Pada Jumat, 26 November 2021, perwakilan warga Rusunami City Garden Cengkareng yang tergabung dalam Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rusunami City Garden (“P3CG”) melakukan aksi unjuk rasa dan penyampaian permohonan pemenuhan hak kepada Gubernur DKI Jakarta di balaikota. Warga mengadukan nasib mereka yang selama 12 tahun penghuniannya tidak mendapatkan akses air bersih yang layak dari PAM sebagaimana dijanjikan pengembang pada saat pemasaran. Fenomena tersebut merupakan puncak gunung es dari carut marutnya pengelolaan Rusunami City Garden yang tak kunjung diserahkan pengembang kepada pemilik yang merupakan pelanggaran aturan hukum rumah susun.
Warga mulai menghuni Rusunami yang berkapasitas 600 unit tersebut pada 2008. Sejak awal penghunian, pihak pengembang dari PT. Reka Rumanda Agung Abadi menunjuk PT. Surya Citra Perdana sebagai pengelola. Pihak pengelola menyediakan air tangki kepada warga meskipun warga meminta pemasangan layanan air PAM segera dilakukan agar tarif lebih murah, namun urung dilakukan hingga kini. Berdasarkan proposal pengadaan yang dibuat PT. Palyja sebagai operator PAM Jaya pada Agustus 2021, warga melalui pengelola harus membayar Rp 951 juta untuk pemasangan sambungan air bersih.
Pada 2014, pengelola mengalihkan pengadaan sumber air melalui proyek Water Treatment Plant (“WTP”) yang dikelola pihak ketiga. Sejak saat itu warga mulai mengeluhkan kualitas air yang buruk. Air yang dikonsumsi warga berwarna keruh, sedikit berbau dan diduga menjadi penyebab beberapa warga mengalami gatal-gatal dan timbul penyakit kulit. Hasil uji laboratorium yang dilakukan warga secara mandiri bahkan menunjukan hasil air yang tercemar dan berbahaya untuk digunakan. Pada Oktober 2021, WTP tersebut dinyatakan melanggar hukum oleh pemerintah dan ditutup. Sejak saat itu kebutuhan air bersih warga sama sekali tidak terpenuhi.
“Warga harus membeli secara mandiri dan membayar hingga 5 kali lipat lebih mahal dari sebelumnya karena pengelola tidak menjalankan komitmennya menyediakan air bersih pengganti,” ujar Suherman selaku ketua P3CG.
Tidak hanya tidak mendapatkan air bersih, warga yang telah melunasi pembayaran juga hingga kini tidak mendapatkan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHMSRS). Warga juga mendapati pembangunan rusun tidak sesuai yang dijanjikan dalam pemasaran dan justru mendapat intimidasi ketika melayangkan protes terhadap pengelolaan yang buruk. Permasalahan tersebut sejatinya adalah puncak gunung es dari persoalan abainya tanggung jawab pengembang pada tahap transisi untuk menyerahkan pengelolaan Rusunami kepada pemilik setelah lebih dari 12 tahun penghunian. Tanggung jawab tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 dan juga Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 133 Tahun 2019 yang meliputi pengurusan dokumen pertelaan, dokumen kepemilikan dan perizinan serta memfasilitasi pembentukan P3SRS
Berbagai upaya telah dilakukan warga mulai dari negosiasi dan mediasi dengan pengelola serta pengembang, hingga pengaduan pada dinas-dinas pemerintahan daerah terkait, namun urung mendapatkan penyelesaian. Oleh karena itu warga melakukan aksi unjuk rasa dan penyampaian tuntutan pemenuhan hak secara langsung kepada Gubernur DKI Jakarta.
LBH Jakarta berpandangan bahwa upaya warga melayangkan pengaduan dan memohon pemenuhan hak kepada Gubernur DKI Jakarta adalah tepat. Pasalnya pemenuhan hak atas air bersih merupakan hak asasi manusia dan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah memastikan pemenuhannya berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan Pasal 8 UU No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air. Sulit dan mahalnya proses pemasangan saluran air bersih oleh PAM/Palyja juga diduga sarat maladministrasi jika melihat ketentuan Pergub DKI No. 16 Tahun 2020.
Adapun dalam hal pengembang yang melanggar hak warga dalam pengelolaan di masa transisinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berwenang melakukan pengawasan, melayangkan teguran, pemanggilan hingga sanksi administratif dalam hal tidak dipatuhinya kewajiban yang diatur dalam Pergub DKI No. 133 Tahun 2019 dan juga PP 13 Tahun 2021.
“Gubernur tidak boleh membiarkan warganya sendirian melawan pengembang untuk pemenuhan haknya. Undang-Undang memberikan kewenangan bahkan tanggung jawab bagi pemerintah daerah untuk melakukan intervensi demi terpenuhinya hak atas tempat tinggal layak dan hak atas air, ” ujar Charlie Albajili selaku pendamping warga dari LBH Jakarta.
Aksi tersebut dilakukan oleh 20 orang perwakilan warga di depan Balaikota sejak pukul 09.00 WIB. Warga membentangkan spanduk tuntutan dan membawa langsung air tercemar yang selama bertahun-tahun digunakan oleh mereka.