Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kembali menggelar persidangan Sultan Farel Farizki (19) dengan dengan empat belas orang lainnya yang merupakan korban salah tangkap saat aksi Reformasi Dikorupsi pada Kamis (10/01) lalu. Perkara dengan No. 1302/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst mendudukan Sultan pada persidangan. Ia ditangkap pada 25 September 2019 pukul 02.00 WIB bersama kelima temannya dan dibawa ke Polres Jakarta Barat saat sedang makan di sebuah warung.
Namun pada saat dibawa ke Polres Jakarta Barat dan dilimpahkan ke Polres Jakarta Pusat, Sultan tidak dilepaskan oleh pihak Polres Jakarta Pusat dengan alasan statusnya bukan mahasiswa, sementara kelima temannya dilepaskan dengan alasan karena statusnya sebagai mahasiswa. Sultan Farel Farizki kemudian didakwa oleh penuntut umum dengan Pasal 212 jo. Pasal 214 ayat (1) KUHP tentang Melawan Petugas atau Pasal 170 ayat (1) KUHP tentang Pengerusakan atau Pasal 218 KUHP tentang Membubarkan Diri Saat Kerumunan Diperintahkan Bubar.
Pada Kamis (10/01/2020) lalu, penuntut umum menghadirkan saksi yakni lima orang anggota kepolisian yang berdinas di Polres Jakarta Pusat maupun Polres Jakarta Barat. Pada persidangan tersebut, kuasa hukum Sultan Oky Wiratama dari LBH Jakarta kepada salah satu saksi yang dihadirkan penuntut umum menanyakan proses penangkapan Farel. Manullang, saksi yang menangkap Sultan pada persidangan mengatakan bahwa dirinya menangkap dengan cara acak dan sedapatnya saja.
“Apakah saksi membawa surat perintah penangkapan? Lalu bagaimana saksi memilih orang yang akan ditangkap?” Tanya Oky.
“Tidak ada surat perintah penangkapan, dan cara memilih orang yang ditangkap yaa dengan sedapatnya saya saja, apa yang saya lihat, itulah yang saya tangkap”, jawab Mannulang.
Saksi Manullang juga mengatakan dirinya bertugas melakukan pengamanan aksi dari pukul 16.00 WIB Tanggal 24 September 2019 hingga pukul 04.00 WIB tanggal 25 September 2019, dan baru melakukan penangkapan saat pukul 02.00 WIB di sekitar Pasar Palmerah. Ia mengungkapkan menangkap Sultan dengan alasan karena Sultan setelah Pukul 18.00 WIB tidak segera pulang dan masih di sekitar Palmerah.
“Kalau begitu kenapa saksi tidak langsung menangkap saja setelah pukul 18.00 WIB? Kenapa baru menangkap pukul 02.00 WIB? Tanya Oky yang tidak bisa dijawab saksi.
Kuasa hukum Sultan juga menanyakan tentang akibat jika massa aksi tidak segera bubar setalah Pukul 18.00 WIB, apa akibatnya jika tidak segera bubar setelah Pukul 18.00? Dan apakah bisa ditahan.
“Akibatnya aksi hanya dibubarkan saja, tidak bisa ditahan,” jawab saksi di persidangan.
Sementara Manullang sebagai saksi juga tidak dapat membuktikan apakah Sultan Farel Farizki merupakan orang yang menurutnya turut melakukan pelemparan ke arah pertugas. Sebab, pada persidangan Ia mengaku, meski Ia melihat segerombolan orang yang melemparkan batu kepada petugas kepolisian, Ia tidak mengenali wajah Sultan ketika ditanya pada persidangan.
Pada persidangan pun terungkap, bahwa saksi kepolisian dari Polres Jakarta Barat melakukan penangkapan secara acak, asal tangkap, tanpa surat perintah penangkapan, dan tanpa mengetahui apakah orang tersebut benar-benar massa aksi yang melakukan pelemparan batu atau tidak. Apabila dikaitkan dengan Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Yahya Harahap dalam bukunya halaman 157 yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, “Kewajiban polisi dalam melakukan penangkapan adalah tidak berlaku sewenang-wenang terhadap “terduga/tersangka tindak pidana”. M. Yahya juga mengatakan bahwa penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Namun yang terjadi dalam praktik justru sebaliknya, Sultan Farel babak belur, matanya hitam dan giginya patah ketika ditemukan di kantor polisi oleh keluarganya beberapa hari setelah ditangkap dalam aksi #ReformasiDikorupsi. Pihak Kepolisian beralasan Sultan Farel dipukuli petugas yang sedang emosi tidak terkendali. (Tiara)