Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi narasi Pemerintah untuk meningkatkan pembangunan adalah ilusi dari perampasan ruang hidup masyarakat dan nyatanya mengorbankan hak-hak pekerja. LBH Jakarta dengan tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja karena tujuannya bukan untuk pemajuan hak asasi manusia melainkan demi memanjakan pemodal dengan memangkas hak-hak rakyat. Pada perkembangannya, Presiden dan DPR menyatakan sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja. Alih-alih mencabut dari prolegnas, penundaan ini tidak memberi jaminan apapun karena pembahasannya akan tetap dilakukan. Bahkan sekalipun klaster ketenagakerjaan dihapus, tetap bukan jaminan karena pekerja tentu juga terancam penggusuran paksa dan pencemaran lingkungan hidup. Sebagai catatan kritis, LBH Jakarta telah menerbitkan kertas kebijakan bertema “Omnibus Law RUU Cipta Kerja: Obsesi Pembangunan yang Merampas Ruang dan Mengorbankan Pekerja” pada 25 April 2020 secara daring.
Peningkatan pembangunan yang digaungkan dalam RUU Cipta Kerja ini tidak sejalan dengan substansinya yang justru melanggengkan perampasan ruang hidup melalui penggusuran paksa atas nama investasi. Melalui Kertas Kebijakannya, LBH Jakarta menemukan banyak persoalan yang muncul dari RUU Cipta Kerja, antara lain, adanya penambahan alasan menggusur paksa; melegitimasi pelanggaran hak atas kota; menghapus kesetaraan dalam proses musyawarah, memperparah pelanggaran tata ruang dan alih fungsi zona serta bersifat diskriminatif dalam penegakan hukum.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, S.H., M.H. mengungkapkan bahwa RUU Cipta Kerja akan menambah jumlah penggusuran paksa karena masih diakuinya jenis kegiatan Penataan pemukiman Kumuh Perkotaan dalam RUU tersebut. “Pemerintah masih mempertahankan jenis kegiatan ‘Penataan Pemukiman Kumuh Perkotaan’ sebagai objek pengadaan lahan dalam RUU Cipta Kerja. Jenis kegiatan tersebut seringkali disalahgunakan sebagai alasan untuk menggusur paksa warga. Padahal penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat berdasarkan Resolusi Komisi HAM PBB No. 2004/2.39.”, ucapnya.
Citra Referandum, S.H., M.H. juga menyoroti pengadaan lahan yang dapat langsung dilaksanakan tanpa adanya konsultasi publik jika RUU ini diberlakukan. “Ketentuan Pasal 121 Angka 5 RUU Cipta Kerja memasukkan satu pengaturan baru bahwa tanah yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, pengadaannya dapat ‘langsung’ dilakukan melalui penetapan Bupati/Walikota. Frasa langsung tersebut menghilangkan tahapan konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah. Alhasil, masyarakat terdampak akan kehilangan hak untuk mengajukan keberatan atau menolak adanya pengadaan tanah tersebut.” kata Pengacara Publik LBH Jakarta tersebut.
Pada aspek ketenagakerjaan, RUU Cipta Kerja akan berimplikasi terhadap hilangnya hak-hak pekerja sehingga kian melegitimasi negara melakukan pemiskinan struktural. LBH Jakarta dalam Kertas Kebijakannya mencatat persoalan RUU Cipta Kerja dalam klaster ketenagakerjaan yaitu mengorbankan perlindungan hak-hak pekerja demi akumulasi kapital, menghilangkan hak-hak pekerja perempuan, sistem kerja kontrak seumur hidup, memperluas outsourcing, memperpanjang waktu kerja, menghapus hak-hak cuti pekerja, mendukung politik upah murah, membuka ruang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, menggerogoti hak-hak pekerja paska PHK dan menghapus 13 jenis tindak pidana perburuhan.
Citra Referandum S.H., M.H. menerangkan bahwa RUU Cipta Kerja kian menguatkan politik upah murah di Indoensia. “RUU Cipta Kerja menghilangkan partisipasi pekerja dalam meninjau komponan dan jenis kebutuhan hidup layak karena yang diberi kewenangan hanya Menteri dan Dewan Pengupahan Nasional berdasarkan data/informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS). Pekerja tidak lagi dilibatkan dalam survei pasar sebagaimana selama ini dilakukan melalui survei tandingan. Ditambah dengan soal data dan informasi BPS yang hanya mengedepankan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi, padahal kita tahu jelas bahwa hasilnya tidak menjawab nilai riil kebutuhan hidup layak.” tegasnya.
Arif Maulana S.H., M.H, juga menyatakan posisi pekerja akan semakin terancam karena RUU Cipta Kerja melemahkan norma pidana perburuhan. “Ada 13 jenis tindak pidana perburuhan yang dihapus dan beberapa diubah menjadi sanksi administratif. Salah satunya, penghapusan Pasal 76 juncto Pasal 187 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Pengusaha yang tidak melindungi pekerja perempuan khususnya dalam hal dipekerjakan pada malam hari, dihapus.” tutupnya.
Atas berbagai permasalahan tersebut, LBH Jakarta melalui Kertas Kebijakannya merekomendasikan kepada Presiden dan DPR RI, untuk:
- Menghentikan seluruh proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi kepentingan Rakyat Indonesia.
- Mencabut draf RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional.
- Mengedepankan dan memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok pekerja.
- Menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi yang sebetulnya merupakan penyebab segala ketimpangan ekonomi dan sosial.
- Menuntut Pemerintah menanggalkan politik pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.