Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaannya pada sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dengan terdakwa Jumhur Hidayat aktivis Koalisi Aksi Menyelamtkan Indonesia (KAMI), Kamis (21/21). Jumhur HIdayat terpaksa menghadapi peradilan karena cuitannya pada media sosial Twitter Oktober 2020 silam dianggap tindak pidana penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong. Hadir dalam persidangan sebagai kuasa hukum Jumhur Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD).
TAUD menilai pasal-pasal yang menjerat Jumhur Hidayat merupakan pasal yang berkarakter haatzaai-artikelen, baik pasal kebencian maupun defamasi yang masih hidup dalam peraturan perundang-undangan kita, serta sarat akan unsur ketimpangan relasi kuasa dan bias gender. Lebih lanjut, TAUD juga menganggap bahwa yang dialami Jumhur merupakan praktik represif dari pemerintah melalui represif aparat negaranya.
“Jumhur Hidayat merupakan korban dari penguasa kepada masyarakat yang kritis atau oposisi yang melakukan kritik dan memiliki pandangan yang berbeda”, jelas Oky Wiratama Pengacara Publik LBH Jakarta yang tergabung dalam TAUD.
TAUD juga mengungkapkan kepada Majelis Hakim bahwa terdapat berbagai pelanggaran KUHAP dalam perkara Jumhur Hidayat. Salah satu yang yang dialami TAUD adalah sulitnya akses pengacara untuk bertemu Jumhur di Rutan Bareskrim. Selanjutnya, TAUD juga belum menerima berkas perkara hingga sidang pertama kemarin. Selain itu, Jumhur juga belum dikeluarkan dari Rutan Bareskrim Polri meski masa penahanan Jumhur ditingkat penyidikan sudah habis.
Tim Advokasi Untuk Demokrasi juga mendesak kepada Majelis Hakim agar dapat menghadirkan Jumhur Hidayat saat agenda sidang selanjutnya. Kehadiran Jumhur Hidayat menjadi penting karena banyak aspek yang perlu dibuktikan secara mendalam serta beban yang besar untuk menyampaikan kepada publik.
Atas dasar tersebut, Jumhur Hidayat melalui kuasa hukumnya menolak surat dakwaan JPU, dan akan mengajukan eksepsi dalam agenda sidang berikutnya.
“Memang, pada kondisi pandemi ini, mekanisme sidang perkara pidana secara online diatur dalam PERMA No. 4 Tahun 2020, namun dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (2) huruf d yang memberikan peluang bagi terdakwa untuk hadir secara langsung ke pengadilan atas persetujuan Majelis Hakim,” kata Oky.
Sebelumnya, Jaksa mendakwa Jumhur Hidayat menggunakan dakwaan alternatif atas dugaan tindak pidana ujaran kebencian dan menyebarkan berita bohong. Dakwaan tersebut diatur dalam Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan atau Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) dan atau Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Hal yang dicuitkan Jumhur Hidayat pada Twitternya adalah kritiknya terhadap UU Cipta Kerja Omnibus Law. Kalimat yang kemudian dipermasalahkan adalah:
“UU ini memang utk Primitive Investore dari RRC dan Pengusaha Rakus, Kalau Investor beradab ya seperti di bawah ini:
35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja
Klik untuk baca : http://kmp.im/AGA6m2” (Jumhur menambahkan link berita).
Tim Advokasi Untuk Demokrasi berharap dalam perkara ini, Majelis Hakim dapat sungguh-sungguh mencari kebenaran materiil, dan bebas dari intervensi politik. (Alif)