Sepanjang tahun 2015 LBH Jakarta mencatat bahwa angka pengaduan pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) terus mengalami peningkatan. Sepanjang bulan Oktober tahun 2014 hingga bulan Oktober tahun 2015, LBH Jakarta telah menerima pengaduan sebanyak 71 (tujuh puluh satu) pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 431 orang. Dimensi pelanggaran yang terjadi pada hak atas peradilan yang adil tersebut, yakni: 1) setengah diantaranya adalah kasus kriminalisasi yang cenderung mengarah pada rekayasa kasus; 2) Penyiksaan saat penyidikan; 3) pelanggaran hak atas bantuan hukum bagi saksi, tersangka atau terdakwa. Peningkatan pelanggaran hak atas peradilan yang adil ini (fair trial) cenderung disebabkan oleh tindakan represif aparat penegak hukum yang lebih mengutamakan pengendalian tingkat kriminalitas (crime control model) namun tidak disertai pemenuhan prinsip-prinsip HAM.
“Aparat penegak hukum cenderung represif dalam rangka melakukan penegakan hukum. Itu dapat dilihat dari banyaknya prinsip-prinsip HAM yang sudah diatur dalam aturan perundang-undangan namun tidak dijalankan secara penuh seperti pembubaran paksa aksi buruh 30 Oktober 2015 yang berujung pada adanya tindakan kekerasan serta kriminalisasi terhadap 2 (dua) orang pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta, “ ucap Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa.
Pelanggaran hak atas peradilan yang adil (fair trial) ini tidak hanya terjadi pada saat proses persidangan, bahkan proses sebelum persidangan berlangsung yaitu pada tingkat penyelidikan dan penyidikan. Juga termasuk dalam setiap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum seperti pada tahapan pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, sangat terlihat dimensi pelanggaran HAM yang terjadi. Hal ini tentu sangat disayangkan bagi setiap mereka yang tidak bersalah, namun hak-hak atas keadilannya telah direnggut dan ditutup.
“Hari ini, bukan lagi mereka yang miskin, buta hukum, dan tertindas saja yang menjadi sasaran kriminalisasi dan pelanggaran HAM, bahkan akademisi, aktivis, dan penegak hukum yang pro terhadap pemerantasan korupsi pun turut menjadi sasaran “brutalitas” aparat penegak hukum,” tambah Alghiffari.
Lebih lanjut, Pengacara Publik LBH Jakarta Revan Tambunan menambahkan bahwa berdasarkan catatan LBH Jakarta, ada 6 (enam) dimensi pelanggaran hak atas peradilan yang adil yang dilakukan oleh Negara sepanjang tahun 2015 ini, yaitu: 1. Kriminalisasi dalam kemasan “Penegakan Hukum”; 2. “Kegemaran” Kepolisian Melakukan Tindak Penyiksaan; 3. Rekayasa Hak atas Bantuan Hukum; 4. Penegakan Hukum yang Diskriminatif; 5. Lembaga Pengawas sebatas Menerima Pengaduan; 6. Belum ada Mekanisme Pemulihan yang Efektif Terhadap Korban Salah Tangkap.
Atas dasar di atas, LBH Jakarta bersama Gerakan Masyarakat Sipil Melawan (Geram) Kriminalisasi meminta kepada pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan dengan beralih dari crime control model ke due process of law dimana penegakan hukum lebih mengutamakan prinsip-prinsip hak asasi manusia untuk melindungi hak tersangka maupun korban dengan cara segera melakukan revisi KUHAP dengan substansi perubahan sebagai berikut:
- Adanya Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU KUHAP untuk melakukan kontrol terhadap proses penyidikan dan upaya paksa untuk mencegah terjadinya praktek penyiksaan maupun kesewenang-wenangan lainnya dari Penyidik
- Perlunya pengaturan mekanisme perolehan alat bukti yang sah, dimana selama ini perolehannya dilakukan dengan cara melawan hukum dan masih menjadikan pengakuan Tersangka sebagai salah satu alat bukti.
- Memperkuat hak atas bantuan hukum, dimana setiap proses penyidikan baik Tersangka maupun Saksi wajib didampingi kuasa hukum tanpa terkecuali agar dapat memastikan segala haknya terpenuhi secara utuh.
- Mengembalikan fungsi Jaksa Penuntut Umum sebagai pengendali perkara dalam sistem peradilan pidana (dominus litis) karena hanya Jaksa Penuntut Umum yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana
- Memperkuat dan memaksimalkan fungsi pengawasan dari Komisi Negara seperto Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial. Harus ada peningkatan peran dari institusi seperti ini yang bukan lagi sekedar memberikan rekomendasi, tetapi juga dapat memberikan sanksi secara langsung tanpa harus melalui izin dari lembaga yang diawasi.
Hormat Kami
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta
Narahubung: Marulitua Rajagukguk (081369350396); Revan T.H Tambunan (085379660600)