Jakarta, bantuanhukum.or.id—Sidang kriminalisasi 26 Aktivis: Tigor Gemdita Hutapea, Obed Sakti Andre Dominika, dan Hasyim Ilyas R.N,; serta sidang dengan terdakwa 23 buruh kembali digelar PN Jakarta Pusat (11/04). Sidang ini merupakan sidang lanjutan, untuk terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim mereka menjalani agenda sidang, mendengar tanggapan Jaksa atas eksepsi yang mereka ajukan minggu lalu. Sementara untuk terdakwa 23 buruh, mereka menjalani agenda sidang, pembacaan dakwaan. Sidang berjalan dengan lancar, meski persidangan sempat tertunda selama 2 jam karena Jaksa terlambat datang ke persidangan.
Suasana PN Jakarta Pusat telah ramai sejak pagi. Jalan Bungur Raya yang melintasi PN Jakarta Pusat telah padat. Tepat di depan PN Jakarta Pusat, berkumpul berbagai elemen masyarakat yang ingin memberikan dukungan kepada 26 Aktivis. Ke 26 aktivis tersebut diduga mengalami kriminalisasi. Di dominasi baju berwarna merah yang dikenakan oleh sekitar 200 anggota serikat buruh, suasana riuh yel-yel, nyanyian, serta orasi mewarnai jalannya persidangan hari itu. Sejak sidang belum mulai hingga sidang selesai. Toga dari kertas, bertuliskan berbagai jargon yang intinya menegaskan bahwa unjuk rasa bukan tindak pidana, juga dikenakan ke 26 Aktivis sebagai bentuk protes mereka.
Polisi ketat menjaga PN Jakarta Pusat. Polisi bahkan berusaha menghalang-halangi masyarakat yang ingin menyaksikan sidang ke 26 aktivis ini, padahal sidang ini merupakan sidang yang terbuka untuk umum. Dalam area persidangan pun masih tampak beberapa aparat Kepolisian yang mengantongi senjata api dan pistol gas air mata.
Sidang sempat tertunda selama hampir 2 jam. Pada Pukul 13.00 WIB, sidang dengan terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim pun dimulai. Agenda sidang pada hari ini merupakan pembacaan tanggapan atas eksepsi dari para terdakwa. Dalam kesempatan ini, Jaksa Penuntut Umum menyampaikan 4 poin penting untuk menjawab eksepsi yang disampaikan terdakwa minggu lalu.
Dalam kesempatan ini, Jaksa Penuntut Umum menanggapi dalil terdakwa dan penasehat hukumnya. Atas dalil, PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan absolut untuk mengadili perkara Tigor dan Obed karena mereka memiliki hak imunitas, Jaksa menyatakan bahwa Tigor dan Obed tidak memiliki hak imunitas karena baru dilantik menjadi advokat. Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang tertera pada UU Bantuan Hukum yang telah disampaikan Tigor dan Obed beserta Penasehat Hukumnya pada persidangan yang lalu. Dalam UU Bantuan Hukum, dengan tegas UU tersebut menyatakan bahwa Pemberi Bantuan Hukum, baik advokat maupun bukan, tidak bisa dituntut pidana maupun perdata ketika sedang menjalankan tugasnya dalam memberikan bantuan hukum.
Jaksa kemudian menjawab dalil Penasehat Hukum yang menyatakan bahwa peraturan Kapolri No. 7 tahun 2012 tidak dapat dijadikan dasar dalam dakwaan terhadap Tigor dan Obed. Jaksa menyatakan bahwa polisi memiliki wewenang untuk menjaga ketertiban sesuai UU No. 9 tahun 1998. Apa yang dijawab oleh Jaksa Penuntut Umum pada sidang kali ini berbeda dengan apa yang dinyatakan Tigor, Obed, dan Penasehat Hukumnya pada sidang pembacaan eksepsi yang lalu. Terdakwa dan Penasehat Hukum tidak mempermasalahkan kewenangan Kepolisian dalam menjaga Ketertiban Umum. Dalam eksepsinya terdakwa mempermaslahkan penggunaan Peraturan Kapolri yang tidak memenuhi unsur dalam Pasal 216 KUHP yang dijadikan dasar dalam dakwaan.
Dalam Pasal 216 KUHP yang dijadikan dasar dalam dakwaan Tigor dan Obed terdapat frasa, “…tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat…”. Sedangkan tindakan Kepolisian untuk membubarkan dan menangkap 26 aktivis bukan untuk menjalankan ketentuan undang-undang, melainkan menjalankan ketentuan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 yang mengatur unjuk rasa hanya sampai pukul 18.00 WIB. Hal tersebut diakui sendiri oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya, bahwa dasar tindakan polisi adalah Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012, bukan undang-undang.
Poin ketiga yang disampaikan Penuntut Umum menanggapi dalil Penasehat Hukum Terdakwa tentang dakwaan Error In Persona, dimana dalam dakwaan, jaksa salah menuliskan Alamat dan Pekerjaan Obed. Penuntut Umum mendalilkan bahwa alamat dan pekerjaan tidak signifikan untuk menyatakan dakwaan Error In Persona, karena jaksa tidak salah menuliskan nama Obed Sakti Andre Dominika. Namun, pada dakwaan Hasyim, jaksa salah menuliskan nama Hasyim, dan kembali jaksa mendalilkan bahwa kesalahan nama tidak signifikan untuk menyatakan dakwaan Error In Persona.
Terakhir, Jaksa Penuntut Umum menanggapi dalil Penasehat Hukum terdakwa yang menyatakan dakwaan kabur, tidak jelas, tidak lengkap, dan tidak cermat. Penuntut Umum mendalilkan bahwa jaksa telah menguraikan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Padahal dalam eksepsi yang dikemukakan seminggu sebelumnya, Penasehat Hukum mendalilkan alasan menyatakan dakwaan kabur adalah karena jaksa tidak menjelaskan posisi para terdakwa dalam Pasal 55 ayat (1) KUHP yang dijadikan dasar dalam dakwaan. Dalam pasal 55 ayat (1) KUHP disebutkan bahwa mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dapat dipinana. Namun jaksa tidak dapat menjelaskan posisi para terdakwa sesuai Pasal 55 ayat (1) KUHP tersebut, apakah sebagai pelaku, orang yang menyuruh melakukan, atau orang yang turut serta melakukan tindak pidana.
Penuntut Umum memohon kepada hakim untuk menolak eksepsi terdakwa, menyatakan dakwaan sah dan dapat dijadikan dasar pemeriksaan di pengadilan; dan melanjutkan perkara ini.
Pada kesempatan yang sama pula, Jaksa Penuntut Umum juga membacakan tanggapannya atas eksepsi dari terdakwa Hasyim. Secara garis besar, tanggapan jaksa terhadap Hasyim sama dengan keberatan untuk terdakwa Tigor dan Obed. Jaksa masih bersikukuh bahwa polisi memiliki wewenang untuk menjaga ketertiban umum, sehingga melawan perintah polisi bisa dikenakan pidana.
Kedua, Penuntut Umum tidak menanggapi dalil Hasyim dan Penasehat Hukum bahwa tidak terdapat unsur melawan hukum. Kriminalisasi ini diduga merupakan upaya polisi yang ingin menyelamatkan diri setelah menganiaya 26 aktivis. Sebagaimana yang telah diberitakan banyak media, pada aksi tanggal 30 Oktober 2015, polisi berbaju Turn Back Crime memukuli buruh, mahasiswa, dan Pengacara LBH Jakarta ketika membubarkan aksi.
Ketiga, Jaksa Penuntut Umum menanggapi dalil bahwa dakwaan kabur, tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap. Sama seperti tanggapan terhadap eksepsi Tigor dan Obed. Jaksa Penuntut Umum menyatakan dakwaan telah jelas dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana terjadi. Selanjutnya, terhadap berubahnya dakwaan di muka pengadilan karena kesalahan identitas terhadap Hasyim, jaksa menganggap hal tersebut bukanlah masalah yang signifikan. Padahal kejadian tersebut tidak sesuai dengan KUHAP, sesuai dengan ketentuan pasal 144 KUHAP.
Sebelum sidang ditutup, Penasehat Hukum memohon kepada majelis hakim untuk mengijinkan terdakwa menghadirkan ahli yang akan memberikan keterangan seputar kompetensi absolut PN Jakpus untuk menangani perkara ini.
“hak para terdakwa telah dilanggar oleh arogansi penyidik karena pada saat penyidikan para terdakwa, yang dulu berstatus tersangka, tidak diperkenankan menghadirkan saksi maupun ahli. Sehingga Penasehat Hukum memohon kepada Majelis Hakim untuk tidak melanggar hak para terdakwa untuk kedua kalinya,” minta Maruli Tua Penasehat Hukum para terdakwa.
Permintaan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim dengan alasan pemeriksaan materi eksepsi seharusnya tidak bertele-tele.
Sidang terdakwa Tigor, Obed, dan Hasyim ditutup dan dilanjutkan sidang dengan terdakwa 23 buruh. Agenda sidang adalah pembacaan dakwaan. Dakwaan terhadap 23 buruh sama dengan dakwaan terhadap Tigor, Obed, dan Hasyim. (Dema)