LBH Jakarta mengecam tindakan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta yang menyelenggarakan sidang perdana rusuh 21-22 Mei 2019 secara sewenang-wenang. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memindahkan ruang sidang tanpa memberitahukan kepada LBH Jakarta selaku kuasa hukum, sedangkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menolak memberikan surat dakwaan dan berkas perkara kepada LBH Jakarta selaku kuasa hukum. Akibatnya, sidang perdana digelar tanpa dihadiri oleh LBH Jakarta selaku kuasa hukum dari Achmad Sanusi dan tidak kunjung pula mendapatkan surat dakwaan dan berkas perkara.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sidang seyogyanya akan dilakukan di ruangan Ali Said. LBH Jakarta sudah menunggu sejak Pukul 13.00 WIB, menelepon jaksa yang menangani perkara dan menanyakan kepada banyak anggota kejaksaan yang hadir di pengadilan tentang agenda sidang namun hasilnya nihil. Namun ternyata sekitar Pukul 17.30 WIB ketika LBH Jakarta terakhir bertanya kepada petugas tahanan dari kejaksaan barulah mendapatkan informasi bahwa sidang sudah dimulai di lantai 1. Pemindahan ini dilakukan tanpa ada pemberitahuan dalam bentuk apapun. Padahal menjadi sesuatu yang umum ketika sidang dilaksanakan maka pegawai pengadilan akan mengumumkan kepada pengunjung pengadilan bahwa sidang akan dimulai.
Tentang surat dakwaan, setelah sidang perdana dengan agenda dakwaan selesai, LBH Jakarta menjumpai jaksa Yerich Mohda dan menunjukkan surat kuasa, namun jaksa menolak memberikan surat dakwaan kepada LBH Jakarta selaku kuasa hukum, dengan alasan “silahkan kuasa hukum mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat” ujarnya. LBH Jakarta kemudian meminta untuk mengecek ulang apakah ada surat dakwaan di dalam tasnya, ternyata masih ada surat dakwaan di dalam tasnya, namun dirinya tetap menolak memberikan surat dakwaan terhadap LBH Jakarta selaku kuasa hukum dengan alasan “Ini untuk pertinggal saya”. LBH Jakarta sudah pula menyatakan cukup meminjam saja untuk difotokopi sebentar dan akan dikembalikan, namun jaksa Yerich Mohda menolak tanpa alasan yang jelas.
Hal ini tentu melanggar Pasal 143 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan: “Turunan Surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri”.
Sebelumnya, pada tanggal 6 Agustus 2019 LBH Jakarta sudah sempat menemui langsung salah satu jaksa yang menangani kasus Satpam Sarinah ini di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Oky Wiratama selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menyatakan: “Jauh sebelumnya kami sudah berkomunikasi dengan jaksa yang bersangkutan bahwa LBH Jakarta menjadi kuasa hukum salah seorang Satpam yang bekerja di Sarinah, dan kita juga sudah menyurati untuk meminta surat dakwaan serta berkas perkara, namun hingga saat ini belum diberikan”.
Selain itu Polda Metro Jaya beserta Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat juga tidak membawa terdakwa rusuh 21-22 Mei 2019 yang seharusnya disidangkan pada hari yang sama dengan nomor perkara 852/Pid.B/2019/PN Jkt.Pst di mana LBH Jakarta turut mendampingi. Tidak ada kabar tentang kejadian hal ini sampai pengadilan ditutup dari pihak manapun.
Peradilan seharusnya terbuka dan transparan, dan memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk melakukan pembelaan. Kejadian-kejadian tersebut di atas bertentangan dengan hak-hak terdakwa sebagaimana dimaksud dalam asas-asas KUHAP mengenai keterbukaan peradilan, dakwaan dan bantuan hukum, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang mengatur hak-hak tersangka. LBH Jakarta akan melakukan upaya hukum atas kejadian-kejadian ini.
LBH Jakarta, 13 Agustus 2019