A. PENDAHULUAN
Pada tanggal 21 dini hari, KPU mengumumkan hasil pemilu. Dan pada tanggal 21 Mei siang aksi damai dimulai oleh pendukung 02. Aksi ini berlanjut pada tanggal 22 Mei hingga malam hari. Di sela-sela aksi damai tersebut terjadi insiden yang mengarah pada kerusuhan yang terjadi pada tanggal 22 Mei dini hari hingga tanggal 22 Mei siang.
Laporan pemantauan ini disusun oleh YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, AJI, Lokataru Foundation, Amnesty, dan LBH Pers.
Penyusunan laporan pemantauan dilakukan berdasarkan pengaduan, pendampingan dan investigasi. Metodologi penyusunan laporan dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan dan penelusuran terhadap informasi yang didapatkan dari setidaknya enam sumber. Pertama, wawancara dengan saksi-saksi terkait. Kedua, sejumlah pernyataan dari pihak kepolisian atas kasus ini. Ketiga, informasi yang diungkap oleh pemberitaan media termasuk foto. Keempat, pernyataan dari pemerintah. Kelima, penelusuran dokumen-dokumen yang terkait. Terakhir adalah dengan melakukan penelusuran dan analisis hukum.
Keterangan saksi yang didapat dalam laporan ini dilakukan dengan cara mengambil keterangan dari sejumlah saksi di lapangan, baik yang menyaksikan saat peristiwa terjadi maupun setelah peristiwa terjadi.
Sejumlah saksi memiliki rasa was-was akan keselamatan baik jiwa maupun dikriminalisasi. Oleh karena itu nama-nama saksi akan disamarkan atau tidak akan diungkap dalam laporan ini.
B. TEMUAN
I. Pecahnya insiden
- Berdasarkan keterangan kepolisian dan pemantauan aksi hari I telah membubarkan diri pada sekitar jam 20.30. Massa mulai kembali berkumpul pada sekitar jam 21.30 di depan Bawaslu. Pihak kepolisian meyakini massa malam hari ini berbeda dengan massa yang aksi pada siang hari.[1]
- Menurut keterangan kepolisian, massa yang sebagian besar anak-anak muda sekitar 300-400 orang datang dari Tanah Abang. Berdasarkan pemantauan, sebelum insiden serius pecah, antara massa aksi dan aparat terlihat saling mengganggu tetapi diantaranya terdapat jeda sehingga yang menyaksikan merasakan adanya ritme. Massa aksi melempar batu, dibalas aparat, kemudian jeda, begitu beberapa kali.
- Baik massa maupun polisi saling melempar batu maupun petasan. Di lapangan juga terlihat adanya molotov.
II. KORBAN
- Berdasarkan data dari Pemprov DKI Jakarta, jumlah korban meninggal pada aksi 22 Mei bertambah menjadi 8 orang per Kamis (23/5) pukul 11.00 WIB sedangkan kepolisian mengatakan korban jiwa berjumlah 7 orang. Sementara yang luka-luka bertambah menjadi 730 korban (sedang dalam penanganan medis). Mereka yang mendapatkan pelayanan kesehatan adalah korban dengan usia 20-29 tahun sebanyak 294 orang, usia dibawah 19 tahun ada 170 orang.[2] Berdasarkan informasi dari KPAI anak-anak yang sempat hilang saat ini sudah dikumpulkan di rumah aman Kementrian Sosial sejumlah 52 anak.
Nama Korban | Jenis Kelamin | Dugaan Sementara Penyebab Kematian | Rumah Sakit |
1. Farhan Syafero (30 thn) | Pria | Tertembak di bagian leher | Meninggal di RS Budi Kemuliaan (Jenazah dirujuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) pada 22 Mei 2019 |
2. Adam Noorsan (17 thn) | Pria | Tertembak di bagian dada | Meninggal di RSUD Tarakan pada 22 Mei 2019 |
3. Yudianto Rizki Ramadhan (19 thn) | Pria | Tertembak di bagian leher | Meninggal di RSUD Tarakan pada 22 Mei 2019 |
4. Reyhan (15 thn) | Pria | Tertembak (tidak terverifikasi posisi luka tembaknya)
|
Meninggal di RSAL Mintoharjo pada 22 Mei 2019 |
5. Abdul Aziz (27 tahun)
|
Pria | (Tidak terverifikasi) | Meninggal di RS Pelni pada 22 Mei 2019 |
6. Bachtiar Alamsyah | Pria | Tidak terverifikasi | Meninggal di RS Pelni pada 22 Mei 2019 |
7. Sandro (31 thn)
|
Pria | Tidak terverifikasi | Meninggal di RS Dharmais pada 22 Mei 2019 |
8. Tanpa identitas | Pria | Tidak terverifikasi | Meninggal di RSUD Tarakan pada 23 Mei 2019 (pasca rawat sejak 22 Mei 2019) |
III. PENYEBAB
- Tercatat elit politik dari kubu 01 dan 02 telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif, siar kebencian (hate speech) bahkan pelintiran kebencian (hate spin). Kedua belah pihak terus melontarkan pernyataan publik yang semakin memperkeruh keadaan (terlampir). Alih-alih mendinginkan suasana, pernyataan kedua kubu justru semakin memperburuk situasi sejak sebelum dan setelah penetapan pemenang Pilpres oleh KPU. Pernyataan provokatif mereka direspon secara cepat di lapangan. Pernyataan-pernyataan elit politik dari kedua kubu menunjukkan kegagalan mereka dalam melakukan self-cencorship atas ucapan-ucapannya, seperti Wiranto dan Amien Rais (terlampir).
- Pertarungan di dunia digital ini meluas diikuti para pendukungnya baik siar kebencian bahkan pemelintiran kebencian. Beberapa kata kunci yang digunakan untuk menimbulkan sentimen ataupun kemarahan publik adalah “komunis”, “PKI”, Cina, teroris, radikal dan lain sebagainya.
IV. PENCARIAN DALANG
- “Yang menyerang itu preman-preman yang dibayar, bertato,” ujar Wiranto dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Polhukam. Sedangkan Kapolri mengatakan sebagian bertato.[3] Kapolri juga mengatakan menemukan amplop berisi uang dan ada massa bayaran.
- Hingga saat ini belum ada pengumuman tentang dalang yang dimaksud atau belum ada akuntabilitas mengenai bukti yang dimiliki tentang dalang tersebut. Publik yang didorong oleh elit politik telah membuat kesimpulannya sendiri-sendiri bahkan masing-masing menggalang dukungan luas untuk menangkap orang-orang tertentu sebagai dalang.
V. TIM INVESTIGASI INTERNAL KEPOLISIAN
1.Kepolisian membentuk tim internal kepolisian untuk menyelidiki insiden yang terjadi. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo di Mabes Polri pada tanggal 24 Mei 2019 mengatakan, “Proses investigasi menyangkut peristiwa harus sangat detail dan mengumpulkan dahulu berbagai alat bukti”.
2. Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menyatakan, “Bahwa yang meninggal dunia adalah massa perusuh, bukan massa yang sedang berjualan, ….”[4]
3. Karopenmas Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo juga mengatakan, “Tidak ada aparat keamanan TNI dan Polri yang melakukan pengamanan dengan menggunakan senjata api dan peluru tajam. Itu komitmen dari awal sesuai perintah dari Panglima dan Kapolri”[5]
4. Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan pihak kepolisian telah melakukan pre-conclusion atau membuat kesimpulan di awal, hal yang seharusnya dihindari dalam sebuah investigasi.
VI. INDIKASI KESALAHAN PENANGANAN DEMONSTRASI
- Seperti yang disampaikan oleh pihak Polri di berbagai kesempatan, aksi penolakan hasil pemilu 2019 di berbagai tempat di Jakarta pada tanggal 21 dan 22 Mei merupakan aksi damai yang berubah menjadi kerusuhan akibat sebagian dari peserta aksi yang melakukan kekerasan terhadap petugas kepolisian dan barang-barang milik masyarakat.
- Kami memahami kompleksnya situasi di atas yang dihadapi oleh petugas kepolisian di lapangan ketika menghadapi aksi massa yang besar disertai adanya sebagian peserta aksi yang melakukan kekerasan. Namun demikian, petugas kepolisian tetap harus menghormati dan melindungi HAM sebagai nilai utama dan kewajiban konstitusional negara. Petugas Polri sendiri terikat pada standar internal HAM mereka, yaitu Peraturan Kapolri (Perkap) No. 16/2006 tentang Pengendalian Massa, Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, dan Perkap No. /2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri; semuanya mengadopsi standar-standar HAM internasional tentang penggunaan kekuataan dan kode perilaku aparat penegak hukum.
- Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan kepada aparat keamanan di lapangan untuk dalam kondisi apa pun, prioritas harus tetap diberikan kepada pembubaran massa tanpa menggunakan kekuatan, dan jika kekuatan harus digunakan, maka aksi yang dilakukan harus sebanding dengan tingkat perlawanan oleh para demonstran; kekuatan yang mungkin menimbulkan kerugian berat harus ditujukan hanya pada individu-individu yang juga berbuat kekerasan, dan kekuatan dengan efek yang lebih luas hanya dapat dibenarkan dalam kasus-kasus kekerasan yang membahayakan orang lainnya, terutama ketika tidak mungkin lagi mengendalikan kekerasan dengan hanya berurusan dengan individu yang terlibat dalam kekerasan.
- Sayangnya dalam pemantauan organisasi-organisasi kami, ada kejadian di mana aparat keamanan juga melakukan penangkapan dan kekerasan yang tidak diperlukan kepada individu peserta aksi, bahkan kepada yang bukan merupakan peserta aksi. Di beberapa tempat, penggunaan gas air mata juga ditujukan kepada kerumunan massa aksi tanpa ada upaya khusus menangkap pelaku kekerasan di dalamnya.
- Polri telah menyatakan penggunaan kekuatan terhadap demonstran yang perusuh telah sesuai dengan prosedur dan standar internal Polri. Sesuai peraturan Kepolisian seharusnya anggota kepolisian memiliki kewajiban untuk mengisi Formulir Penggunaan Kekuatan (A): Perlawanan – Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan (B): Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.
VIII. PENUTUPAN AKSES TENTANG KORBAN OLEH RUMAH SAKIT
- Korban dibawa ke beberapa rumah sakit yaitu Pelni, RSCM dan Tarakan.
- RS Pelni menutup akses sama sekali tentang korban, sedangkan RSCM memberikan informasi secara terbatas dan tidak mau ada pengecekan lebih lanjutan. Hingga terakhir pemantauan hanya RS Tarakan yang terbuka tentang jumlah korban.
IX. PENANGANAN KORBAN YANG TIDAK SEGERA
1. Berdasarkan siaran langsung televisi, sempat terlihat adanya korban dalam kondisi tergeletak di jalan dan tidak segera ditangani.
X. PENYIKSAAN, PERLAKUAN KEJI, TIDAK MANUSIAWI DAN MERENDAHKAN MARTABAT
- Hasil pantauan memperlihatkan police brutality saat orang yang ditangkap masuk ke Polres. Orang-orang yang diturunkan dari mobil, saat akan dimasukkan ke kantor polisi, dipukuli oleh polisi yang berbanjar.
- Live streaming televisi pada tanggal 22 dini hari menunjukkan adanya massa demonstran yang ditangkap saat mau dimasukkan ke mobil dipukul. Saat itu secara mendadak televisi memindahkan ke jaringan lain.
- Saksi-saksi mengatakan terjadi penggunaan kekerasan secara berlebihan saat penangkapan. Misal menyeret secara tidak perlu orang yang ditangkap hingga anggota kepolisian memiliki kesempatan untuk memukul.
XI. HAMBATAN INFORMASI UNTUK KELUARGA YANG DITAHAN
- Tim Pemantau mendapatkan informasi dan pengaduan dari beberapa keluarga yang menanyakan tidak mengetahui posisi dan nasib anggota keluarga yang ditahan dan dianggap hilang.
- Tim Pemantau menemukan terjadi ketidakjelasan mengenai penahanan, sesuai dengan Hukum Acara Pidana keluarga berhak segera mendapatkan tembusan dan/atau pemberitahuan surat penahanan dari Penyidik.
XII. SALAH TANGKAP
- Saksi dan korban menunjukkan adanya orang yang ditangkap padahal hanya sedang melihat aksi. Mereka di BAP dan dipaksa menandatangani suatu surat yang mencantumkan pasal yang dituduhkan kepada mereka.
XIII. KEKERASAN TERHADAP TIM MEDIS
- Tiga (3) anggota medis Dompet Dhuafa juga mengalami luka karena dianiaya polisi.
- Y yang berada di atas mobil sempat disuruh turun oleh aparat. “Jadi pada saat dia turun, ada yang menarik dari bawah, itu kepolisian. Akhirnya dia terperosok dan kakinya nyelip di ban serep. jadi, jatohnya itu tangan duluan. pada saat dia jatuh, sebagian polisi melindungi karena memang kita sudah bilang kalau itu tim medis,” jelas Dian Mulyadi selaku Coorporate Communication Dompet Dhuafa. Korban lain bernama Ahmad yang berada di mobil tersebut juga mengalami hal yang sama. Ahmad mengalami luka di bagian kepala karena benda tumpul. “Kepalanya kena pentung. dan ada memar di sekitar sini, pelipis kanan. Sebenarnya dia bilang enggak apa-apa cuma kita saat itu anggap berbahaya, ternyata memang harus CT scan,” katanya. Sedangkan satu korban lain juga mengalami kekerasan yang sama sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Ketiga korban luka langsung dilarikan ke RSPAD Gatot Subroto.
- Kendaraan operasional milik Dompet Dhuafa, yaitu mobil Toyota Hilux jenis double cabin yang membawa logistik dan satu mobil Isuzu Panther dirusak oknum polisi saat kerusuhan Rabu (22/5/2019).
XIV. PENGHALANG-HALANGAN MELIPUT KEPADA JURNALIS: KEKERASAN, PERSEKUSI, PERAMPASAN ALAT KERJA, PERUSAKAN BARANG PRIBADI
- Tercatat ada 20 jurnalis yang menjadi korban kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa berujung kerusuhan pada 21-22 Mei. Kasus kekerasan tersebut terjadi di beberapa titik kerusuhan di Jakarta, yaitu di kawasan Thamrin, Petamburan, dan Slipi Jaya, Jakarta.
Sampai saat ini AJI Jakarta masih mengumpulkan data dan verifikasi para jurnalis yang menjadi korban. Tak menutup kemungkinan, masih banyak jurnalis lainnya yang menjadi korban, dan belum melapor.
- Pihak kepolisian dan massa aksi diduga menjadi pelaku kekerasan tersebut. Kekerasan yang dialami jurnalis berupa pemukulan, penamparan, intimidasi, persekusi, ancaman, perampasan alat kerja jurnalistik, penghalangan liputan, penghapusan video dan foto hasil liputan, pelemparan batu, hingga pembakaran motor milik jurnalis.
- Mayoritas kasus kekerasan itu terjadi saat para jurnalis meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Bawaslu, di kawasan Thamrin. Beberapa kasus di antaranya, aparat kepolisian melarang jurnalis merekam aksi penangkapan orang-orang yang diduga sebagai provokator massa.
- Para jurnalis tetap mengalami kekerasan meskipun mereka sudah menunjukkan identitasnya, seperti kartu pers kepada aparat. Aparat menunjukkan sikap tak menghargai kerja jurnalis yang telah dijamin dan dilindungi oleh UU Pers.
Korban yang mengalami kekerasan saat peliputan adalah:
- Budi, kontributor CNN Indonesia TV, mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja dan penghalangan liputan oleh aparat Polisi.
- Intan dan Rahajeng, jurnalis RTV, mengalami persekusi oleh massa aksi.
- Draen, jurnalis Gatra, mengalami kekerasan fisik dan diusir oleh polisi.
- Felix, jurnalis Tirto, dihalangi saat liputan.
- Dwi, jurnalis Tribun Jakarta, mengalami kekerasan tidak langsung, kepala bocor terkena lemparan batu massa aksi.
- Ryan, jurnalis CNNIndonesia.com, mengalami kekerasan fisik, perampasan alat kerja dan penghalangan liputan oleh aparat Polisi.
- Seorang reporter lainnya dari CNNIndonesia.com juga mengalami penghalangan peliputan dan perampasan paksa alat kerja oleh Polisi.
- Ryan, jurnalis MNC Media, alat kerjanya dirampas oleh massa aksi.
- Fajar, jurnalis Radio MNC Trijaya, mengalami kekerasan fisik, penghapusan karya jurnalistik dan penghalangan liputan oleh aparat Polisi.
- Fadli, jurnalis Alinea.id, mengalami kekerasan fisik dan penghalangan liputan.
- Fahreza, jurnalis Okezone.com, mengalami perusakan alat kerja/motor oleh massa aksi.
- Putera, jurnalis Okezone.com, mengalami perusakan motor oleh aparat.
- Aji, jurnalis INews TV, mengalami kekerasan fisik dan diusir oleh aparat Kepolisian.
- Setya, jurnalis TV One, mengalami kekerasan fisik dan penghalangan liputan oleh aparat Polisi.
- Ario, VJ Net TV, mengalami perusakan alat kerja/motor dibakar.
- Yuniadhi, fotografer Kompas, motornya dirusak.
- Topan, fotografer Tempo, mengalami kekerasan tidak langsung, matanya kena serpihan dari bom molotov massa aksi.
- Niniek, jurnalis AP, mengalami persekusi online (doxing).
- Seorang kru ABC News mengalami intimidasi oleh massa (dalam rilis sebelumnya tertulis diintimidasi polisi).
XV. PENGHALANGAN AKSES KEPADA ORANG YANG DITANGKAP
A. Umum
- Pada tanggal 23 Mei 2019 Direktur Tahanan dan Barang Bukti Polda Metro Jaya mengatakan semua tahanan di Polda Metro Jaya dilarang untuk dijenguk hingga tanggal 25 Mei 2019. Alasan larangan ini karena status siaga I diberlakukan hingga tanggal 25 Mei 2019.[6]
- Hal ini menyebabkan terlanggarnya hak keluarga untuk berkunjung juga terlanggarnya hak orang yang ditahan terhadap kunjungan advokat, rohaniawan dan tenaga kesehatan.
B. Advokat
- Seorang advokat pada tanggal 23 dini hari datang ke Polda Metro Jaya untuk menemui korban yang diduga salah tangkap. Seorang polisi yang dipanggil “Dan” (komandan) mengatakan orang yang bersangkutan sedang di BAP dan tidak dapat ditemui. Polisi-polisi lain di Polda Metro Jaya mengatakan jika seluruh orang yang ditangkap tidak dapat ditemui sampai status siaga I berakhir dan mereka sedang diperiksa oleh berbagai unit.
XVI. PEMBATASAN KOMUNIKASI MEDIA SOSIAL
- Pemerintah membatasi akses terhadap media sosial, khususnya fitur penyebaran video dan gambar, pasca demonstrasi yang berujung dengan bentrokan dan pembakaran sejak Selasa 21 Mei 2019 malam lalu dan berlanjut hingga hari berikutnya.
- Langkah ini tak sesuai Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta pasal 19 Deklarasi Umum HAM yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.
- Langkah pembatasan oleh pemerintah memang diperbolehkan demi melindungi kepentingan umum tetapi dengan syarat-syarat yang ketat salah satunya melalui undang-undang serta proporsional. Langkah pembatasan ini menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang benar.
C. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
- Terindikasi adanya pelanggaran HAM dengan korban dari berbagai kalangan yaitu tim medis, jurnalis, penduduk setempat, peserta aksi dan dari berbagai usia.
- Terjadi penyimpangan dari hukum dan prosedur yang ada yaitu diantaranya KUHAP, Konvensi Anti Penyiksaan/CAT, Konvensi Hak Anak/CRC, Perkap 1/2009, Perkap 9/2008, Perkap 16/2006 tentang Penggunaan kekuatan, Perkap 8/2010, Perkap 8/2009.
Rekomendasi
- Lembaga oversight kepolisian seperti Komnas HAM, Ombudsman, Kompolnas, dan Komisi III dari DPR RI untuk segera mengevaluasi kinerja petugas Polri dalam aksi 21 dan 22 Mei dalam insiden-insiden yang berpotensi merupakan pelanggaran HAM.
- Polri untuk mengumumkan kepada publik, baik kepada lembaga-lembaga oversight negara, jurnalis, atau masyarakat umum, secara rinci laporan penggunaan kekuatan yang sudah sesuai prosedur tersebut dengan mempublikasi Formulir Penggunaan Kekuatan (A): Perlawanan – Kendali dan Formulir Penggunaan Kekuatan (B): Anev Pimpinan yang merupakan lampiran dari Perkap No. 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian. Sudah lama, Polri selalu mengklaim menggunakan kekuatan sesuai prosedur dalam menghadapi aksi massa atau menyergap terduga pelaku kriminal tanpa disertai akuntabilitas yang jelas lewat publikasi pelaporan semacam ini.
- Penyidik Kepolisian RI harus segara mengirimkan surat tembusan pemberitahuan penahanan kepada masing-masing keluarga yang ditahan.
- Rumah Sakit harus memberikan informasi publik tentang jumlah orang yang dirawat dan meninggal.
- Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman dengan melibatkan masyarakat sipil perlu menyelidiki lebih lanjut tentang insiden ini- menemukan dalang di balik peristiwa guna mencegah keberulangan peristiwa dan impunitas di masa mendatang.
[1] https://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/prv5t0384/polisi-massa-aksi-bawaslu-malam-hari-beda-dari-yang-siang
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190523153339-20-397825/anies-korban-tewas-aksi-21-22-mei-8-orang-730-luka-luka
[3] https://nasional.kompas.com/read/2019/05/22/15373971/wiranto-yang-menyerang-itu-preman-preman-yang-dibayar-bertato
[4] https://tirto.id/tim-investigasi-korban-aksi-22-mei-bentukan-polri-mulai-bekerja-dZNH
[5] https://nasional.kompas.com/read/2019/05/23/17365771/polri-korban-meninggal-dunia-7-orang-mereka-massa-perusuh
[6] https://metro.tempo.co/read/1208524/rutan-polda-metro-jaya-tutup-sementara-pelayanan-besuk-kenapa/full&view=ok