Siaran Pers Bersama
YLBHI, Paritas Institute, HRWG, LBH Jakarta, PUSAD Paramadina dan beberapa individu diantaranya Zainal Abidin Badir, Siti Aminah memandang, “Surat Keputusan Bersama tentang Radikalisme di ASN ini akan sangat berdampak dan berbahaya, ini berpotensi kuat melanggar hak kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi aparat sipil negara dan pekerja yang bekerja di sektor pemerintah, termasuk berbahaya bagi dosen dan dunia akademik di kampus-kampus negeri“. Padahal kebebasan berpendapat dan berekpresi sangat dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menurut kami, SKB ini tidak memiliki indikator dan definisi yang jelas, sangat rentan menjadi ajang fitnah dan bisa menyasar terhadap ASN yang kritis terhadap instansi dan pemerintahan secara umum. Misalnya definisi, cakupan radikalisme, salah satunya intoleransi. Padahal Intoleransi dan radikalisme berbeda, kategori kebencian juga tak terukur. Pun kalimat ujaran kebencian terhadap Pancasila, bhinneka Tunggal Ika, NKRI dan pemerintah tidak jelas batasan dan indikatornya. Tidak jelasnya rumusan ini sangat berpotensial menjadi ‘karet’ dan juga menjadi salah penanganan.
Jika melihat redaksinya, ada kekeliruan fatal secara konseptual, khususnya terkait kebencian terhadap Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, dll. Standar larangan kebencian semestinya ditujukan kepada orang, bukan ideologi.
Lebih jauh, secara konsep, pelarangan ujaran kebencian sebagai bentuk pembatasan HAM yang sah dibuat sebagai perisai untuk melindungi individu atau kelompok rentan yang potensial menjadi korban kekerasan atau pelanggaran HAM. Hal ini dirumuskan sebagai perlindungan kepada orang-orang dari tindakan diskriminasi, kekerasan, atau permusuhan, akibat penyebaran kebencian di dalam hukum pidana Indonesia. Adalah keliru ujaran kebencian ditujukan untuk melindungi individu apalagi institusi dan atribut kenegaraan. Radikalisme juga seharusnya dilihat dalam pengertiannya sebagai dukungan dan partisipasi untuk menggunakan kekerasan, baik verbal maupun fisik, yang dilarang dalam peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Di poin 7, terdapat kalimat penyelenggaraan kegiatan yang “mengarah”. Kata “mengarah” jelas sangat kabur dan tidak jelas pengaturannya, sehingga akan menjadi ketentuan karet yang mudah disalahgunakan.
Jika kita melihat SKB tersebut, kami melihat tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Kita hanya bisa menemukan UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaaan dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta sejumlah aturan turunannya. Tidak ada dasar dan payung hukum tentang definisi radikalisme dan intoleran yang konkret. ini nampak jelas misalnya dari statement yang berubah dari Presiden Joko Widodo yang mengubah istilah radikalisme menjadi manipulator agama, atau statement Menteri Agama Fahrul Razi yang mengaitkan celana cingkrang dengan radikalisme.
Melalui SKB ini, dikhawatirkan akan menghancurkan semangat negara hukum dan penghormatana serta perlindungan hak asasi manusia yang merupakan semangat yang dibangun dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.