Apa yang dirasakan, dipikirkan dan kemudian dilakukan perempuan ketika penguasa atau pengusaha menggusur paksa rumah dan kampung halaman tempat mereka hidup atas nama pembangunan? Juga ketika terjadi banjir besar yang tidak lain terjadi akibat angkuhnya pembangunan yang tidak selaras dengan lingkungan alam? Apakah dalam setiap proses pembangunan termasuk praktik penggusuran maupun penanggulangan bencana banjir, warga perempuan diberikan ruang keterlibatan untuk menyuarakan pendapatnya dan didengar dalam pengambilan keputusan?
Kita barangkali sudah tahu jawabannya. Selama ini, kelompok perempuan kerap tidak dilibatkan dan dilewati begitu saja dalam setiap diskursus agenda pembangunan kota. Terlebih banyaknya hambatan yang dihadapi perempuan lantaran ketidakadilan gender yang mengakar kuat mulai dari lingkup keluarga, masyarakat hingga negara. Akibatnya konsep dan narasi pembangunan kota dan penggusuran paksa selalu bersifat maskulin luput dari perspektif perempuan.
Absennya suara perempuan dalam kasus-kasus penggusuran paksa dan banjir di wilayah Jabodetabek, khususnya di tiga kampung yang tertulis dalam buku ini yakni Kapuk Poglar, Gang Lengkong Jakarta Utara, dan Pekayon-Jaka Setia Bekasi yang menunjukkan bahwa pembangunan kota berperspektif keadilan gender sama sekali belum terwujud. Ini menyebabkan terjadinya berbagai macam ketidakadilan gender dan dampak yang dialami oleh kelompok perempuan. Oleh karenanya, pembangunan kota berperspektif keadilan gender menjadi sangat penting untuk melampaui problem-problem ketidakadilan yang dialami oleh kelompok perempuan.
Selengkapnya UNDUH