“Diskusi Jakarta ke Depan”, Forum Pujian Anies
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta 8 Agustus 2022 mengundang Mahasiswa di DKI Jakarta untuk hadir pada pertemuan yang mengusung tema “Diskusi Jakarta ke Depan”. Pada pertemuan tersebut, kami perwakilan Mahasiswa yang tergabung dalam Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA) menyatakan sikapnya atas forum tersebut. Kami merasa forum tersebut tidak memberikan ruang untuk kami berbicara dan menyampaikan permasalah-permasalah yang dialami warga Jakarta. Dengan begitu, Kami menganggap forum “Diskusi Jakarta Ke Depan” hanya sebagai forum pujian Anies Baswedan karena tidak berani memberikan kami ruang untuk mengkritik.
10 Permasalahan Krusial Jakarta
Kami mencatat permasalahan krusial yang masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk diselesaikan. Adapun, permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Buruknya kualitas udara Jakarta yang sudah melebihi Baku Mutu Udara Ambien Nasional (BMUAN)
Pasca putusan atas Gugatan Warga Negara terhadap polusi udara di DKI Jakarta. Hal ini dapat dibuktikan dengan status Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) yang masih jauh di bawah ambang batas sehat bagi warga, upaya-upaya teknis yang dilakukan tidak dapat diukur dan tidak teruji secara ilmiah, hasil pengawasan polusi udara yang tidak transparan dan penerbitan kebijakan yang tidak didasarkan pada kebutuhan dan partisipasi publik dalam hal ini warga DKI Jakarta. Warga DKI Jakarta bertaruh nyawa setiap harinya karena polusi udara.
Oleh karenanya, kami mendesak Anies Baswedan, selaku Gubernur DKI Jakarta untuk melakukan langkah-langkah konkrit terukur diantaranya penganggaran dan penambahan stasiun pemantauan kualitas udara, melakukan pengawasan, penegakan hukum dan transparansi terhadap ketaatan setiap orang terhadap aturan pengendalian pencemaran udara, menginventarisir mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta tata guna tanah dengan mempertimbangkan penyebaran emisi dari sumber pencemar dan melibatkan partisipasi publik, membuat strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara yang melindungi kesehatan manusia lingkungan dan ekosistem termasuk kesehatan populasi yang sensitif berdasarkan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara terfokus, tepat sasaran, dan melibatkan partisipasi publik serta berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam upaya pengendalian polusi udara di DKI Jakarta.
2. Sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air
Sejak 6 Juni 1997 air bersih di wilayah Jakarta diprivatisasi oleh pemerintah melalui Perjanjian Kerjasama yang dibuat oleh Perusahaan Daerah Air Minum Provinsi DKI Jakarta (PAM Jaya) yang notabene adalah Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan PT PAM Lyonnaise (sekarang bernama Palyja) untuk wilayah barat Jakarta dan PT Thames PAM Jaya (sekarang bernama Aetra) untuk bagian timur Jakarta.
Sejak saat itu hingga kini penguasaan dan pengelolaan air Jakarta beralih dari negara ke swasta. Padahal, mandat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sangat jelas: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sejak Perjanjian Kerjasama tersebut berlaku seluruh pihak mulai dari pemerintah hingga warga Jakarta golongan ekonomi bawah dirugikan. Kerugian-kerugian tersebut antara lain:
- Jangkauan air bersih hanya bisa mencakup 62 persen wilayah Jakarta;
- Terdapat 22,85 persen warga Jakarta tidak memiliki menikmati pelayanan air;
- Harga air di Jakarta sangat mahal (mencapai Rp. 12.550,- per meter kubik) namun tidak berkualitas karena berbau dan berasa;
- Pengelolaan air oleh Palyja dan Aetra tidak transparan dan akuntabel;
- Negara dirugikan karena harus membayar imbal hasil atau biaya defisit kepada Palyja dan Aetra; Mengingat kontrak perjanjian kerjasama yang akan berakhir pada tahun 2023, saat ini, proses pengelolaan air di DKI Jakarta sedang dalam proses transisi pengembalian pengelolaan air.
Namun sayangnya, proses itu tidak dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan tidak dilakukan dengan memaksimalkan partisipasi publik. Oleh karenanya, kami mendesak Anies, selaku Gubernur DKI Jakarta untuk memastikan penghentian praktik swastanisasi air di DKI Jakarta dengan membuat regulasi khusus berdasarkan keterbukaan informasi dan partisipasi yang luas, demi menjamin proses transisi/remunisipalisasi pengelolaan air dapat terwujud, serta menjamin tidak ada upaya melanjutkan swastanisasi air di DKI Jakarta.
3. Penanganan banjir Jakarta belum mengakar pada beberapa penyebab banjir
Salah satu janji politik Anies yang kerap digaungkan adalah perluasan dan peningkatan efektivitas program penanggulangan banjir. Namun hingga saat ini, masih banyak permasalahan terkait banjir yang belum selesai. DKI Jakarta tidak memiliki sistem penanggulangan bencana banjir yang berorientasi pada pemulihan hak korban. Selain itu, betonisasi sungai yang kerap kali dijadikan solusi, justru menimbulkan masalah baru di bidang ekologi bahkan memperparah kondisi banjir.
Secara umum, kebijakan penanggulangan banjir dititikberatkan pada pendekatan ekonomistrik, yang minim kepentingan lingkungan dan keselamatan warga. Pendekatan penanggulangan banjir juga kerap kali hanya terbatas pada ranah teknikal, one-size-fits-all, dan bersifat top-down. Tidak pernah ada pelibatan warga secara bermakna dalam proses perumusan solusi bersama, solusi akar rumput dihilangkan, sehingga seringkali solusi yang dihadirkan tidak relevan dan justru bersifat kontraproduktif dengan kondisi eksisting.
Di saat yang bersamaan, seringkali ditemukan solusi teknis yang tidak terhubung padahal terdapat dalam satu sistem geografis hulu-hilir. Hal ini sejalan dengan pembagian kelembagaan penanggulangan banjir yang dibatasi oleh delineasi administrasi, serta diperparah dengan minimnya koordinasi. Untuk itu, Anies, selaku Gubernur DKI Jakarta perlu meningkatkan efektivitas ruang terbuka hijau di Jakarta, bukan hanya perluasan saja. Pertimbangan Daya Dukung Lingkungan (DDL) harus lebih konkrit terimplementasi dalam pembangunan.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus menghentikan betonisasi berkedok normalisasi sungai yang hampir selalu memperburuk dan menambah masalah lingkungan baru. Orientasi sistem penanggulangan banjir juga harus dititikberatkan pada meminimalisir korban dan pemulihan hak korban. Akan baik juga apabila membuat Rencana Pengelolaan Risiko Banjir Berbasis Komunitas (RPRBBK) yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang. Dengan adanya RPRBBK, suara dan solusi akar rumput terkait penanggulangan banjir warga tidak dikesampingkan.Pada penyelenggaraan RPRBBK, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat membentuk Gugus Tugas Komunitas Pengelola Risiko Banjir untuk melibatkan masyarakat secara lebih terstruktur dan terorganisir.
4. Ketidakseriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum
Angka kemiskinan di DKI Jakarta kian meningkat menjadi 501.920 orang berdasarkan data per Maret 2021. Situasi yang dihadapi warga miskin DKI Jakarta diperparah dengan belum adanya peraturan daerah tentang Bantuan Hukum. Padahal dalam kesehariannya, warga miskin sangat rentan berhadapan dengan permasalahan hukum. Seharusnya hal tersebut dapat diantisipasi apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengesahkan Perda Bankum DKI Jakarta yang sudah hampir 8 tahun diwacanakan. Sayangnya, sejak 2014 hingga 2022 saat ini, status Raperda Bankum masih belum masuk sebagai bagian dari Program Legislatif Daerah tahun 2022 di DPRD DKI Jakarta. Tentunya menjadi catatan buruk bagi DKI Jakarta, mengingat dalam lingkup wilayah Jabodetabek, hanya DKI Jakarta yang belum mempunyai Perda Bankum. Hal ini pun menunjukkan bahwa Pemprov DKI Jakarta tidak serius dalam memperluas proses penyelenggaraan bantuan hukum di wilayah DKI Jakarta, khususnya kepada kelompok-kelompok warga miskin yang rentan berhadapan dengan masalah hukum. Untuk itu, Anies, selaku Gubernur DKI Jakarta harus memprioritaskan pembahasan dan pengesahan Ranperda Bantuan Hukum DKI Jakarta agar dapat disahkan pada tahun 2023, sehingga dapat mengisi kekosongan dan kelemahan yang ada di dalam sistem bantuan hukum nasional melalui dukungan Pemerintah Daerah.
5. Lemahnya perlindungan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di teluk Jakarta
Pemerintah punya kewajiban memastikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat dimanfaatkan oleh seluruh rakyat secara berkeadilan dan berkelanjutan tanpa adanya upaya privatisasi atau bahkan eksploitasi berlebihan. Sayangnya hal itu tidak terjadi di teluk Jakarta. Publik Jakarta tidak bisa mengakses pantai bersih cuma-cuma dari total 32 km garis pantai. Pemprov tidak berupaya mengoreksi monopoli penguasaan korporasi di pulau-pulau kecil yang menghilangkan ruang tangkap nelayan. Konflik Agraria berupa praktik perampasan ruang hidup dan privatisasi pulau yang disertai intimidasi dan kriminalisasi juga terus terjadi sebagaimana mengancam warga Pulau Pari. Proyek tanggul laut mengancam pencaharian nelayan tradisional yang ditinggalkan dalam perencanaannya. Raperda RZWP3K yang disusun Pemprov DKI tidak hanya minim partisipasi, meniadakan wilayah tempat tinggal dan tangkap nelayan tradisional, namun juga menghidupkan kembali proyek reklamasi yang terintegrasi dengan NCICD dan berbasis kepada kepentingan modal (investasi), tidak berbasis kepada kepentingan rightholders (nelayan tradisional dan masyarakat pesisir itu sendiri). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta wajib membuka partisipasi publik yang luas dalam penyusunan rencana zonasi khususnya nelayan dan masyarakat pesisir, melindungi wilayah tangkap dan hunian nelayan tradisional di dalam rencana zonasi, membuat regulasi turunan dari UU 7/2016 tentang perlindungan nelayan, mengevaluasi penguasaan korporasi atas pulau kecil, serta membatalkan seluruh proyek reklamasi yang diatur dalam rencana zonasi.
6. Reklamasi yang masih terus berlanjut
1 dari 23 janji Anies adalah “menghentikan Reklamasi Teluk Jakarta untuk kepentingan pemeliharaan lingkungan hidup serta perlindungan terhadap nelayan, masyarakat pesisir dan segenap warga Jakarta”. Sayangnya janji tersebut tidak dijalankan konsisten dengan membiarkan 3 pulau C, D, dan G tidak dicabut izinnya dan 13 lainnya dicabut serta memberikan izin reklamasi Ancol. Selain tetap merugikan nelayan tradisional serta merusak lingkungan di sekitar pulau tersebut, konsekuensi langkah kompromistis tersebut adalah tidak adanya KLHS dasar pencabutan yang berpotensi jadi kelemahan dalam gelombang gugatan balik pengembang reklamasi kepada Pemprov DKI. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta DKI Jakarta harus mengevaluasi dan mencabut berbagai regulasi di bawah kewenangan Pemprov DKI yang melanggengkan proyek reklamasi termasuk Raperda RZWP3k, mencabut seluruh izin reklamasi serta melakukan audit lingkungan. Kebijakan yang disusun harus berdasarkan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu menyusun dan melakukan skema pemulihan Teluk Jakarta secara menyeluruh, mulai dari mengevaluasi semua beban izin, memberikan sanksi tegas kepada korporasi pencemar Teluk Jakarta, serta menjadikan Teluk Jakarta sebagai wilayah tangkapan ikan yang produktif. Pemprov DKI harus memberikan sanksi tegas kepada perusahaan properti yang terbukti terlibat dalam tambang pasir laut untuk menguruk kawasan reklamasi dan meminta mereka untuk memulihkan kawasan yang telah rusak.
7. Hunian yang layak masih menjadi masalah krusial
Permasalahan hunian yang layak menjadi salah satu isu utama yang diangkat dalam kampanye Anies. Namun hingga hari ini, rasanya memiliki hunian yang layak di DKI Jakarta hanya menjadi angan semata bagi warga DKI Jakarta. Terlihat dari program DP 0% yang dijanjikan oleh Anies, tidak menjawab keresahan warga DKI Jakarta untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan strategis. Artinya, hingga hari ini Pemprov DKI Jakarta masih gagal dalam menyelesaikan krisis hunian terjangkau di tengah kota. Upaya pemenuhan backlog perumahan masih terbatas pada cara konvensional. Hal ini mendorong konvensi hunian menjadi komoditas investasi yang justru menyebabkan harga properti semakin meroket tak terkendali.
8. Penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta
Bahwa salah satu komitmen Anies saat kampanye adalah perlindungan hak atas tempat tinggal warga Jakarta dengan pendekatan pembangunan yang tidak menggusur paksa. Sayangnya penggusuran masih terjadi di Jakarta dan puluhan kampung di Jakarta masih dalam ancaman penggusuran seperti Pancoran Buntu II, Kapuk Poglar, Kebun Sayur, Tembok Bolong dan lainnya. Meski jumlahnya berkurang jika dibanding periode sebelumnya, namun pola-pola penggusuran yang melanggar HAM masih dilakukan seperti tidak adanya akses hukum, pengerahan aparat berlebihan, tidak adanya musyawarah dan solusi alternatif, hingga intimidasi, kekerasan juga kriminalisasi. Anies selaku Gubernur DKI Jakarta perlu menyelesaikan masalah penggusuran secara struktural dengan mencabut Pergub 207/2016 yang melegalkan penggusuran. Lebih baik lagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu membuat peraturan gubernur yang memuat peta jalan reforma agraria di Jakarta.
9. Belum maksimalnya penanganan Covid-19 serta dampaknya sosialnya
Dalam penanganan Covid 19, meski cukup baik dalam pengelolaan data dan informasi, namun terdapat tanggung jawab yang belum maksimal dan bahkan buruk dikerjakan Pemprov DKI. Pada 2021, angka testing tidak sesuai target dan fasilitas kesehatan kolaps. Pendidikan Tatap muka untuk peserta didik juga dilakukan terburu-buru di tengah data epidemologi yang masih akan membahayakan keselamatan anak diperparah dengan pengawasan yang lemah dari Dinas Pendidikan DKI. Hal ini diperburuk dengan kinerja Dinas Kesehatan DKI dalam pengawasan hak-hak masyarakat mengakses perawatan dan pengobatan selama Covid yang buruk. Cukup banyak pasien Covid yang dibebankan biaya perawatan Covid yang mahal oleh Rumah Sakit yang seharusnya ditanggung negara, namun dibiarkan dan diwajarkan oleh Dinas Kesehatan DKI. Pengalokasian bansos juga sangat minim dilakukan Pemprov dalam setahun terakhir. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mengembangkan infrastruktur kesehatan yang mudah diakses serta mengembangkan regulasi yang afirmatif untuk kelompok rentan serta mengevaluasi segera kinerja pengawasan dinas terkait agar tidak semakin banyak pembiaran terhadap pelanggaran hak warga.
10. Peraturan Daerah terkait perlindungan disabilitas yang masih jauh dari harapan
Pengesahan Rancangan Peraturan Daerah terkait dengan disabilitas nampaknya masih jauh dari arah. Rancangan yang sudah ada sejak 2018 tersebut tidak kian di bahas apalagi disahkan. Hal ini menunjukan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak menjadikan kelompok rentan (disabilitas) menjadi kelompok yang harus diprioritaskan kebutuhannya. Padahal pembahasan partisipatif dan pengesahan peraturan daerah terkait disabilitas tersebut akan sangat berpengaruh bagi kepentingan warga disabilitas di DKI Jakarta.
Permasalahan publik tersebut sangat krusial karena berkaitan langsung dengan penikmatan standar kehidupan layak yang berhak didapatkan setiap warga dan wajib dipenuhi oleh pemerintahnya. Mahasiswa di seluruh DKI Jakarta menolak politisasi terhadap isu publik dan menuntut Gubernur DKI Jakarta selaku pejabat publik secara serius menuntaskan persoalan tersebut secara struktural dan berkelanjutan.
Jakarta, 8 Agustus 2022
Hormat Kami,
KOALISI PERJUANGAN WARGA JAKARTA
Narahubung:
Jeanny Sirait ([email protected])
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.