Tim kuasa hukum yang mendampingi proses gugatan warga negara atas pencemaran udara Jakarta telah melayangkan surat laporan ke Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) terkait penundaan sidang putusan yang dilakukan oleh majelis hakim Pengadilan Jakarta Pusat.
Tiga Majelis Hakim pemeriksa perkara ini yaitu H. Saifudin Zuhri, S.H., M.Hum, Duta Baskara, S.H., M.H, dan Tuty Haryati, S.H., M.H dilaporkan atas dugaan penundaan perkara secara berlalrut-larut dan dinilai sudah pelanggaran Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial Nomor 02/PB/MA/IX/2012 dan 02/PB/P.KY/09/2012 tentang Panduan Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Laporan tersebut dikirimkan tim advokasi pada saat Majelis Hakim melakukan penundaan ketujuh. Sedangkan, dengan penundaan sidang yang dijadwalkan hari ini, menjadi penundaan kedelapan kalinya.
“Kami sepakat untuk melaporkan majelis hakim atas dugaan pelanggaran kode etik, dan kita juga meminta pemantauan perkara kepada KY dan Bawas MA untuk memantau perkara ini. Karena penundaan hingga tujuh kali itu tidak pernah terjadi di kasus hukum manapun. Jika biasanya penundaan hanya satu kali dan rentang waktunya hanya satu minggu, tapi ini sudah memakan waktu lebih dari tiga bulan untuk pembacaan sidang putusan saja,” ujar Ayu Eza Tiara dari Manaf Law Firm dalam konferensi pers Koalisi Ibukota, hari ini.
Dalam agenda sidang putusan hari ini, Ketua Hakim Saifuddin Zuhri, kata Ayu, beberapa kali menyampaikan permintaan maafnya. Tidak hanya itu, hakim juga mengaku telah mendapat teguran dari Ketua Pengadilan karena melakukan penundaan berkali-kali.
“Perlu saya sampaikan bahwa ini sebenarnya agak miris, karena awalnya kami mendapat kabar bahwa agenda sidang selanjutnya dijadwalkan hari Senin 13 September. Tetapi ketika di dalam ruang sidang, tanggal tersebut dibatalkan karena Majelis Hakim bilang di hari Senin banyak sidang kasus korupsi yang lebih urgent dari polusi udara. Pernyataan itu tentu saja menyedihkan,” ungkap Ayu.
Tim kuasa hukum penggugat menilai, kasus pencemaran udara sesungguhnya adalah kasus yang juga mendesak karena berkaitan dengan hak asasi manusia. Terlebih jika dikaitkan dengan kondisi Covid saat ini.
“Kami menilai Majelis Hakim ini belum berpendapat bahwa hak udara bersih ini adalah hak yang urgent, yang mendesak, yang seharusnya segera dipenuhi oleh pemerintah. Dengan penundaan ini secara tidak langsung sama saja majelis hakim tidak memberikan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat,” imbuh dia.
Di tempat yang sama, Jenny Sirait dari LBH Jakarta menambahkan bahwa putusan gugatan warga negara ini menjadi sangat penting karena bisa menjadi legitimasi betapa sebenarnya baik itu pemerintah pusat dan daerah, harus memiliki concern yang kuat terkait dengan polusi udara di DKI Jakarta.
“Karena tentu saja itu artinya pemerintah memiliki concern yang kuat juga terhadap kondisi kesehatan publik. Kita tau sama-sama di tengah pandemi ini, kondisi kesehatan publik tidak dapat dilepaskan oleh berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah. Termasuk juga polusi udara. jangan sampai di tengah pandemi kita sudah sesak akibat Covid, tapi juga harus sesak akibat polusi udara,” tutur Jenny.
Alghifari Aqsa dari AMAR Lawfirm yang juga hadir dalam tiap persidangan menambahkan, penundaan berlarut-larut dalam pembacaan sidang putusan perkara ini dikhawatirkan bisa memicu persepsi adanya lobi pihak-pihak yang berkepentingan di luar pengadilan.
Dia mengingatkan, dengan sidang putusan yang belum juga diketuk palu hingga hari ini, artinya total sudah 742 hari proses gugatan ini berlangsung, sejak didaftarkan pada 4 Juli 2019 silam. Alghif menyebut, umumnya dari sidang kesimpulan hingga putusan itu hanya membutuhkan waktu dua minggu. Penundaan putusan pun umumnya hanya 1-2 kali.
“Hakim harusnya tahu kasus ini sangat serius karena para penggugat adalah korban dari pencemaran udara. Kemudian ada saksi-saksi yang kita datangkan, dan semuanya menghadirkan data yang membuktikan bahwa pencemaran udara ini berpengaruh besar terhadap masyarakat,” jelasnya.