Kamis, 20 Juni 2013 pukul 10.35 dilaksanakan sidang pertama gugatan buruh Serikat Pekerja Nasional (SPN) terhadap 7 Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang memberikan penangguhan upah kepada 7 perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Pada sidang ini Gubernur Provinsi DKI Jakarta (Jokowi), dianggap tidak menghadiri sidang karena dihadiri oleh Biro Hukum Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang bernama Rudi, tanpa surat kuasa dan surat tugas. Menurut Sudiyanti, Pengacara Publik LBH Jakarta “hal ini menunjukan ketidakseriusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta (Jokowi) dalam menanggapi gugatan buruh dan menunjukan sikap tidak menghormati kekuasaan yudikatif dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara”
Indikasi ketidakseriusan dan tidak menghargai kekuasaan yudikatif nampak sejak pemeriksaan persiapan di Pengadilan Tata Usaha Negara, dari 3 kali sidang pemeriksaan persiapan, pihak Gubernur Provinsi DKI Jakarta hanya hadir 1 (satu) kali yaitu pada tanggal 10 Juni 2013. Perwakilan Gubernur Provinsi DKI Jakarta tidak membawa surat kuasa yang mana seharusnya dalam setiap perkara pihak yang mewakili Tergugat harus memiliki surat kuasa khusus. Hal ini berlanjut sampai diadakannya sidang pertama pada hari ini, pihak Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengirim perwakilan yang tidak memiliki surat kuasa khusus padahal gugatan ini sudah bergulir selama 2 (dua) bulan. Bahkan pada pemeriksaan persiapan tanggal 10 Juni 2013 sudah diingatkan oleh Majelis Hakim untuk membuat surat kuasa khusus, yang diserahkan pada saat sidang pertama dengan agenda pembacaan gugatan dan jawaban dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Tidak hanya gagal mempersiapkan surat kuasa, Gubernur Provinsi DKI Jakarta juga belum mempersiapkan jawaban atas gugatan yang diajukan oleh LBH Jakarta dan SPN. Akhirnya Majelis Hakim menolak perwakilan Tergugat dan dianggap tidak menghadiri sidang.
Dalam sidang ini Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Husban, S.H., M.H. hanya membacakan point-point yang dianggap penting dalam gugatan dikarenakan jawaban dari pihak Gubernur Provinsi DKI Jakarta belum disiapkan. Saat sidang pemeriksaan berlangsung, buruh yang menghadiri sidang tersebut mendapat peringatan dari Majelis Hakim karena dianggap terlalu banyak oleh Majelis Hakim, sedangkan perwakilan buruh hanya 5 orang untuk setiap perusahaan yang seluruhnya berjumlah 35 orang, hal ini jelas melanggar prinsip sidang yang memang terbuka untuk umum.
Sidang ditunda Rabu, 26 Juni 2013 pukul 09.00 WIB dengan agenda pembacaan jawaban dari Gubernur Provinsi DKI Jakarta. LBH Jakarta tetap mengharapkan rekan-rekan buruh untuk tetap mengawal proses persidangan karena sejatinya persidangan Tata Usaha Negara terbuka untuk umum yang sudah jelas dikatakan dalam Undang-Undang tentang Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang atau kalah sengketa ini ada di tangan kita bersama, LBH Jakarta dan para buruh, ungkap Sudiyanti, Pengacara Publik LBH Jakarta.
Dengan dikeluarkannya objek sengketa (7 Surat Keputusan) oleh Gubernur DKI Jakarta tertanggal 5 April 2013 menimbulkan kerugian bagi para pekerja/buruh yakni terlanggarnya hak para pekerja/buruh yang bekerja di 7 (tujuh) perusahaan tersebut untuk mendapatkan hak untuk hidup layak, kesejahteraan dan berdampak pemiskinan bagi setiap pekerja/buruh tersebut secara sistemik dan struktural. Dalam proses pembuatan 7 (tujuh) keputusan tersebut juga melanggar beberapa persyaratan untuk penangguhan upah seperti tidak adanya keterlibatan serikat pekerja/buruh dalam proses negosiasi penangguhan upah, daluarsanya pengajuan permohonan, tidak adanya perhitungan yang jelas mengenai neraca laba/rugi perusahaan dan adanya itimidasi dari pihak perusahaan untuk mendapat persetujuan penangguhan upah dari buruh.
Penangguhan upah yang diajukan oleh pihak perusahaan justru bertentangan dengan kondisi rill di lapangan, dimana beberapa perusahaan justru membuka pabrik baru di luar Jakarta, lembur terus menerus, perusahaan merekrut karyawan baru, jam kerja masih 8 jam per hari dan produksi berjalan seperti biasa, yang mengindikasikan perusahaan berjalan dengan baik. Namun, pemerintah Gubernur DKI Jakarta terkesan tutup mata dan “mengamini” tindakan perusahaan menangguhkan upah minimum yang merupakan jaring pengaman bagi buruh untuk dapat hidup secara layak.
LBH Jakarta dan Serikat Pekerja Nasional selalu membuka jalan untuk bernegosiasi dengan Gubernur DKI Jakarta, apabila pada akhirnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta khususnya Gubernur DKI Jakarta (Bapak Jokowi) beritikad baik untuk mengkaji ulang keputusan yang telah dikeluarkan dan membuat keputusan yang berpihak pada masyarakat Jakarta pada umumnya dan buruh/pekerja pada khususnya.
Jakarta, 20 Juni 2013
Hormat Kami
LBH Jakarta, YLBHI dan SPN
Contact Person:
LBH Jakarta : Sudiyanti (Hp: 0817730150); SPN : Ramidi (0817147536); YLBHI : Bahrain (081361697197)