Ruang tunggu sidang mulai terasa pengap. Banyaknya jumlah orang yang menunggu sidang menjadi penyebabnya. Kursi-kursi di ruang tunggu secara perlahan mulai dipenuhi dengan orang-orang bergaya necis. Beberapa dari mereka sibuk mengecek dokumen, ada pula yang sibuk memerhatikan televisi, memastikan bahwa nomor register perkaranya tercantum dalam agenda sidang yang diselenggarakan pada hari ini (08/01).
Herianto (23 tahun) dengan gaya rambut yang sedikit klimis, tak melepaskan perhatiannya dari ruang sidang nomor 5 (lima). Ruang sidang bernama H.R. Purwoto S. Gandasubrata, S.H. itu akan menjadi saksi bisu bagi hidupnya dalam perjuangan merebut keadilan. Herianto akan berjuang memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi atas nama baiknya yang hancur akibat tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Polisi. Herianto dan Aris adalah orang pertama yang mengajukan ganti rugi atas kesalahan penetapan tersangka oleh polisi.
Bosan menunggu terlalu lama, Herianto menggerutu “Sampai di pengadilan jam 8 pagi, tapi sampai sekarang (jam 11) sidang belum dimulai juga, padahal dalam suratnya sidang dimulai jam 8 pagi,” keluh Heri. Di pengadilan, Heri tidak sendiri, ia bersama Aris Winata Saputra (33 tahun) teman senasib dan sependeritaan yang sama-sama mengalami salah tangkap dan penyiksaan oleh polisi.
Aris mengenakan baju garis hitam dan putih serta memakai celana jeans berwarna gelap. Fokusnya, memerhatikan orang-orang yang berlalu lalang di depan ruang sidang. Bosan menunggu sidang yang tak kunjung pasti. Aris sesekali ke kantin untuk merokok demi membunuh rasa kebosanannya itu.
Tepat pada pukul 11.45 WIB, terdengar suara perempuan dari pengeras suara, menyebutkan nomor register perkara praperadilan ganti rugi atas nama Aris dan Herianto “Nomor register perkara 145/Pid.Pra/2017/PN.Jak.Sel permohonan praperadilan ganti rugi atas nama Aris dan Herianto dipersilahkan menuju ruang sidang utama,” ujar suara perempuan yang bersumber dari pengeras suara.
Tempat sidang berubah, sidang praperadilan ganti rugi diselenggarakan di ruang sidang utama, ruang yang yang memiliki nama Prof. H. Oemar seno adji S.H. Dengan segera Aris dan Herianto yang didampingi pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menuju ruang sidang utama.
Aris dan Herianto duduk di kursi pemohon ditemani Arif Maulana yang merupakan pengacara publik LBH Jakarta. Selain itu, terlihat seseorang mengenakan kemeja putih duduk di kursi termohon, ia berasal dari Kementerian Keuangan sebagai turut termohon. Tetapi, pihak dari Polda Metro Jaya sebagai termohon belum terlihat ada tanda-tanda hadir dalam persidangan.
Sidang dimulai. Sidang dipimpin oleh hakim tunggal, dibantu oleh seorang panitera yang bertugas mencatat jalannya persidangan. “Baik, dengan ini sidang praperadilan ganti rugi atas permohonan yang diajukan oleh Aris Winata Saputra dan Herianto dibuka dan terbuka untuk umum,” hakim mengetuk palu.
Pada sidang hari ini (08/01), merupakan tahap pertama sidang praperadilan ganti rugi dengan agenda pembacaan permohonan oleh pemohon. Namun, sidang perdana ini ditunda dikarenakan pihak termohon yaitu Polda Metro Jaya tidak hadir. “Biasanya dari pengalaman seperti ini, sidang tahap pertama prapaeradilan, mau termohonnya dari Polres ataupun Polda, pasti tidak hadir. Kalau begitu sidang ditunda ya, pada hari senin tanggal 15 januari 2018,” ujar hakim dan disepakti oleh pemohon dan turut termohon. Lalu, hakim mengetuk palu.
Ketidakhadiran Polda Metro Jaya dalam sidang perdana praperadilan ganti kerugian atas kasus yang dialami oleh Herianto dan Aris menunjukan ketidakdisiplinan dan ketidakseriusan Polda Metro Jaya. Sebagai aparatur negara, Polda Metro Jaya diminta pertanggungjawabannya atas tindakan penyiksaan dan salah tangkap yang dilakukan kepada Aris dan Herianto.
Aris dan Herianto, keduanya berasal dari Tangerang. Mereka adalah korban penyiksaan dan salah tangkap yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya. Pada tanggal 7 April 2017 mereka ditangkap, ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka dengan hanya berbekal pengakuan paksa yang diperoleh dari serangkaian tindakan penyiksaan.
“Sekujur tubuh kami dipukul, ditendang, dialiri ailran listrik, diludahi, hingga mulut dan bagian kemaluan kami dioles menggunakan balsam,” Ujar Aris dan Herianto saat menceritakan tindakan penyiksaan yang mereka alami.
Tanggal 13 Juni 2017, Aris dan Herianto baru meraih sebagian keadilannnya dengan memenangkan sidang praperadilan penetapan tersangka hinga status tersangkanya dicabut oleh hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kini, demi keadilan seutuhnya, Aris dan Herianto menuntut Kepolisian RI c.q. Polda Metro Jaya, melalui praperadilan ganti rugi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk membayar ganti rugi dan merehabilitasi namanya.
“Kami berharap melalui praperadilan ganti kerugian ini setidaknya bisa meringankan luka yang dialami korban, klien kami,” kata Arif Maulana pengacara publik LBH Jakarta usai sidang perdana praperadilan Aris dan Herianto ditunda. (Andi Rezaldy).