Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) 39 LBH Jakarta memasuki akhir pekan kedua, Jumat (20/04). Materi pertemuan pada sesi kali ini adalah Reformasi Politik Hukum Pidana yang disampaikan oleh Anugerah Rizki Akbari, Dosen Hukum Pidana pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera. Dalam pembahasannya, pria yang akrab disapa Eki ini memulai kelas dengan menceritakan sejarah hukum pidana di Eropa pada tahun 1918.
“Pada tahun 1981, bangsa Eropa sudah berpikir untuk menuangkan seluruh aturan-aturan yang dilarang dalam satu buku,” jelas Eki.
Ia menyebutkan bahwa di Indonesia pada tahun 1980-an akhir, Prof. Sudarto menyusun draft rancangan KUHP. Namun, draft tersebut terpaksa tertunda lantaran terjadi banyak peristiwa di Orde Baru yang kala itu sedang berjalan menuju Reformasi.
“Sebenarnya, Prof. Sudarto bersama beberapa rekannya membentuk satu tim untuk membuat draft KUHP pada tahun 1980-an akhir, namun karena pada tahun 1998 Soeharto lenggser dan tandanya lahirnya era reformasi membuat draft RKUHP ikut tertunda karena pasti ada beberapa perubahan.” tutur Eki.
Lebih lanjut, Eki menjelaskan bahwa pada 2015 dia membuat riset tentang delik yang pernah diciptakan oleh anak bangsa pasca Reformasi. Delik yang coba ia teliti adalah delik yang diciptakan oleh anak bangsa pasca Reformasi. Eki melalui riset tersebut mencoba melihat hal yang baik, atau adakah perubahan yang signifikan. Eki menemukan, dari 263 Undang-Undang pasca Reformasi, ada sepertiga dari Undang-Undang yang pasalnya terdapat ketentuan pidana, yaitu 154.
Dalam contoh kasus Eki menjelaskan kepada peserta kalabahu bahwa pernah ada seorang Warga Negara Asing (WNA) asal Nigeria di hukum mati karena yang bersangkutan berasal dari negara tersebut.
“Ada satu putusan di Jakarta pusat, yang mana dalam putusan tersebut menghukum mati seseorang WNA dan hebatnya dalam pertimbangan hakim mengatakan bahwa karena terdakwa berasal dari Nigeria, sehingga dalam praktek peradilan isu hukuman mati menjadi perhatian,” jelas Eki.
Sebelum menutup sesi, Eki menyatakan bahwa untuk saat ini ada beberapa alasan kenapa pemerintah menilai KUHP milik bangsa Indonesia harus ada. RKUHP saat ini dianggap penting untuk menghapus kolonialisasi, untuk pengkoodifikasian, harmonisasi dan humanisasi. Namun sebenarnya kita sudah menghasilkan 716 Undang-Undang baru dan pada kenyataannya kita lebih banyak menghukum orang dari pada jaman kolonial dulu.
Saat ini Indonesia belum pada memiliki karekter yang kuat dalam menemukan tujuan pemidanaan dalam setiap pasal dalam RKUHP bahkan masih ada beberapa pasal yang masih bertentangan juga dengan tujuan pemerintah itu sendiri.
“Yang saya simpulkan dalam materi ini ada beberapa poin, yaitu identitas yang belum jelas, masih banyak hal-hal yang bertentangan dengan tujuan pemerintah sendiri, misalkan pemerintah tidak ingin orang dipidana karena tidak banyak dipenjara namun dalam Undang-Undang di Indonesia banyak sekali sanksi pidananya dan terakhir banyak pasal yang mudah dikriminalisasi.” tutup Eki. (Aldo Kotan)