Kuasa hukum Rumah Sakit (RS) Kramat 128 mendatangi Kantor LBH Jakarta, Jumat (05/04). Kuasa hukum RS Kramat 128 mendatangi Kantor LBH Jakarta guna melaksanakan Putusan Pengadilan Negari (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) yang memerintahkan RS Kramat 128 untuk membayar ganti rugi kepada Siti Chomsatun korban malpraktik RS Kramat 128. Ganti kerugian tersebut diberikan oleh kuasa hukum RS Kramat 128 dalam bentuk uang sejumlah Rp 17.620.933.
Kronologis Singkat
Siti Chomsatun adalah korban malpraktik yang dilakukan oleh RS Kramat 128 pada bulan Februari 2010. Akibat malpraktik tersebut, Siti Chomsatun kemudian mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Direktur Utama RS Kramat 128, dr. Tantiyo Setyowati, M.Kes., dan dr. Fredy Merle Komalig, M.K.M. Siti Chomsatun diwakili oleh LBH Jakarta sebagai kuasa hukumnya pada 23 Mei 2017. Pada 22 November 2018, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan 283/Pdt.G/2017/PN.JKT.PST memenangkan Siti Chomsatun.
Kasus ini bermula pada bulan April 2009, Siti Chomsatun menjadi pasien di Rumah Sakit Kramat 128 karena mengalami penyakit berupa pembengkakan kelenjar tiroid (gondok). Dan pada tanggal 13 April 2009, Siti menjalani Operasi Tiroidektomi (Pengangkatan Tiroid) di Rumah Sakit tersebut dengan dr. Taslim Mansur Sp.B (Onk) salah satu dokter spesialis pada Rumah Sakit Kramat 128 sebagai dokter yang bertugas melakukan operasi. Setelah melalui proses operasi tersebut, Siti kemudian menjalani masa rawat jalan di bawah penanganan RS Kramat 128, dimana salah satu dokter yang menangani Siti Chomsatun pada masa rawat jalan tersebut adalah Alm. dr. Rusmaryono, Sp. THT.
Pada tanggal 14 Februari Siti mengalami sesak nafas hingga tidak bisa tidur semalaman, keesokan harinya, yakni 15 Februari 2010, kondisi Siti semakin memburuk hingga keluarga memutuskan untuk membawanya ke RS Kramat 128. Hari itu, pada Pukul 20.20 WIB Siti Chomsatun dilarikan ke IGD RS Kramat 128 karena keluhan sesak nafas yang dideritanya. Siti Chomsatun kemudian kembali masuk RS Kramat 128 sebagai pasien rawat inap tertanggal 15 Februari 2010.
Setelah menerima penanganan dari pihak RS Kramat 128, Siti Chomsatun memilih menunggu untuk bertemu dengan Alm. dr. Rusmaryono, sore itu. dr. Rusmaryono memiliki jadwal praktik pada 15 Februari pukul 18.30 sehingga Siti berharap dapat bertemu dengannya pada saat jam praktik. Setelah menyelesaikan administrasi untuk kepentingan rawat inap, Leila Zenastri (anak Siti Chomsatun), hendak kembali menemani Siti, akan tetapi, sesampainya di ruang inap, pihak Rumah Sakit meminta Leila Zenastri untuk menunggu di luar. Kira-kira 10 menit kemudian Leila Zemnastri dipanggil kembali oleh dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes, yang menjelaskan bahwa ia telah memberikan suntikan anti radang (kortikosteroid) pada Siti Chomsatun.
Setelah dokter memberikan penanganan, Leila Zenastri kembali memasuki kamar inap dan mendapati Siti Chomsatun sudah dapat bernafas sedikit lega. Namun, Siti Chomsatun tidak dapat merebahkan tubuhnya karena nafasnya akan terasa lebih sesak jika Ia berbaring, sehingga tempat tidur Siti Chomsatun harus disetel 45 derajat agar tubuhnya dapat sedikit beristirahat dengan bersandar pada tempat tidur.
Tanggal 15 Februari, sekitar Pukul 17.30 WIB, Leila Zenastri bertanya kepada perawat jaga rawat inap di RS Kramat 128 apakah dr. Rusmaryono telah diberitahukan tentang Siti Chomsatun yang telah menunggunya di Ruang 210 RS Kramat 128. Perawat yang ada pada saat itu menjanjikan dr. Rusmaryono akan datang melihat keadaan Siti. Sekitar Pukul 19.00 WIB, dikarenakan dr. Rusmaryono belum juga datang melihat kondisi Siti Chomsatun, Leila Zenastri kembali berinisiatif dengan kembali bertanya kepada perawat jaga ruang rawat inap RS Kramat 128. Pada saat itu, perawat jaga yang Leila Zenastri mengatakan bahwa dr. Rusmaryono telah pulang. Pada saat itu pula, untuk memastikan dr. Rusmaryono akan menemui Siti Chomsatun, Leila Zenastri meminta perawat jaga untuk menghubungi dr. Rusmaryono.
Pukul 21.00 WIB dr. Rusmaryono dipastikan tidak akan datang sehingga Leila Zenastri meminta kepada perawat jaga rawat inap saat itu agar dokter THT yang lain atau dokter jaga IGD saat itu untuk datang melihat kondisi Siti. Sekitar Pukul 23.30 WIB, Siti Chomsatun kembali mengeluh sesak nafas. Mendengar keluhan tersebut, Leila Zenastri kemudian meminta agar perawat jaga memanggil dokter jaga IGD saat itu.
Dokter jaga IGD saat itu, dr. Fredy Merle Komalig., M.K.M, kemudian datang untuk melakukan pemeriksaan terhadap Siti Chomsatun. Berdasarkan pemeriksaan a quo diketahui bahwa tensi Siti Chomsatun pada saat itu berada pada angka yang mengkhawatirkan, yakni 170/130. Oleh karenanya dr. Ferdy Merle Komalig memberikan terapi tambahan berupa injeksi stesolid, dan memberikan resep obat anti-hipertensi (Captopril) kepada perawat jaga agar obat tersebut ditebus terlebih dahulu Leila Zenastri.
Pada 16 Februari 2010, sekitar Pukul 01.45 WIB, Siti kembali mengeluh sesak nafas, dr. Fredy Merle Komalig datang kembali ke ruangan Siti. Pada kedatangannya kali in, dr. Fredy Merle Komalig memberikan terapi inhalasi, injeksi oradexon dan injeksi rantin. Paska ditangani, sesak nafas yang Siti Chomsatun alami sempat berkurang, namun pada pukul 05.00 WIB Siti Chomsatun kembali mengalami sesak nafas.
Dokter lain dari RS Kramat 128, dr. Fauzan datang melihat kondisi Siti Chomsatun, pada 16 Februari Pukul 10.30 WIB. Hasil diagnosa dr. Fauzan, Sp. T.H.T., menyatakan bahwa Siti Chomsatun harus segera dibuatkan lubang di leher untuk jalan pernafasan (tracheostomy). dr. Fauzan menjelaskan bahwa hal ini harus dilakukan karena Siti Chomsatun menderita lumpuh pita suara (parese abductor bilateral) yang disebabkan cidera syaraf di sekitar pita suara akibat operasi tiroidektomi pada Maret 2009 silam. Selain itu, dr. Fauzan juga mendiagnosa bahwa Siti Chomsatun mengalami sesak nafas Grade II. dr. Fauzan kemudian merujuk Siti Chomsatun ke Poliklinik Laring Faring Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Setelahnya, pihak Rumah Sakit Kramat 128 meminta keluarga Siti Chomsatun untuk menandatangani persetujuan operasi dengan biaya operasi sebesar Rp. 8.000.000. Melalui anak yang lain, Chairul Hanifah memberikan deposit yakni sebesar Rp. 1.000.000 guna memberangkatkan Siti Chomsatun ke RSCM sebagai biaya ganti ambulan. Siti yang pada saat itu diketahui berada dalam kondisi sesak nafas grade II baru diberangkatkan ke RSCM menggunakan ambulans setelah menunggu selama 2,5 jam. Hal tersebut dikarenakan menunggu proses persyaratan administraif diselesaikan serta menunggu ambulan.
Sampai di Poliklinik THT Laring Faring RSCM, Siti Chomsatun ditolak karena Ia tiba sudah melalui jam pendaftaran yang ditentukan oleh RSCM. Di RSCM itu pula, Siti Chomsatun mengalami hilang kesadaran hingga akhirnya Ia dilarikan ke IGD RSCM. Sekitar pukul 15.34 WIB Siti Chomsatun akhirnya mendapatkan pelayanan medis di ruang resusitasi IGD RSCM oleh dr. Fauziah Fardizza. Operasi tracheostomi pun segera dilakukan karena sesak nafas yang diderita Siti Chomsatun sudah mencapai grade IV sehingga Siti tidak sadarkan diri.
Proses Penanganan Hukum
Awalnya, oleh LBH Jakarta, kasus yang menimpa Siti Chomsatun ini diupayakan selesai melalui jalur mediasi di luar pengadilan. Namun, proses mediasi tersebut tidak membuahkan hasil sehingga kasus ini digugat oleh Siti Chomsatun ke PN Jakarta Pusat.
Sebelum kasus tersebut masuk ke pengadilan, melalui Leila Zenastri anak Siti Chomsatun, RS. Kramat 128 diadukan ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) pada 10 Agustus 2010. Kepada MKDKI, Siti Chomsatun mengadukan 2 orang tenaga kesehatan RS Kramat 128, yaitu dr. Tantiyo Setiyowati dan dr. Fredy Melke Komalig. Setelah 23 bulan pemeriksaan perkara, pada 26 Juni 2012, MKDKI mengeluarkan keputusan pada pengaduan Siti Chomsatun yang bernomor: No. 43/P/MKDKI/VIII/2010.
Pada keputusan MKDKI, dr. Tantiyo Setiyowati., M.H., Kes dan dr. Fredy Melke Komalig., M.K.M. dinyatakan telah melanggar disiplin kedokteran karena “tidak melakukan tindakan/asuhan medis yang memadai pada situasi tertentu yang dapat membahayakan pasien”. Hal tersebut merujuk pada Pasal 3 ayat (2) huruf f Perkonsil 4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter dan Dokter Gigi dengan rincian tindakan sebagai berikut: a) dr. Tantoyo Setiyowati M.H., Kes. memberikan kortikosteroid pada pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara. Dalam putusan MKDKI a quo, diketahui bahwa pemberian kortikosteroid tidak lazim diberikan pada pasien sesak nafas yang disebabkan oleh kelumpuhan pita suara. Dimana seharusnya penanganan terhadap Siti Chomsatun adalah melakukan tindakan observasi ketat. b) Fredy Melke Komalig., M.K.M. telah menulis resep untuk obat antihipertensi (capritopril) diatas kertas resep yang bukan miliknya sendiri.
Berbekal keputusan MKDKI, Siti Chomsatun akhirnya melakukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum kepada pihak Rumah Sakit Kramat 128 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan yang diajukan oleh kuasa hukum Siti tersebut pada bulan April tahun 2017, putusan pengadilan atas perkara nomor 287/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst tersebut pada bulan November 2018. Artinya mulai masuknya gugatan sampai putusan pengadilan Negeri Jakarta Pusat adalah lebih dari satu tahun.
Tuntutan yang diajukan oleh kuasa hukum Siti kepada (Majelis Hakim) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini bukan hanya soal kerugian materil tetapi juga menuntut kerugian imateril. Akan tetapi, hakim melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan nomor perkara: 287//Pdt.G/2017/PN.Jkt.Pst. hanya mengabulkan dan memutuskan untuk memberikan ganti rugi kepada Siti secara materil yaitu sebesar Rp. 17.620.933 yang harus dibayar oleh pihak tergugat. (Anggi)