Senin, Tim Advokasi Papua mendampingi sidang pertama praperadilan atas penangkapan 2 (dua) orang aktivis Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yakni Ruland Rudolof Karafir dan Finakat Molama als. Kelvin. Ruland dan Kelvin merupakan aktivis mahasiswa yang tergabung dalam AMP yang fokus melakukan advokasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Papua. Mereka aktif bersuara melakukan penolakan terhadap perpanjangan Otonomi Khusus (Otsus) Papua, dan penolakan terhadap Daerah Otonomi Baru Pemekaran Provinsi Papua.
Pada tanggal 3 Maret 2021, Roland dan Kelvin ditangkap oleh aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya berdasarkan Laporan No. LP/510/1/iyan.2.5/2021/spktpmj atas tuduhan melakukan pengeroyokan serta perampasan barang yang dilaporkan oleh Rajid Patiran selaku pelapor. Pelapor merupakan orang yang diduga sering melakukan klaim dan menggunakan nama AMP untuk kepentingan pribadi, dan hal-hal yang dilakukan oleh pelapor merupakan tindakan yang kontraproduktif terhadap perjuangan AMP.
Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh 2 aktivis AMP ini karena terdapat banyak pelanggaran hukum acara pidana yang merugikan keduanya. Pelanggaran tersebut diantaranya terjadi saat dalam proses penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penetapan tersangka, dan penahanan keduanya. Sidang pertama permohonan praperadilan ini tidak dihadiri oleh Polda Metro Jaya dan ditunda sampai dengan hari Senin, tanggal 12 April 2021.
Tidak hadir atau mangkirnya Polda Metro Jaya dalam persidangan pertama praperadilan ini menunjukkan bahwa Polda Metro Jaya walaupun telah dipanggil secara sah dan resmi berdasarkan Pasal 122 Herzein Indlandsch Reglement (HIR) merupakan bentuk tidak adanya itikad baik dari Polda Metro Jaya sebagai pihak Termohon. Tim Advokasi Papua juga menilai bahwa Polda Metro Jaya tidak siap untuk mengikuti persidangan praperadilan atau setidaknya tidak dapat mempertanggungjawabkan semua pelanggaran hukum acara terhadap penangkapan kedua aktivis AMP.
Selain itu, Tim Advokasi Papua juga menilai bahwa mangkirnya Polda Metro Jaya dalam sidang perdana praperadilan ini merupakan tidakan yang tidak menghormati proses hukum, serta hanya untuk mengulur waktu sehingga praperadilan yang diajukan gugur dan merugikan hak kedua tersangka. Padahal, salah satu Tugas Pokok Polri adalah menegakan hukum sebagaimana Pasal 13 huruf b UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Mangkirnya penyidik dari panggilan persidangan merupakan bentuk penolakan, padahal penyidik berkewajiban menghadapi setiap permohonan praperadilan yang diajukan sebagaimana Lampiran Peraturan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Nomor 3 Tahun 2014 tentang Standar Operasional Prosedur Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana huruf Q. Standar Operasional Prosedur menghadapi tuntutan praperadilan angka 4 mengenai hal-hal yang harus diperhatikan “a. pada prinsipnya penyidik tidak boleh menolak praperadilan (harus dihadapi).”
Untuk itu, Tim Advokasi Papua mendesak:
- Majelis Hakim yang menerima, memeriksa dan memutus Perkara ini untuk memanggil Polda Metro Jaya dalam Persidangan selanjutnya;
- Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya c.q Ditreskrimum Polda Metro Jaya untuk mengehentikan kasus ini dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan oleh karena tidak terdapat bukti yang cukup.
Jakarta, 5 April 2021
Hormat kami,
Tim Advokasi Papua