Sidang Gugatan Wadah Pegawai (WP) KPK terhadap Surat Keputusan (SK) Pimpinan KPK No. 1426 tahun 2018 tentang tata cara mutasi pegawai di lingkungan KPK berlangsung di PTUN DKI Jakarta (07/11). Agenda sidang kali ini memasuki pembacaan gugatan dari Wadah Pegawai KPK. Sidang dimulai pada pukul 10.00 WIB, dipimpin ketua majelis hakim Umar Dani di PTUN Jakarta.
“Bahwa yang menjadi objek sengketa tata usaha negara dalam perkara a quo adalah Keputusan Pimpinan KPK nomor 1426 Tahun 2018 tentang tata cara mutasi di lingkungan KPK, tertanggal 20 Agustus 2018 yang dikeluarkan dan diterbitkan oleh tergugat (Pimpinan KPK,” ucap hakim membacakan surat gugatan penggugat (WP KPK) di ruang sidang Candra PTUN Jakarta.
Salah satu poin gugatan menyebutkan bila objek sengketa bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya dengan UU N0. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. WP KPK menganggap SK rotasi tersebut dikeluarkan tanpa memperhatikan aspirasi penggugat selaku pegawai-pegawai yang terdampak.
Di lain kesempatan dalam waktu yang sama, kuasa hukum WP KPK, Arif Maulana Direktur LBH Jakarta, menilai SK tentang rotasi dan mutasi itu merupakan upaya pelemahan KPK dari dalam. Sebab, menurutnya proses rotasi dan mutasi di lingkungan KPK itu tanpa melalui standar yang berlaku.
“Pelemahan dari dalam yang melalui pegawai KPK itu bisa dirotasi dan dimutasi tanpa standar yang jelas, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan setiap 6 bulan pegawai KPK bisa dirotasi berdasarkan diskresi pimpinan tanpa melalui assesment, tidak berdasarkan hasil kinerja maupun tes yang jadi standar KPK yang sudah diterapkan,” jelas Arif.
“Pada prinsipnya ketika ada gugatan berarti ada sesuatu yang salah karena indikasinya adalah adanya upaya rotasi dan mutasi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku yang itu berpotensi untuk melemahkankan KPK dari dalam, termasuk melemahkan kinerja teman-teman KPK itu sendiri. Kalau kita kemudian melihat sebetulnya sudah ada ketentuan-ketentuan soal rotasi dan mutasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang berdasarkan prinsip profesionalisme, propabilitas, transparansi, tetapi untuk terbitnya SK ini ternyata justru sebaliknya,” lanjut Arif.
Sebagai anak kandung reformasi, perjuangan KPK dalam melakukan kerja-kerja pemberantasan korupsi jauh dari kata aman. Sepanjang berdirinya KPK selalu dilemahkan, diserang oleh berbagai pihak yang tidak suka terhadap KPK dalam upaya melaksanakan pemberantasan korupsi. Sejak KPK berdiri banyak sekali cobaan yang dialami KPK, mulai dari analogi Cicak VS Buaya yang berjilid-jilid, pimpinan KPK yang dikriminalisasi, revisi UU KPK, intimidasi dan penyerangan terhadap penyidik KPK, terakhir, penyerangan terhadap Novel Baswedan yang hingga saat ini pelaku maupun aktor intelektual penyerangan belum terungkap.
“Sekarang upaya pelemahan KPK muncul dalam bentuk lain dan dilakukan melalui internal KPK itu sendiri dengan merotasi dan mutasi pegawai KPK,” tutup Arif. (Anggi)