Jakarta, 8 Mei 2023 – Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjalani sidang ketiga atas kriminalisasi oleh pejabat publik dengan agenda jawaban atas eksepsi yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Sebelumnya, eksepsi yang dibacakan oleh tim kuasa hukum dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi pada persidangan tanggal 17 April 2023, dinyatakan bahwa dakwaan yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya cacat formil. Sebab, jika dilihat dari proses yang berlangsung hingga hari ini, terdapat berbagai macam kejanggalan seperti halnya proses mediasi yang seharusnya wajib dilangsungkan antara kedua belah pihak dihentikan secara sepihak oleh penegak hukum atas dasar permintaan pelapor yakni Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan. Selain itu, dakwaan juga dapat dianggap prematur karena penyelidikan/penyidikan dugaan pelanggaran HAM dan tindak pidana korupsi, gratifikasi dan suap yang diduga melibatkan Luhut Binsar Panjaitan seharusnya didahulukan penegakkan hukumnya. Dapat dilihat adanya indikasi keberpihakan yang terjadi, terlebih Luhut Binsar Panjaitan sebagai pelapor yang merasa dicemari haknya tidak pernah diperiksa pada tahap penyelidikan.
Pada jawaban atas eksepsi yang dibacakan, JPU meminta Fatia dan Haris untuk berhenti menggunakan isu HAM, lingkungan dan korupsi untuk bebas dari tanggung jawab pidana. Selain itu, JPU menyatakan bahwa Fatia-Haris telah melakukan konstruksi yang menyesatkan dan memutarbalikkan fakta, serta mengajukan analisis hukum yang keliru namun dibungkus secara rapi dan indah agar perbuatan jahat dari Fatia dan Haris tidak tampak. Jawaban dari JPU tersebut sama sekali tidak menjawab laporan atas dugaan Pelanggaran HAM dan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Luhut Binsar Panjaitan tidak ditindaklanjuti dan memutar balikan fakta sehingga seolah-olah Fatia dan Haris hanya menyalahgunakan isu Pelanggaran HAM dan tindak pidana korupsi untuk membenarkan pencemaran nama baik yang telah mereka lakukan. Pernyataan Penuntut Umum tersebut tidak berdasar dan tendensius serta terkesan menyerang keberadaan Pembela Hak Asasi Manusia.
Adapun JPU menambahkan bahwa laporan terhadap dugaan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM oleh Luhut Binsar Panjaitan sebagai bentuk perintangan proses hukum yang dilakukan oleh Fatia da Haris. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penuntut Umum merendahkan upaya masyarakat sipil untuk berpartisipasi dalam upaya penanggulangan dugaan tindak pidana korupsi dan Pelanggaran HAM.
Menurut kuasa hukum dari Tim Advokasi untuk Demokrasi, tanggapan JPU menunjukkan sesat pikir yang berlaku selama ini kepada masyarakat luas khususnya yang menjadi korban kriminalisasi hak berpendapat, yaitu menyamakan pejabat dengan masyarakat pada umumnya. Luhut Binsar Panjaitan mendapatkan julukan Lord dari netizen untuk menggambarkan kekuasaan yang dimilikinya. Keberpihakan Penuntut Umum juga terlihat saat menyatakan ahli dari Fatia–Haris “tidak ada satupun ketentuan penyidik dan penuntut harus mengikuti ahli tersangka, tidak ada keharusan untuk menerima keterangan ahli Tersangka”. Hal ini jelas problematik, sebab JPU dituntut bekerja secara profesional dengan membuka segala kemungkinan serta perspektif guna mencapai kebenaran dan keadilan.
“Penuntut Umum juga terkesan seperti Kuasa Hukum Luhut Binsar Panjaitan karena meski adanya fakta Luhut Binsar Panjaitan tidak hadir dalam mediasi, tetapi hanya Fatia dan Haris yang dituduh beritikad buruk menunjukkan bahwa argumen Penuntut Umum tentang mediasi tidak konsisten.” ujar Asfinawati dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi pasca pembacaan jawaban dari Penuntut Umum.
Asfinawati melanjutkan “sesat pikir lainnya ditunjukkan ketika Penuntut Umum menyatakan penelitian harus disebarkan melalui media resmi Lembaga. Pendapat tersebut bertentangan pada Konstitusi khususnya Pasal 28F yaitu setiap Orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh Informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan Informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hal tersebut menunjukkan bahwa JPU tidak memiliki pemahaman konsep Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh konstitusi.
Penuntutan dengan itikad buruk semakin jelas dengan menelisik dalil Penuntut Umum yang menyatakan bahwa pendapat ahli yang dihadirkan oleh Fatia-Haris tidak mengikat. Lebih jauh, Penuntut Umum juga telah menyerang profesi advokat ketika menyatakan bahwa tim penasihat hukum dari Tim Advokasi Untuk Demokrasi terkesan tidak serius dalam melakukan pembelaan. Seluruh dalil yang disampaikan oleh Penuntut Umum tersebut sama sekali gagal menjawab eksepsi yang telah diajukan oleh Tim Kuasa Hukum Fatia-Haris dan justru memperkuat dalil bahwa sesungguhnya dakwaan dari Penuntut Umum cacat formil.
Dalam jawaban atas eksepsi yang disampaikan, JPU juga menyebutkan banyak instrumen hak asasi manusia namun semuanya dibungkus dengan analisis yang keliru, menyesatkan, mengandung kesalahan berpikir serta dilakukan guna melakukan kriminalisasi terhadap Pembela HAM dan sama sekali tidak menjawab poin keberatan yang telah disampaikan melalui eksepsi.
Atas ketidaksanggupan Penuntut Umum dalam menjawab eksepsi yang disampaikan oleh penasihat hukum Fatia dan Haris tersebut, kami mendesak Majelis Hakim untuk:
Pertama, Menolak seluruh Surat Dakwaan Penuntut Umum;
Kedua, Memutus Lepas Fatia dan Haris pada putusan sela;
Ketiga, Memulihkan kemampuan, nama baik, harkat dan martabat Fatia dan Haris ke dalam kedudukan semula;
Keempat, Membebankan semua ongkos atau biaya perkara kepada Negara.
Narahubung:
– Muhammad Isnur, Tim Advokasi untuk Demokrasi
– Asfinawati, Tim Advokasi untuk Demokrasi