Sidang gugatan Surat Presiden terkait Pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) digelar Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Senin (18?05). Sidang dengan agenda Pemeriksaan Persiapan ini dihadiri oleh Kuasa Hukum Penggugat, yaitu M. Charlie Albajili, S.H; Tioria Pretty, S.H; dan Muh Jamil S.H. Sementara pihak tergugat dalam hal ini Presiden RI Joko Widodo diwakili oleh Kementerian Sekretaris Negara divisi Litigasi.
Seperti dilansir dalam rilis Tim Advokasi untuk Demokrasi sebelumnya, gugatan sidang ini dilayangkan oleh Tim Advokasi Demokrasi yang terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Merah Johansyah Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).
Gugatan ini lakukan sebagai upaya hukum atas sikap acuh yang ditunjukkan Presiden Jokowi dan DPR RI terhadap suara dan kepentingan masyarakat. Meski dikecam dan dituntut warga dari berbagai elemen untuk mencabut dan menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan fokus pada keselamatan publik dari ancaman pandemi Covid 19. Presiden dan DPR tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan untuk pengesahan RUU bermasalah ini.
Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta, yang juga adalah Kuasa Hukum Tim Advokasi Demokrasi, M. Charlie Albajili, sidang hari ini berjalan lancar meskipun pengadilan dipenuhi dengan aparat kepolisian. Dalam sidang Pemeriksaan Persiapan ini, Charlie menjelaskan bahwa masukan hakim hanya seputar hal-hal formil dan tidak menyentuh sampai ke substansi gugatan dan surat kuasa.
“Hakim memberi masukan gugatan, cuma sejauh ini masukannya hanya hal-hal teknis atau formil saja. Seperti penomoran, struktur gugatan, surat kuasa, dll. Tidak menyentuh sampai substansi gugatan,” jawab Charlie.
Charlie juga menyayangkan pengamanan sidang hari ini oleh aparat kepolisian yang cukup berlebihan. Menurutnya, hal ini tidak perlu dilakukan bila hanya sekedar alasan pengamanan sidang, sebab akan mengintimidasi pihak-pihak dalam persidangan.
“Hari ini pengamanan persidangannya cukup berlebihan. Ada ratusan polisi dan brimob lengkap dengan mobil barracuda. Dan saya pikir itu tidak perlu untuk pengamanan sidang kayak gini, sebab yang ada justru mereka mengintimidasi pihak-pihak lawyer yang hadir untuk gugat. Harapan kedepannya tidak perlu ada lagi pengerahan aparat yang berlebihan”, tegas Charlie.
Pada tempat yang berbeda, Direktur LBH Jakarta Arif Maulana juga memberikan komentar terkait persidangan PTUN hari ini. Menurutnya, gugatan melalui PTUN ini dimaksud untuk mengoreksi tindakan pemerintah yang terus melakukan pembahasan terhadap RUU Omnibus Law yang inkonstitusional, yang serius menjadi ancaman luar biasa terhadap pelanggaran HAM, ancaman bagi kerusakan ekologi di Indonesia, yang pasti juga akan mengancam masa depan rakyat bangsa Indonesia.
Arif Maulana menjelaskan bahwa, dalam prinsip negara hukum, memang harus ada peradilan administrasi dalam hal ini PTUN, yang tugasnya sebagai tempat rakyat menguji kebijakan negara.
“Saya kira memang menjadi kewenangan PTUN sesuai dengan undang-undang. Dalam prinsip negara hukum, memang harus ada peradilan adminintrasi dalam hal ini TUN yang memang tugasnya sebagai tempat rakyat menguji, apakah kebijakan negara itu tepat atau tidak? Dan apakah kebijakan negara itu berpihak pada rakyat atau tidak?” Jelas Arif.
Terkait gugatan ini, Arif Maulana juga menambahkan bahwa, kebijakan pemerintah untuk mengusulkan dan membahas Omnibus Law bersama DPR adalah kebijakan yang bertentangan dengan prinsip dan asas-asas umum pemerintah yang baik. Kebijakan ini juga melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, termaksud konstitusi sebagai payung hukum tertinggi.
Sidang lanjutan gugatan PTUN atas Surpres Pembahasan Omnibus Law akan dilaksanakan pada tanggal 2 Juni 2020, dengan agenda Pemeriksaan Persiapan Tahap Akhir. Hakim mempertimbangkan, kemungkinan sidang selanjutnya akan dilaksanakn secara e-Court mengingat situasi sekarang tengah terjadi pandemi Covid-19. (Thomas Tukan)