Serang, 3 November 2025 — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama LBH Pijar Harapan Rakyat yang tergabung dalam Tim Advokasi Padarincang Melawan menghadiri agenda persidangan perkara lingkungan hidup dengan nomor perkara 85/G/LH/2025/PTUN.SRG di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Serang), Banten. Sidang berlangsung pada Senin, 3 November 2025, pukul 10.00 WIB, dengan agenda Tambahan Bukti Surat Para Pihak dan Pemeriksaan Saksi dari Para Penggugat.
Gugatan ini dilayangkan atas adanya dampak kerugian kesehatan dan lingkungan yang dialami warga Kp. Cibetus karena diterbitkannya izin lingkungan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kab. Serang kepada PT. Sinar Ternak Sejahtera (PT. STS) yang merupakan perusahaan peternakan ayam di Kp. Cibetus, Kec. Padarincang, Kab. Serang..
Pada agenda sidang hari ini, Muniroh sebagai warga setempat, menjelaskan di dalam keterangannya sebagai Saksi Penggugat bahwa warga pernah diminta menandatangani persetujuan tanpa penjelasan yang jelas, serta menerima uang sebesar Rp 25 ribu. “Kami tidak tahu tanda tangan itu untuk apa,” ujarnya.
Muniroh juga mengungkap bahwa sejak pengelolaan berpindah dari PT Firman Grup (2013-2019) ke PT. STS pada 2020, skala peternakan semakin besar dengan 3 kandang bertingkat dan 9 blower besar per unitnya yang mengarah ke perkebunan warga. Warga mengaku sudah beberapa kali melapor ke RT/RW, hingga Bupati Serang, namun tidak mendapatkan tanggapan yang berarti.
Saksi kedua, Saenah, yang telah menetap di Kampung Cibetus sejak 1999, memberikan kesaksian dengan menyoroti sejarah perjuangan warga dan kelalaian pemerintah dalam menanggapi keluhan masyarakat.
Sebelum adanya peternakan a quo, Kampung Cibetus merupakan wilayah yang bersih, dengan udara yang segar, air yang layak konsumsi, dan masyarakat yang jarang mengalami penyakit. Namun, semua itu berubah sejak perusahaan peternakan a quo beroperasi kembali.
“Dulu udara masih bersih, air sumur bisa diminum, dan tidak ada penyakit. Sekarang sejak ada kandang, bau dan debu ayam setiap hari.” ungkap Saenah. “Kami sudah pernah melapor ke desa, ke kecamatan, sampai ke bupati, tapi tidak ada hasilnya. Tidak pernah ada petugas yang datang memeriksa.”
Ia juga menjelaskan bahwa sejak 2013, warga telah melakukan berbagai upaya protes dan pengaduan kepada pemerintah daerah setempat, baik itu desa, kecamatan, maupun bupati, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan atau tindakan nyata.
Pada sidang hari ini, Abdul Rohim selaku Pengacara Publik LBH Jakarta menyoroti bahwasanya pengacara Tergugat dan Tergugat II Intervensi tidak memahami substansi gugatan yang diajukan. Pengacara Publik yang juga aktif mengadvokasi Sengketa PKKPRL Pulau Pari ini menyayangkan pernyataan Kuasa Hukum Tergugat dan Tergugat II Intervensi yang bertanya di luar fokus kesaksian Saksi.
“Dari dua keterangan saksi yang dihadirkan menunjukkan adanya gejala “not in my backyard” atau NIMBY yaitu sumbatan partisipasi publik, pejabat/pemerintahan setempat khususnya Kabupaten Serang hanya mementingkan arus investasi saja tanpa mempertimbangan serangkaian protes yang telah dilayangkan oleh warga Kp. Cibetus,” tambah Alif Fauzi Nurwidiastomo selaku Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta.
Sidang akan dilanjutkan pada agenda berikutnya, yaitu pemeriksaan saksi dari tergugat pada Senin, 10 November 2025. Perkara dengan klasifikasi Lingkungan Hidup (LH) ini merupakan bagian dari upaya LBH Jakarta dalam memperjuangkan keadilan ekologis serta memastikan setiap keputusan tata usaha negara yang berdampak pada lingkungan dijalankan sesuai prinsip perlindungan lingkungan hidup dan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan sehat. Oleh karena itu, LBH Jakarta menegaskan komitmennya untuk terus mengawal proses hukum secara transparan, akuntabel, dan berpihak pada kepentingan masyarakat serta kelestarian lingkungan hidup.






