jaya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap peserta aksi yang menolak Omnibuslaw RUU Cipta Kerja pada 14 Agustus 2020 lalu.
Jakarta, 16 Agustus 2020 – Tim Advokasi untuk Demokrasi mengecam tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Kepolisian POLDA Metro Jaya berupa penangkapan, penyiksaan, penggeledahan, penyitaan, penahanan dan penetapan tersangka secara sewenang-wenang terhadap 188 orang pasca Tolak Omnibuslaw RUU Cipta Kerja di Jakarta pada Jumat, 14 Agustus 2020. Saat ini, masih ada 5 orang yang berada di Rutan Polda Metro Jaya dan berstatus sebagai tersangka. Mereka terdiri dari 4 orang dewasa dan 1 orang anak di bawah umur.
Pertanggal 16 Agustus 2020, lima orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan/atau Pasal 169 ayat (1) jo. Pasal 55 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Tim Advokasi untuk Demokrasi menilai banyaknya kejanggalan pada proses penangkapan hingga penetapan tersangka, mengingat pada saat ribuan masyarakat melakukan kegiatan menyampaikan pendapat di muka umum, pihak kepolisian justru lebih sibuk melakukan sweeping dan penangkapan secara acak terhadap ratusan masyarakat yang berada disekitar rute aksi tanpa alasan yang jelas.
Dari ratusan masyarakat yang menjadi korban sweeping dan penangkapan secara sewenang-wenang tersebut, nyatanya tidak semua merupakan peserta aksi. Beberapa dari mereka adalah masyarakat yang sedang menjalankan aktifitasnya dan tidak terkait aksi Tolak Omnibus Law. Mereka yang ditangkap diantaranya mengaku telah mengalami penggeledahan dan penyitaan tidak sah yang dilakukan aparat kepolisian tanpa adanya surat tugas yang jelas. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang menerima pukulan (siksaan) dari anggota kepolisian dengan dalih sedang melakukan pengamanan. Serangkaian tindakan anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya tersebut merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Hal tersebut telah dijamin dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Pengabaian ketentuan upaya paksa dalam KUHAP maupun berbagai peraturan internal di kepolisan yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI (Perkapolri) diantaranya Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Impelementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indoenesia, Perkap No.1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap 7 tahun 2012 tentang Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
Terkait dengan 4 orang dewasa yang ditetapkan menjadi tersangka, Tim Advokasi untuk Demokrasi mengecam proses penetapannya. Mereka ditetapkan sebagai tersangka dengan cara yang tidak profesional dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Apabila kita merujuk pada Pasal 17 KUHAP yang tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP memberikan penjelasan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Selanjutnya, merujuk pada Pasal 17 KUHAP beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun dalam putusan nomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa, “Bukti Permulaan”, “Bukti Permulaan yang Cukup”, dan “Bukti yang Cukup”. Dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pada nyatanya, penetapan tersangka terhadap 4 peserta aksi tersebut tidak ada satupun dari mereka yang memenuhi bukti yang cukup untuk ditetapkan sebagai tersangka.
Selain itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi juga menyoroti kesewenang-wenangan pihak Kepolisian Polda Metro Jaya saat melakukan pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Nyatanya, pemeriksaan terhadap anak yang berlangsung sejak 14 s.d 16 Agustus 2020 tidak jauh berbeda dengan proses hukum bagi tersangka lainnya yang telah berusia dewasa. Anak-anak tersebut tetap menjalani proses pemeriksaan tanpa adanya pendampingan dari orang tua maupun Balai Pemasyarakatan (BAPAS) meski Tim Advokasi untuk Demokrasi telah berulang kali mengajukan keberatan atas tindakan polisi tersebut. Hal tersebut jelas merupakan pelanggaran serius terhadap hak anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan 23 Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan uraian masalah di atas, Tim Advokasi untuk Demokrasi mendesak:
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia memerintahkan Kepolisian Polda Metro Jaya untuk segera menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap peserta aksi dan segera membebaskan para peserta aksi dari tahanan;
- Kepolisian Polda Metro Jaya untuk menjalankan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan sepenuhnya;
- Kepolisian Polda Metro Jaya mengusut tuntas dan menindak aparat kepolisian pelaku pelanggaran hak anak yang berhadapan dengan hukum, maupun para pelaku pelanggaran hak-hak tersangka dewasa di institusinya dan memberikan sanksi disiplin maupun sanksi pidana bagi para pelanggar;
- Lembaga negara terkait seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Perlindungan Anak (KPAI), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI untuk melakukan pemantauan dan pendampingan serius terhadap anak dan tersangka dewasa lainnya yang dilanggar hak-haknya dalam proses hukum.
Jakarta, 16 Agustus 2020
Tim Advokasi Untuk Demokrasi