Gebrak, 29 April 2021 – Serikat buruh, organisasi pelajar-pemuda-mahasiswa, petani,perempuan, dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Buruhbersama Rakyat (Gebrak) akan menggelar aksi turun ke jalan memperingati HariBuruh Internasional, 1 Mei 2021, serentak di 27 provinsi dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Pada peringatan Hari Buruh Internasional ini, Gebrak menyoroti kegagalan pemerintah dalam melindungi kelas buruh dan rakyatnya sepanjang setahun lebih pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Tercatat ada sebelas kebijakan dan peraturanyang menyengsarakan kelas buruh terbit sepanjang satu tahun pandemi. Empat berupa surat edaran menteri, satu undang-undang, satu peraturan menteri, satu peraturan presiden, dan empat peraturan pemerintah.
Sepanjang setahun ini pemotongan upah dengan dalih pandemi dilegitimasi lewat Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/3/HK.04/III/2020 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu dalam Masa Pandemi Covid-19. Dalam aturan itu,tidak ada batasan maksimal pemotongan upah dan tidak ada tolak ukur yang jelasserta ketat mengenai syarat ketidakmampuan keuangan perusahaan sehingga sangatmerugikan kelas buruh.
Kewajiban pengusaha membayar Tunjangan Hari Raya (THR) juga dilemahkan melaluiSurat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HI.00.01/V/2020 yang membolehkan adanya pembayaran THR secara dicicil pada tahun lalu. Menjelang Idul Fitri 2021, Kementerian Ketenagakerjaan kembali mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/IV/2021 yang masih bermasalah karena tidak memberikan tolak ukur ketidakmampuan keuangan perusahaan.
Selain itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga mengintervensi kewenangan Gubernurdan Bupati/Walikota dengan mengeluarkan Surat Edaran Menteri KetenagakerjaanNomor M/11/HK.04/X/2020 yang meniadakan kenaikan upah minimum dengan dalihpandemi. Meski begitu, lima provinsi mengabaikan surat edaran itu dan tetap menaikan upah minimum provinsinya yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Sulawesi Selatan,DI Yogyakarta, dan Jawa Tengah.
Pemerintah dan DPR juga bertanggung jawab atas terjadinya gelombang PHK massal selama pandemi karena omnibus law UU Cipta Kerja telah mempermudah terjadinya pemecatan dan menggerus hak dasar buruh. Setidaknya telah terbit empat peraturan pemerintah turunan UU Cipta Kerja yang merugikan kepentingan kelas buruh yaitu terkait penggunaan tenaga kerja asing, perpanjangan periode Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
Serentetan aturan bermasalah ini tidak dapat dilepas dari kegagalan skema pembangunan nasional yang bergantung pada investasi. Ketika terjadi guncangan pada sistem kapitalisme global seperti hari ini maka rakyat yang dijadikan tumbal dengan dalih penyelamatan ekonomi nasional. Rakyat pun kehilangan kedaulatan atas akses sumber ekonomi yang selama ini sebenarnya menopang perekonomian negara lewat konsumsi rumah tangganya.
Atas sederet peraturan dan kebijakan bermasalah ini, Gebrak mendesak agar pemerintah mencabut UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya, memberikan hakdasar buruh, memberikan jaminan perlindungan atas hak bekerja serta penghapusan sistem outsourcing.
Pemerintah juga didesak agar menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang anti UU Cipta Kerja. Di Banten, kriminalisasi dialami oleh belasan mahasiswa massa aksi penolak UU Cipta Kerja. Hingga hari ini, sembilan mahasiswa masih menjalani prosespersidangan di Pengadilan Negeri Serang, Banten.
Usut Korupsi Bantuan Sosial dan Fokus Atasi Virus
Di tengah pagebluk yang memasuki tahun kedua ini, Gebrak juga menyoroti terjadinya enam kasus korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh pejabat di pemerintah pusat maupun daerah.
Mantan Menteri Sosial Juliari Batubara diduga menerima suap Rp 17 miliar dari perusahaan pemenang tender pengadaan bantuan sosial. Dia diduga mengutip Rp 10 ribu untuk setiap paket bantuan sosial untuk rakyat. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menetapkan Bupati Bandung Barat dan anaknya sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan bantuan sosial karena menerima gratifikasi sebesar Rp 1 miliar dari perusahaan pemenang tender.
Gebrak mendesak aparat penegak hukum bertindak tegas dalam mengusut tuntas kasus korupsi bantuan sosial selama pandemi ini. Bukan hanya berdampak pada keuangan negara, korupsi bantuan sosial seperti itu juga sangat merugikan rakya tyang sangat membutuhkan di masa sulit ini.
Selain itu, Gebrak juga mendukung pengungkapan dugaan kasus korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan yang mencapai Rp20 triliun. Jangan sampai sistem jaminan sosial nasional runtuh karena perilaku korupsi para pejabatnya.
Gebrak pun mendorong agar pemerintah terus memberi perlindungan rakyat dalam menghadapi pandemi lewat bantuan sosial dan jaminan atas vaksinasi gratis. Biaya pendidikan bagi para pelajar dan mahasiswa juga seharusnya digratiskan untuk mengurangi beban rakyat. Pemerintah juga harus menghentikan segala bentuk penggusuran dan perampasan tanah dengan dalih investasi terlebih kejadian itu berlangsung di masa sulit ini.
Bangun Persatuan Rakyat
Pada kesempatan ini, Gebrak menyerukan kepada seluruh gerakan rakyat progresifagar menjadikan May Day 2021 sebagai hari perlawanan sekaligus momentum konsolidasi untuk membangun persatuan yang nyata. Gerakan rakyat perlu membangun agenda politik progresif yang sistematis dan saling terkonsolidasi antar berbagai sektor. Dengan demikian, tuntutan politik dari akar rumput dapat dimenangkan tanpa bergantung pada partai politik-partai politik pro oligarki saat ini.
Misalnya, kebutuhan akan disahkannya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang telah lama didorong namun selalu dimentahkan DPR.Padahal, Komnas Perempuan mencatat, adanya kenaikan pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan sebesar 40 persen atau naik sebesar 970 kasus ditahun 2020. Kenaikan pengaduan langsung tersebut masih belum diikuti denganrespon dari pemerintah untuk melindungi hak konstitusional warganya yang dalamhal ini ialah hak untuk memiliki perlindungan di hadapan hukum melalui pengesahan peraturan perundang-undangan yang berperspektif korban.
Selain itu, ada juga Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja RumahTangga yang lebih dari 17 tahun mangkrak di tangan DPR. Para pekerja rumah tangga menunggu belasan tahun untuk mendapat pengakuan dan perlindungan hukum dari negara. Pekerja rumah tangga berhak mendapatkan pengakuan dan perlakuan sebagai pekerja sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta untuk mencegah terjadinya diskriminasi dan kekerasan.
RIlis Pers May Day 2021
Gerakan Buruh Bersama Rakyat