Pada Senin, 09 Agustus 2021, Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pengujian UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Revisi UU MK) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Salah satu perkara yang disidangkan adalah Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Terhadap keterangan DPR dan Pemerintah, Koalisi memberikan beberapa poin respon terhadap isu krusial:
1. DPR mengakui bahwa sejumlah materi perubahan Revisi UU MK melebihi pertimbangan dan amar putusan MK yang dijadikan dasar perencanaan Revisi UU MK dalam daftar kumulatif terbuka, misalnya tentang perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi serta ketua dan wakil ketua MK dan peningkatan usia minimal untuk menjadi hakim konstitusi. Kedua isu tersebut merupakan sejumlah isu krusial yang selama ini menjadi sorotan dan kritik keras publik. Pembentuk undang-undang telah nyata melakukan penyelundupan hukum dengan dalih tindak lanjut putusan MK melalui daftar kumulatif terbuka. Apabila praktik ini dipertahankan, maka akan menjustifikasikan mekanisme daftar kumulatif terbuka sebagai “cantelan” untuk merencanakan dan membahas undang-undang yang substansinya tidak mendesak dan tidak relevan dengan putusan MK serta berpotensi menyimpan kepentingan tertentu yang tidak sejalan dengan kepentingan publik.
Apalagi, putusan-putusan yang dirujuk (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, 34/PUU-X/2012, dan 7/PUU-Xl/2013 serta Putusan Nomor 68/PUU-IX/2011 dan 1-2/PUU-XII/2014 yang baru disebut di dalam sidang) merupakan putusan yang tidak menimbulkan kekosongan hukum, sehingga tidak memerlukan perubahan undang-undang. Dengan demikian, model perencanaan daftar kumulatif terbuka dalam kasus ini merupakan dalih untuk menyelundupkan hukum.
2. Perihal partisipasi publik, pembentuk undang-undang mencatut sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk mencitrakan bahwa pembentukan Revisi UU MK partisipatif. Padahal konteks partisipasi tersebut adalah dalam penyusunan Prolegnas 2019-2024, bukan penyusunan Revisi UU MK. Sebab sepanjang tahun 2020 di masa perumusan RUU MK, tidak terdapat agenda rapat dengar pendapat umum (RDPU).
3. Aspek pembentukan undang-undang yang tidak partisipatif dan tidak transparan juga diakui oleh DPR dengan rapat tertutup pembahasan Revisi UU MK pada 26-28 Agustus 2020. Pembentuk undang-undang tidak dapat menjelaskan secara rasional alasan rapat diselenggarakan secara tertutup. Hal ini membuat publik tidak dapat mengakses dinamika dan substansi yang dibahas di dalam rapat secara utuh, apalagi untuk berpartisipasi memberikan masukan dan saran terhadap substansi perubahan di tahap pembahasan undang-undang, termasuk hal-hal yang sama sekali tidak disinggung di dalam naskah akademik. Selain itu, daftar inventarisasi masalah dan draf terakhir RUU MK tidak dapat diakses melalui kanal-kanal resmi DPR dan Pemerintah. Dengan demikian, pembahasan Revisi UU MK secara gamblang dilakukan dengan tidak transparan dan tidak partisipatif.
4. Pembentuk undang-undang berdalih bahwa perpanjangan masa jabatan ditujukan untuk hakim konstitusi incumbent agar tidak menimbulkan dualisme keberlakuan hukum, dengan merujuk pada Nomor 49/PUU-IX/2011. Namun pembentuk undang-undang telah salah menafsirkan dan mengontekskan putusan tersebut, sebab pada putusan tersebut, terdapat aturan yang tidak bisa dilaksanakan, yaitu tentang pemilihan ketua dan wakil ketua di saat terdapat kebutuhan untuk melangsungkan pemilihan wakil ketua yang masa jabatannya tepat habis.
Padahal, pembentuk undang-undang dapat merumuskan aturan bahwa perpanjangan masa jabatan ditujukan kepada hakim konstitusi yang menjabat di periode selanjutnya untuk tetap menjaga citra independen MK. Dengan mempertahankan aturan ini, pembentuk undang-undang memiliki andil dalam menggerus citra independen MK melalui proses perubahan dan substansi yang ditawarkan dalam Reivsi UU MK ini.
5. Segelintir isu krusial tentang pembentukan Revisi UU MK di atas seyogianya menjadi perhatian bagi MK. Sebab proses yang tidak senafas dengan nilai moral dan etika berkonstitusi serta nilai-nilai demokrasi dan negara hukum secara langsung telah mendegradasikan muruah MK. Oleh sebab itu, MK seyogianya menyatakan bahwa proses pembentukan Revisi UU MK bernilai cacat formil dan inkonstitusional.
Jakarta, 9 Agustus 2021
Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi