Tanggal 10 Desember menjadi Hari HAM Internasional sejak dideklarasikannya “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)” oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Sejak saat itu, DUHAM menjadi standar minimum pengakuan derajat dan martabat kemanusiaan secara universal yang harus dihormati dan dilindungi oleh negara-negara.
Indonesia sendiri tercatat mengakui keberadaan DUHAM serta meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi Sosial Budaya, beserta konvensi-konvensi turunannya. Tidak hanya itu, sejumlah jaminan hak-hak asasi manusia juga turut diatur di sejumlah instrumen hukum nasional lainnya oleh Indonesia.
Salah satu kelompok atau individu yang sangat rentan mengalami Pelanggaran adalah Pembela HAM. Di dalam deklarasi pembela HAM, setiap orang berhak untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan HAM yang wajib dilindungi oleh pemerintah dan organisasi manapun. Dalam kenyataannya, seringkali pembela HAM menjadi sasaran intimidasi, ancaman,kekerasan bahkan pembunuhan. Salah satu kasus Pembunuhan Pembela HAM yang masih belum dituntaskan oleh Negara adalah Pembunuhan Munir Said Thalib, Pembela HAM yang dikenal luas publik tersebut meninggal dengan cara diracun dalam penerbangan Garuda Indonesia bernomor GA 974 pada Selasa, 7 September 2004.
Kasus pembunuhan terhadap Munir bukanlah kasus kriminal biasa. Kasus ini terbukti melibatkan aktor negara yakni BIN dan Garuda Indonesia, penuh dengan konspirasi, sehingga kejahatan ini jelas berdimensi struktural dan sistematis. Persidangan yang sudah dilangsungkan tidak berhasil mengungkap semua aktor. Hanya aktor lapangan yang diadili dan dihukum. Tim Pencari Fakta (TPF) yang dibentuk oleh pemerintah dan Keluarga Munir menilai penanganan kasus Munir hanya berhenti pada pelaku lapangan. Padahal, menurut kesimpulan TPF dan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara Pollycarpus Budihari Priyatno maupun Direktur Garuda, Indra Setiawan, “pembunuhan Munir adalah permufakatan jahat yang melibatkan empat lapis pelaku: pelaku lapangan, pelaku pembantu, pemberi akses, dan inisiator pembunuhan.” Kasus ini adalah bentuk konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan lembaga negara.
Oleh karena itu, Kami menilai kasus pembunuhan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan yang bukan tindak pidana biasa (ordinary crimes), melainkan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crimes) atau pelanggaran HAM yang berat (gross violations of human rights) atau bahkan dinilai sebagai kejahatan yang amat serius (the most serious crimes)seperti kejahatan melawan kemanusiaan (crimes against humanity). Sehingga sangat penting bagi Negara cq Komnas HAM untuk segera menetapkan kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat.
Pada tanggal 1 Juli 2021, Komnas HAM telah mengirimkan surat kepada Presiden yang merekomendasikan kepada Presiden untuk segera menindaklanjuti rekomendasi TPF dan memerintahkan kapolri untuk melakukan penyidikan yang mendalam terhadap terduga pelaku lainnya dalam pemufakatan jahat pembunuhan Munir. Namun sampai dengan hari ini tidak ada tindak lanjut apapun dari Pemerintah. Artinya Pemerintah telah abai dan melakukan pembiaran terhadap penegakan hukum hak asasi manusia kasus Cak Munir. Kondisi tersebut semakin menunjukkan kurangnya komitmen penegakan hak asasi manusia rezim Joko Widodo.
Kegagalan Negara dalam menuntaskan Kasus Pembunuhan Munir selain bentuk praktik pengabaian terhadap hak korban adalah wujud pelanggaran terhadap jaminan ketidak berulangan, hal ini terbukti dengan banyaknya kasus serangan terhadap pembela HAM seperti upaya kriminalisasi, serangan fisik, psikis, verbal, seksual, digital, diskriminasi serta SLAPP dan/atau segala bentuk pembungkaman lainnya terhadap pembela HAM. Berdasarkan catatan YLBHI-LBH ada beberapa kasus serangan terhadap Pembela HAM:
- Golfried Siregar, Aktivis Lingkungan yang dibunuh pada Oktober 2019;
- Ravio Patra, Aktivis Kebijakan Publik yang Mengalami Penangkapan, Penyitaan dan Penggeledahan serta Pemeriksaan secara sewenang-wenang karena tuduhan menyebarkan berita bohong;
- Ananda Badudu, Musisi yang ditangkap secara sewenang-wenang karena menggalang dukungan dan donasi publik untuk Mahasiswa yang melakukan demonstrasi ;
- Dandhy Laksono, ditetapkan sebagai tersangka karena cuitan di twitter mengenai kerusuhan di Jayapura dan Wamena, Papua;
- Nining Elitos, Ketua KASBI yang dipanggil polisi setelah melakukan aksi hari perempuan internasional;
- Penangkapan, Penahanan dan Pemeriksaan 1 Paralegal dan 3 Asisten Pengacara Publik LBH Jakarta oleh Polres Jakarta Selatan,
- Penangkapan dan pemeriksaan atas 3 Paralegal PBHI Jakarta saat Aksi Menolak Rezim Junta Militer Myanmar,
- Egi Primayogha dan Miftah, 2 peneliti ICW yang dilaporkan oleh Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) ke Mabes Polri karena dugaan Pencemaran Nama Baik;
- Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, 2 Aktivis HAM yang dilaporkan oleh Luhut Binsar Panjaitan, Menko Marves RI karena dugaan pencemaran nama baik;
- Ni Kadek Vany Primaliraing selaku Direktur LBH Bali yang dilaporkan oleh Rico Ardika Panjaitan dengan tuduhan Makar ke Polda Bali;
Sebagai kecil kasus-kasus tersebut diatas menunjukkan bahwa Negara tidak pernah serius melindungi Pembela HAM bahkan jika pun ada hanya terbatas pada seremonial dengan ditetapkannya tanggal 7 September sebagai hari perlindungan Pembela HAM oleh Komnas HAM. YLBHI-LBH menilai, yang terpenting adalah Negara harus memastikanperlindungan hukum, adanya jaminan dan dukungan aktivitas Pembela HAM serta pengakuan (rekognisi) terhadap pembelaan yang dilakukan Pembela HAM.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, YLBHI-LBH mendesak;
- Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera menindaklanjuti surat Komnas HAM mengenai Rekomendasi Penanganan Kasus Pembunuhan Munir Said Thalib;
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) segera menetapkan kasus Pembunuhan Munir Said Thalib sebagai Kasus Pelanggaran HAM Berat untuk selanjutnya melakukan penyelidikan independen sebagaimana mandat UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;
- Pemerintah cq. Presiden Republik Indonesia harus memastikan tanggung jawab negara untuk jaminan penghormatan, perlindungan hukum, dan pemenuhan hak asasi manusia seluruh warga negara, termasuk pengakuan dan perlindungan bagi Pembela HAM melalui regulasi yang memadai;
- Presiden Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia memastikan praktik penegakan hukum yang berkeadilan dalam kasus-kasus yang menimpa para pembela hukum dan tidak menjadi alat kekuasaan untuk melakukan teror dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM:
Hormat kami,
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- LBH Jakarta
- LBH Bandung
- LBH Palangka Raya
- LBH Pekanbaru
- LBH Surabaya
- LBH Yogyakarta
- LBH Samarinda
- LBH Bandar Lampung
- LBH Padang
- LBH Bali
- LBH Meda
- LBH Manado
- LBH Makassar
- LBH Semarang
- LBH Papua