Sidang terkait kriminalisasi aktivis KAMI Jumhur Hidayat kembali dilanjutkan dengan agenda sidang mendengar Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan Tanggapan atas Eksepsi (Nota Keberatan), JPU membacakan tanggapannya di hadapan Majelis Hakim dan Tim Kuasa Hukum Jumhur yang diwakili oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD). Sidang tersebut dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (4/2).
Dalam tanggapannya, JPU menyampaikan beberapa poin yang memandang surat dakwaanya tetap dapat diterima. Pertama, JPU memandang perubahan surat dakwaan dapat saja dilakukan selama proses persidangan berlangsung. JPU menyampaikan dasar pernyataannya dengan Yurisprudensi dalam Putusan MA No. 1161 K/Pid/1986, serta menganggap praktik “Kesalahan pengetikan” sudah berulang-ulang terjadi di pengadilan.
Kedua, JPU memandang selama pemeriksaan penyidikan, hak-hak terdakwa terpenuhi dan didampingi oleh penasihat hukumnya, sementara penasehat hukum Jumhur menyatakan hal tersebut berlawanan dengan apa yang mereka alami.
“Sampai hari sebelum sidang Pembacaan Eksepsi (Nota Keberatan) (28/1), Tim Kuasa Hukum (TAUD) masih mengalami kesulitan untuk bertemu dengan Jumhur Hidayat di Rutan Bareskrim Polri,” jelas Oky Wiratama salah satu penasihat hukum Jumhur Hidayat dari LBH Jakarta yang tergabung dalam TAUD.
Ketiga, JPU menganggap Eksepsi (Nota Keberatan) yang diajukan Jumhur Hidayat melalui Tim Kuasa Hukum (TAUD) tidak cermat, jelas, dan lengkap.
Menanggapi pernyataan JPU yang menganggap Eksepsi TAUD tidak cermat, jelas, dan lengkap, TAUD berpandangan bahwa tanggapan JPU atas Eksepsi Jumhur mengada-ada karena menyamakan (renvoi) surat dakwaan sama dengan Akta Perjanjian.
“Surat dakwaan tidak bisa disamakan dengan akta perjanjian, sebagaimana diatur dalam Pasal 144 KUHAP surat dakwaan tidak dapat diubah tanpa permohonan melalui Ketua Pengadilan Negeri”, tambah Oky Wiratama.
Sebelum dikiriminalisasi dan menjalani persidangan, Jumhur Hidayat menulis cuitannya di twitter terkait kritik omnibus law UU Cipta Kerja, dan melalui cuitan tersebut Jumhur Hidayat dituduh menimbulkan keonaran saat aksi tolak Omnibus Law dengan menggunakan Pasal 45A ayat (2) Jo. Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. (Alif)