“Yang dibicarakan dalam kurikulum hanya relevan untuk kelompok tertentu. Pengetahuan yang ada di kurikulum tersebut pengetahuan siapa?”
Pernyataan tersebut disampaikan Jimmy Phillip saat mengisi materi Hak atas Pendidikan di Kalabahu 40, Senin (8/4). Jimmy adalah pengajar pendidikan di Universitas Negeri Jakarta. Bersama LBH Jakarta dan akademisi lain ia terlibat dalam upaya menggugat Ujian Nasional pada tahun 2006 dan terus mengampanyekan konsep pedagogi kritis. Pernyataan di atas tadi ia sampaikan di dalam kelas merespon pandangan peserta Kalabahu 40 yang mayoritas merasa kurikulum pendidikan di Indonesia tidak mewakili kepentingan peserta didik.
Sebelum pemaparan Jimmy, panitia mengajak peserta Kalabahu 40 untuk terlibat dalam permainan menentukan sikap. Peserta diminta untuk memilih posisi ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ pada beberapa pernyataan yang dilontarkan oleh panitia dan menjelaskan alasannya. Beberapa isu yang dilontarkan terkait dengan inklusifitas pendidikan, kurikulum pendidikan, Ujian Nasional hingga komersialisasi pendidikan.
“Menurut saya pelajaran dulu pas sekolah malah ngajarin yang ga penting dan mudah dilupakan, yang penting penilaian aja. Malah misalnya pendidikan tanggap bencana yang penting di beberapa daerah malah tidak diberikan,” ujar salah satu peserta Kalabahu 40 yang setuju pada pernyataan bahwa ‘kurikulum pendidikan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik’. Pernyataan dan pertanyaan dari peserta dalam sesi tersebut kemudian ditanggapi langsung oleh Jimmy pada pemaparannya.
Menurut Jimmy, kurikulum pendidikan di Indonesia tidak netral dan pengetahuan yang disampaikan hanyalah pengetahuan kelompok dominan. Kelompok dominan yang ia maksud di sini bukan dilihat secara jumlah, tetapi dominasi dalam kemampuan mempengaruhi kebijakan.
“Kalau persepektif neoliberal, kurikulum sekolah harus disesuaikan dengan industri. Dalam kondisi tersebut, secara sosiologis, siswa kelas bawah tidak akan terhubung dengan pengetahuan tersebut,” Jelas Jimmy.
LBH Jakarta sendiri pada 2018 pernah melansir hasil penelitian tentang evaluasi pelaksanaan Ujian Nasional 2015-2017 pada peserta didik di Jabodetabek. Penelitian tersebut menemukan bahwa Ujian Nasional mendiskriminasi peserta didik karena faktanya, di lapangan masih ada kesenjangan infrastruktur pendidikan dan kualitas tenaga pendidik.
“Ujian Nasional menjadi standar. Pertanyaannya standarnya siapa? Itu pake standarnya kelas dominan. Maka pendidikan kita diskriminatif berdasarkan kelas sosial,” tambah Jimmy.
Khusus untuk kebijakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK), hasil temuan LBH Jakarta di beberapa sekolah negeri di DKI Jakarta mewajibkan peserta didik untuk membawa laptop sebab sekolah tidak sanggup menyediakan komputer. Salah satu peserta Kalabahu 40 bernama Mona menyampaikan keresahan yang sama di dalam kelas, “Keluarga saya jadi korban sendiri karena diminta membawa laptop sendiri, masalahnya keluarganya ga punya laptop dan karena UN dianggap penting, bapaknya akhirnya kredit laptop,” ujar Mona pada sesi diskusi.
Pada kelas tersebut, Jimmy menyampaikan 2 (dua) hal penting sebagai fondasi dasar pemenuhan hak atas pendidikan. Yang pertama adalah konsep pedagogi pendidikan yang dipahami baik oleh pengajar dan pengambil kebijakan pendidikan. Dalam pedagogi kritis, guru bukanlah sumber informasi. Proses pendidikan harus mengutamakan dialog antara guru dan murid.
“Kadang-kadang guru di atas (memberikan ilmu-red), kadang-kadang murid yang di atas. Syaratnya harus belajar saling menyimak,” ujar Jimmy.
Yang kedua terkait kebijakan pendidikan menurutnya harus mengacu pada 4 (empat) prinsip pemenuhan hak atas pendidikan yang disepakati masyarakat internasional dalam Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Keempat prinsip tersebut adalah Ketersediaan; Keterjangkauan; Keberterimaan dan Kebersesuaian.
Terkait ke-empat hal tersebut, peserta Kalabahu 40 di bagian permainan sebelumnya telah berbeda pandangan tentang permasalahan akses disabilitas di sekolah umum. Salah satu peserta tidak setuju disabilitas dapat diterima di sekolah umum karena merasa keadilan bagi mereka tidak bisa didapatkan dengan dipersamakan, tetapi dengan proporsional. “Cara yang berbeda mungkin bisa menghasilkan output yang sama,” ujar Rohman Arifin, salah satu peserta Kalabahu 40 yang tidak setuju.
Menanggapi perdebatan tersebut, Jimmy mencoba menjelaskan makna keberterimaan dan kebersesuaian tersebut dengan cara sederhana. Bahwa sekolahlah yang harus menyesuaikan kebutuhan anak didik, bukan anak yang menyesuaikan diri pada sekolah. Sehingga, sekolah harus menyesuaikan kebijakan penerimaan, infrastruktur hingga kurikulum sesuai kebutuhan peserta didiknya, termasuk untuk kebutuhan disabilitas.
“Disabilitas itu konsep yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Orang dibuat ‘dis’ (tidak mampu-red), oleh masyarakat misalnya dengan tidak adanya fasilitas untuk mereka. Memisahkan mereka justru mendiskriminasi,” kata Jimmy.
Dalam kondisi kemampuan dan kebutuhan yang tidak sama, baik peserta didik maupun lembaga pendidik, usaha mencari standar yang tunggal selalu akan menjadi masalah. Tidak seharusnya pemerintah menganggarkan lebih besar untuk menentukan standar mutu dan kelulusan agar dapat dipersaingkan di pasar tenaga kerja. Jika konsisten pada tujuan konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa, lebih baik berfokus pada peningkatan kapasitas tenaga pendidik dan upaya menjadikan lembaga pendidikan lebih inklusif. (Charlie Albajili)