Oleh: Rasyid Ridha Saragih*
Sebagai salah seorang “tokoh politik generasi tua”, Sri-Bintang Pamungkas (SBP) kembali membuat pernyataan yang blunder, yang membuat dirinya seolah gagal paham. Ini tercermin dari tulisannya yang bertajuk “Pribumi: Terlalu Cepat… Belum Saatnya!”. Tulisan tersebut beredar banyak di grup-grup Whatsapp, dan pun hadir di grup Whatsapp yang saya ikuti.
Dalam tulisan tersebut, SBP menyatakan bahwa LBH Jakarta telah menyebutkan bahwa Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 melakukan perbuatan tindak pidana, dimana Anies dalam pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, menyatakan istilah “Pribumi” dan “Non-Pribumi”.
Selain itu, SBP juga mengungkapkan bahwa LBH Jakarta dibawah komando anak-anak muda telah berpolitik, usil, imparsial, dan tidak profesional, karena telah membela korban-korban pelanggaran HAM masa lalu di tahun 1965-1979. Ia memperbandingkan dengan Pengabdi Bantuan Hukum (PBH) LBH Jakarta terdahulu, dimana PBH LBH Jakarta terdahulu melakukan “perlawanan terhadap rezim Soeharto” dengan membela kasus SBP di Pengadilan di pertengahan tahun 1990-an.
Lebih fatalnya lagi, SBP menyebutkan bahwa LBH Jakarta tidak melakukan perlawanan terhadap Ahok (Basuki Tjahja Purnama, Gubernur DKI Jakarta 2014-2016), ketika Ahok melakukan penggusuran rumah-rumah warga di sekitaran DKI Jakarta. Sebagai masyarakat yang melek teknologi dan memiliki basis pengetahuan, tentu mestinya wajar jika kita ajukan pertanyaan bagi statmen-statmen SBP tersebut: Benarkah semua tuduhan yang dilayangkan oleh SBP ini?
Pertama, ketika LBH Jakarta menyatakan bahwa Anies Baswedan tidak boleh menggunakan istilah “Pribumi/Non-Pribumi”, karena ia berposisi sebagai pejabat publik, yang dengannya harus bersikap memenuhi etika publik dalam pidato-pidatonya. Hal ini didukung dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi dalam Semua Perumusan dan Penyelenggaraan Kebijakan, Perencanaan Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan Penyelenggaraan Pemerintahan.
Selain itu, penggunaan istilah “Pribumi/Non Pribumi” telah mencederai semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial sebagaimana telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Kesemua aturan tersebut diadakan demi terciptanya warga negara yang memiliki kesetaraan yang sama di hadapan Negara, Hukum, dan sesamanya, dengan tidak membeda-bedakan satu antar sama lainnya hanya karena identitas ras/bahasa/etnis/budaya-nya.
Pada posisi ini, SBP gagal paham terhadap konteks dimana LBH Jakarta membuat statmen terkait apa yang telah diungkapkan Anies Baswedan dalam Pidato Publiknya ketika dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal sudah terang sekali, ketika Anies Baswedan mengucapkan istilah pribumi/non-pribumi dalam pidatonya, justru sebelum ia hendak dilantik di Balai Kota DKI Jakarta terpampang spanduk besar bertuliskan “Kebangkitan Pribumi Muslim”.
Yang mesti ditegaskan kembali adalah, bahwa LBH Jakarta hanya menyebutkan bahwa bila penggunaan istilah pribumi/non-pribumi digunakan untuk mengobarkan sentimen kebencian di masyarakat baik melalui gambar, tulisan, atau pernyataan publik, maka tindakan tersebut bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, hal tersebut telah melanggar Pasal 4 huruf b ke-1 dan 2 dan Pasal 16 Undang-undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Terlebih lagi, dalam pasal tersebut dinyatakan secara secara tegas bahwa pelaku pelanggar ketentuan hukum diatas bisa diancam sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta Rupiah).
Pada posisi ini, LBH Jakarta hanya mengingatkan bahayanya mengungkapkan istilah pribumi/non-pribumi di khalayak publik, bukan menuduh Anies Baswedan telah berbuat tindak pidana. Dua hal yang berbeda ini yang kemudian diplintir oleh sebagian awak media pers dan tidak dipahami oleh SBP (lebih lanjut lagi, sila cek rilis LBH Jakarta pada: (https://www.bantuanhukum.or.id/hentikan-penggunaan-istilah-pribumi/).
Hal yang terus menunjukkan bahwa SBP gagal paham dengan perjuangan yang dilakukan oleh relawan PBH LBH Jakarta adalah ketika ia menyatakan bahwa LBH Jakarta telah bermain politik, imparsial, dan tidak profesional karena membela korban pelanggaran HAM masa lalu 1965-1979. Ia membandingkan bahwa perjuangan LBH Jakarta yang patut diapresiasi adalah ketika LBH Jakarta melakukan pembelaan terhadap kasus yang ia alami ketika dituduh makar oleh rezim Soeharto.
Pada titik ini, SBP tidak mengerti bahwa yang diperjuangkan oleh LBH Jakarta bukanlah suatu perlawanan terhadap pejabat kekuasaan tertentu semata. Lebih jauh dari cara kerja para politisi praktis, yang diperjuangkan LBH Jakarta adalah pembelaan penuh terhadap Hak Asasi Manusia. Semua korban pelanggaran HAM, yang direpresi oleh rezim pemerintah karena perbedaan ideologi politik, ras, etnis, agama, kelas ekonomi, identitas, dsb., adalah subyek yang didukung dan dibela oleh LBH Jakarta.
Selain itu, LBH Jakarta juga melakukan pembelaan terhadap orang-orang miskin yang tidak memiliki akses bantuan hukum, korban kesewenang-wenangan aparatur negara, dsb. Kesemua klasifikasi subyek yang dibela oleh LBH Jakarta ini, mengerucut pada satu hal: bahwa mereka semua adalah korban pelanggaran HAM.
Keberpihakan dan konsistensi perjuangan LBH Jakarta dalam membela HAM inilah yang tidak dimengerti oleh SBP. SBP sebagai salah satu orang yang pernah dibela oleh LBH Jakarta, tidak mengerti dasar argumentasi mengapa LBH Jakarta membelanya. Orang seperti SBP –dan bahkan orang lainnya seperti aktivis-aktivis gerakan sipil Papua- yang dituduh melakukan perbuatan makar, adalah korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Negara, dimana Negara selalu merepresi warga sipilnya yang dianggap “kritis dan membahayakan”
Ironisnya lagi, dalam tulisannya tersebut SBP mengungkapkan bahwa LBH Jakarta tidak melakukan pembelaan terhadap korban penggusuran di wilayah DKI Jakarta semasa kepemimpinan Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta. Tentu tuduhan SBP ini sangat tidak berdasar, karena jika SBP melek media pers/informasi, ia akan menemukan ratusan artikel dan berita terkait pembelaan LBH Jakarta terhadap korban-korban penggusuran paksa di DKI Jakarta selama kepemimpinan Ahok.
Lebih dari itu, LBH Jakarta juga melakukan serta mengajukan Judicial Review terkait Undang-Undang No 1 Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya di Mahkamah Konstitusi RI. Undang-undang tersebut kerapkali dijadikan sebagai dasar hukum tindakan penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
LBH Jakarta dalam mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM, tidak pernah memandang siapa rezim yang sedang berkuasa. Selama rezim tersebut melakukan pelanggaran HAM, maka LBH Jakarta akan tampil di garis depan untuk melawan kesewenang-wenangan rezim. Sepanjang sejarah semenjak kekuasaan Soeharto, hingga Jokowi saat ini, LBH Jakarta tampil sebagai mitra kritis terhadap rezim. Hal ini didasari dengan alasan bahwa rezim penguasa dimana pun berada, selalu dibayang-bayangi potensi kekuasaan yang sewenang-wenang. Untuk itu, LBH Jakarta adalah salah satu gerakan masyarakat sipil yang mengkontrol keberadaan dan tindak-tunduk rezim.
Bila hendak dibuka, beberapa kebijakan rezim Indonesia saat ini pun banyak yang ditentang oleh LBH Jakarta. Dimulai dari kebijakan pengupahan buruh, reklamasi teluk jakarta, perppu ormas, hak angket DPR terhadap KPK, dan masih banyak lainnya, adalah kebijakan rezim Negara hari ini yang terus ditentang oleh LBH Jakarta.
Maka advokasi yang dilakukan LBH Jakarta, tidak memandang siapa rezim penguasa, dari etnis mana ia berasal, berideologi apa, ber-partai politik apa, dsb. yang dilawan. Selama disana ada kebijakan publik yang sewenang-wenang dan pelanggaran HAM, LBH Jakarta akan tetap konsisten dan teguh melawan kesewenang-wenangan rezim. Kejahatan rezim pada akhirnya, tidak memandang apa dan siapa identitas rezim itu sendiri, tapi didasarkan perbuatan apa yang telah dilakukan rezim terhadap warga negaranya.
Pembelaan terhadap HAM ini juga yang sebenarnya terus dilakukan oleh LBH Jakarta, baik oleh-semenjak pengabdi bantuan hukum terdahulu seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Luhut Pangaribuan, Nusyahbani Katjasungkana, Bambang Widjajanto, Chandra Hamzah, dan yang lainnya, hingga pengabdi bantuan hukum yang sekarang ini. Pengurus boleh saja silih berganti dari tahun ke tahun, keadaan masyarakat boleh saja silih berubah, tapi konsistensi lembaga terhadap pembelaan nilai-nilai HAM tidak akan pernah padam.
Beberapa pengabdi bantuan hukum muda di LBH Jakarta sekarang ini misalnya bahkan, ada diantaranya yang beretnis Tionghoa, atau orang etnis timur. Tapi mereka-mereka ini adalah orang tangguh yang konsisten dengan nilai pembelaan HAM, dan juga turut terlibat mengadvokasi kasus-kasus penggusuran, tolak reklamasi teluk Jakarta, tolak privatisasi sumber daya air, dan kasus-kasus besar lainnya. Ini membuktikan, pengabdian advokasi merangkul semua partisipasi unsur golongan yang ada di masyarakat.
Tentu sangat disayangkan bila di era penguatan masa transisi demokrasi ini, SBP terus menerus ber-statement hal-hal yang tidak berdasarkan argumentasi yang kuat. Alih-alih bersikap rasional dan bijak, SBP yang konon digadang-gadang aktivis politik senior, justru menunjukkan sikapnya yang jauh dari watak pribadi yang arif, kredibel, dan berwawasan luas. Bila memang ia seorang demokrat yang baik, SBP semestinya belajar hal dasar sebagai seorang yang berpendidikan: berartikulasi yang baik, dengan landasan yang logis dan berdasar. []
*Penulis adalah Asisten Bantuan Hukum LBH Jakarta
Disclaimer: Seluruh tulisan dalam rubrik Opini merupakan representasi pribadi penulis sebagai personal dan bukan merupakan representasi dari LBH Jakarta.