Rabu, 27 April 2022. Jumhur Hidayat melalui Kuasa Hukumnya Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mendaftarkan Memori Kasasi yang ditujukan terhadap Mahkamah Agung melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Sebelumnya, Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 33/PID.SUS/2022/PT.DKI tanggal 14 Maret 2022 menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 2/Pid.Sus/2021/PN JKT.Sel tanggal 11 November 2021 yang dalam salah satu amarnya menyatakan bahwa Moh. Jumhur Hidayat Jumhur telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ” menyiarkan kabar yang tidak lengkap sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat “, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU No. 1/1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Baca juga:”Kriminalisasi Jumhur Hidayat: TAUD Mengecam Putusan Hakim Pengadilan Tinggi”
Proses hukum kasasi ini adalah babak lanjutan dari kasus kriminalisasi Jumhur Hidayat yang pada 2020 lalu menyampaikan kritiknya secara sah dan damai pada akun Twitter pribadinya mengenai Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang pada 26 November 2021 lalu dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Kriminalisasi Jumhur Hidayat ini juga semakin menunjukkan bahwa Penegak Hukum tidak hanya bertindak eksesif menggunakan Pasal 15 UU No. 1/1946. Lebih dari itu, Pasal “Pukat Harimau” tersebut merupakan duri dalam demokrasi yang dapat menjerat ekspresi yang sah dan dilindungi konstitusi.
Dalam Memori Kasasi, TAUD memaparkan beberapa poin pembelaan yang menjadi alasan-alasan kasasi sesuai dengan Pasal 253 KUHAP. beberapa di antaranya adalah: Pertama, Putusan Pengadilan Negeri yang diperkuat oleh Putusan Pengadilan Tinggi tidak memuat dan mempertimbangkan keterangan ahli pidana Ahmad Sofian. Hal ini jelas bertentangan dengan Pasal 197 KUHAP sehingga implikasinya adalah putusan tersebut batal demi hukum, serta putusan yang dijatuhkan tidak berdasarkan keseluruhan fakta-fakta yang hadir di persidangan.
Kedua, Majelis Hakim tingkat pertama dan tingkat banding (Judex Factie) melakukan serangkaian kesalahan penerapan hukum mengenai pembuktian. Hal tersebut dapat dilihat dengan dikesampingkannya keterangan saksi tanpa memperhatikan perluasan definisi saksi sebagaimana ditetapkan Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, hingga dikesampingkannya alat bukti surat yang dihadirkan TAUD. Padahal, secara formal, nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat sebagaimana disebut dalam Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang sempurna.
Menurut TAUD, kesalahan penerapan hukum dan cara mengadili yang tidak sesuai dengan undang-undang sebagaimana terlihat dalam Putusan Judex Factie, memperingatkan kepada kita semua bahwa lembaga peradilan yang merupakan benteng bagi jaminan kebebasan (praesidium libertatis) yang akan melindungi warga negara dari kesewenang-wenangan, justru menjelma menjadi bagian dari barisan kesewenang-wenangan itu sendiri.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, TAUD menuntut Majelis Hakim Kasasi pada Mahkamah Agung Republik Indonesia (Judex Jurist) agar menjatuhkan putusan yang dilandasi nilai-nilai kesetiaan terhadap kebenaran dan keadilan dengan membebaskan Jumhur Hidayat dari segala dakwaan penuntut umum. Dengan hal tersebut Mahkamah Agung Republik Indonesia selaku pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi, dapat memulihkan marwah lembaga peradilan sebagai benteng bagi jaminan kebebasan (praesidium libertatis).
Jakarta, 27 April 2022
Hormat kami,
TIM ADVOKASI UNTUK DEMOKRASI (TAUD)
Dukung layanan bantuan hukum gratis dengan berdonasi ke SIMPUL LBH Jakarta melalui www.donasi.bantuanhukum.or.id, kami butuh bantuanmu.