Jakarta, 19 Juni 2014
Hal : Menanti Kebijaksanaan Mewujudkan Keadilan
Nomor : 325/Surat Terbuka_Jskk/Vi/2014
Kepada Yth.
Susilo Bambang Yodhoyono
Presiden Republik Indonesia
Di Tempat
Bapak Presiden, hari ini Kami ingin menyampaikan keluh kesah dan tuntutan kami untuk yang ke-356 kali dalam Aksi Kamisan. Kami hanya punya kesempatan 18 kali lagi untuk melakukan Aksi Kamisan, terus menerus mengetuk pintu hati Bapak untuk para korban pelanggaran HAM, sebelum masa jabatan Bapak selesai digantikan oleh Presiden yang baru pada tanggal 20 Oktober 2014. Pada kesempatan ini Kami ingin menyampaikan mengenai kondisi Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan UU No. 11 Tahun 2005, tentunya segala kewajiban Negara dalam kovenan tersebut harus dipenuhi.
Saat ini angka penduduk miskin mencapai ±28,5 juta orang. Angka tersebut akan meningkat jauh jika kita gunakan standar minimum yang lebih riil berdasarkan kebutuhan hidup layak. Badan Pusat Statistik pada Januari 2014 menyampaikan kemiskinan di Indonesia semakin dalam dan parah. Angka kematian ibu dan anak masih tinggi dan jauh dari target MDG’s. Saat ini masih terdapat 7,15 juta orang Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan. Sekitar 10 juta rakyat Indonesia tidak terlindungi dari bekerja dengan beban tak terbatas tanpa surat kontrak dan gambaran pekerjaan, terutama pekerja rumah tangga yang hidup dengan majikan, jam kerja yang panjang. Sementara itu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak juga disahkan. Selain itu para pekerja masih berada dalam kondisi upah murah, kebebasan berserikat diberangus, status outsourcing, kontrak, dan berbagai pelanggaran hak normatif di tengah tidak bekerjanya pengawasan. Pada 2014 DPR RI telah membuat panja dan memberikan rekomendasi penghapusan outsourcing di BUMN tapi tidak juga dilaksanakan. Belum lagi buruh migran Indonesia yang menjadi komoditi, namun tidak ada undang-undang dan kebijakan yang konkrit melindungi buruh migran, melainkan hanya penempatan.
Dalam sektor perumahan terdapat kekurangan perumahan mencapai ±15 juta unit. Artinya ±15 juta keluarga atau 60 juta penduduk tidak memiliki rumah sendiri. Di Timor Barat pada tahun 2014, 22.000 orang masih tinggal dalam camp pasca referendum di Timor Leste pada tahun 2009. Selain itu penggusuran paksa dengan berbagai alasan masih sering terjadi, padahal Resolusi PBB No. 28 Tahun 2004 mengatakan bahwa penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat. Belum lagi kondisi lingkungan yang sangat buruk, dimana Indonesia berada di posisi 112 dari 178 negara dengan indikator kualitas udara, iklim, energi, tutupan hutan, dan pengelolaan air.
Terkait pendidikan, setiap tahun 1,5 juta anak Indonesia masih terancam putus sekolah. Ternyata besarnya anggaran pendidikan (345 Triliun di 2013 dan 371 Triliun di 2014) tidak sanggup menjamin hak atas pendidikan karena tidak jelasnya pengelolaan. Ujian Nasional (UN) masih tetap diadakan, padahal melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 2596 K/PDT/2008 membatalkan UN karena melanggar hak anak. Belum lagi di sektor pendidikan tinggi dimana UU Pendidikan Tinggi telah melegitimasi privatisasi atau liberalisasi sektor pendidikan.
Di tengah rendahnya pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya tersebut, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang memperburuk keadaan, sedikit contoh seperti Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, namun mengorbankan kehidupan masyarakat kecil, Perpres Nomor 51 tahun yang mengizinkan reklamasi di Bali, pembangunan pabrik semen di Rembang dengan kapasitas 3 juta ton/tahun yang akan merusak lingkungan dan mengancam kehidupan petani, dan berbagai kebijakan lain yang memiskinkan. Kami menyebut hal tersebut sebagai pemiskinan struktural.
Bapak Presiden, pada Oktober 2014 akan terjadi pergantian kepemimpinan di Republik ini. Namun, kami ingin meyakinkan bahwa masih ada waktu 4 bulan untuk membuat kebijakan yang signifikan untuk pemenuhan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya masyarakat Indonesia. Masih ada juga waktu untuk memenuhi hak-hak korban yang telah 356 kali berusaha mengetuk hati nurani Bapak; keluarga korban penculikan dan penghilangan paksa 1997/1998, Tragedi Mei 1998, Semanggi I dan II, Tragedi 1965-1966, Tanjung Priok, Talang Sari, Munir, dan deretan panjang korban pelanggaran hak asasi manusia yang tidak bosan kami sampaikan kepada Bapak.
Jakarta, 19 Juni 2014
JSKK (JARINGAN SOLIDARITAS KORBAN UNTUK KEADILAN)