Pada 8 Januari 2019 lalu, pihak kepolisian telah menetapkan (3) tiga anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai tersangka kasus makar. Kasus ketiga anggota KNPB ini kini telah dilimpahkan ke Mapolda Papua guna diproses lebih lanjut oleh Ditreskrim Umum Polda Papua. Kasus ini bermula dari penyelenggaraan kegiatan perayaan ibadah syukuran hari HUT KNPB Timika yang jatuh pada 31 Desember 2018. Walaupun telah dilayangkan surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian, namun ditolak oleh kepolisian dan berakhir dengan pembubaran, penggeledahan, perusakan dan penyitaan kantor sekretariat KNPB Timika.
Pihak kepolisian juga menangkap 6 (enam) orang yang berada di lokasi, dan keesokan harinya, 3 (tiga) orang diantaranya dibebaskan setelah menandatangani sebuah pernyataan. Sementara 3 (tiga) orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka Makar dan kasusnya dilimpahkan kepada Polda Papua. Sementara, 5 (lima) orang lainnya masih akan dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi atas dugaan makar. Proses penangkapan yang dilakukan oleh kepolisian juga diketahui disertai dengan tindakan penganiayaan.
Kami mengecam pembubaran, penggeledahan, penangkapan hingga penetepan sewenang-wenang tersangka Makar yang dilakukan oleh kepolisian. Pihak kepolisian tidak pernah menunjukkan surat tugas, surat perintah penangkapan maupun surat perintah penggeledahan dalam peristiwa tersebut. Selain melanggar hak-hak tersangka dalam KUHAP maupun prinsip-prinsip hak atas peradilan yang adil, hal ini juga telah mencederai kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin dalam konstitusi negara Indonesia. Hal ini juga telah mencederai kebebasan berekspresi dan berkumpul yang diatur dalam konstitusi negara Indonesia.
Selain itu, kami juga mengecam penggunaan pasal Makar kepada 3 (tiga) orang yang ditangkap dalam peristiwa tersebut. Sejak lama, pasal-pasal makar telah menjadi alat represi negara yang kerap kali digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat serta menyuarakan perampasan hak kemerdekaannya. Bagi aktivis-aktivis Papua, pasal makar selalu digunakan untuk membungkam mereka. Pasal makar ini juga digunakan kepada mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di beberapa wilayah Indonesia, aktivis-aktivis Aceh serta aktivis-aktivis di Maluku.
Walaupun pada 31 Januari 2018 lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak pengujian pasal-pasal makar di KUHP, namun MK juga menyadari pasal-pasal makar ini berpotensi digunakan secara serampangan atau disalahgunakan oleh penguasa. Untuk itu, MK juga menyatakan bahwa, “Penegak hukum harus hati-hati dalam menerapkan pasal-pasal yang berkenaan dengan kejahatan terhadap negara sehingga tidak menjadi alat untuk membungkam kebebasan menyampaikan pendapat dalam negara demokratis.”
Penggunaan pasal-pasal Makar dalam peristiwa ini kembali membuktikan bahwa hukum kerap menjadi alat untuk merepresi gerakan demokrasi bagi Papua. Meski tanpa adanya kekuatan untuk melakukan pemisahan wilayah Negara dari Republik Indonesia, perbuatan-perbuatan ekspresif warga Papua bisa dianggap akan memisahkan diri dari Indonesia, dan aktivitas mengungkapkan ekspresi yang dijamin UUD 1945 pun dilanggar dengan sewenang-wenang. Peristiwa kekerasan dan penerapan Pasal Makar ini membuat kondisi kebebasan ekspresi dan tuntutan atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di tanah Papua semakin buruk.
Berdasarkan peristiwa yang terjadi di Timika dan penetapan tersangka makar seperti yang dijelaskan di atas, maka kami menyatakan:
- Menuntut pihak Kepolisian untuk menghentikan proses pemeriksaan dan membebaskan ketiga orang yang dikenakan pasal makar. Ketiga orang tersebut antara lain: Yanto Awerkion, Sem Asso dan Edo Dogopia;
- Menuntut pihak Kepolisian untuk menghentikan penggunaan pasal makar kepada aktivis-aktivis di Papua dan wilayah lainnya di Indonesia karena mencederai kebebasan berekspresi dan berkumpul warga negara yang telah dilindungi dalam konstitusi Republik Indonesia;
- Menuntut pemerintah Indonesia untuk menghentikan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di tanah Papua. Pendekatan keamanan yang selama ini digunakan oleh pemerintah Indonesia terbukti hanya memperpanjang siklus kekerasan di tanah Papua;
- Pada revisi RKUHP, demi menghindari penggunaan delik Makar, kami juga menuntut agar makna Makar dikembalikan sebagai Aanslag atau adanya serangan.
Jakarta – Manokwari, 17 Januari 2019
LP3BH Manokwari – ELSAM – LBH Jakarta – PUSAKA – Yayasan Satu Keadilan
Kontak:
Yan Christian Warinussy (LP3BH Manokwari) 081283937365
Andi Muttaqien (ELSAM) 08121996984
Arif Maulana (LBH Jakarta) 0817256167
Franky Samperante (PUSAKA) 081317286019
Syamsul Alam Agus (Yayasan Satu Keadilan) 08118889083