Pemprov DKI Jakarta akan memangkas subsidi tiket atau Public Service Obligation (PSO) Transjakarta sebesar Rp 700 miliar dari usulan awal Rp 4,24 triliun menjadi Rp 3,5 triliun untuk subsidi tiket Transjakarta. Pemangkasan tersebut dilakukan untuk mengakomodir permohonan hibah Forkopimda TNI dan Polri. Tidak hanya itu, Pemprov DKI Jakarta juga menghapus anggaran Rp 38 Miliar untuk pembangunan 535,68 Kilometer jalur sepeda.
Terhadap hal tersebut, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, Pemprov DKI mengingkari tujuan pembangunan kota berkelanjutan yang memprioritaskan transportasi umum.
Sejatinya konsep ruang kota berbasis transit yang menjadikan transportasi umum sebagai tulang punggung telah termuat dalam rancangan RTRW Jakarta 2040 dan penjabarannya RDTR Jakarta 2022-2026. Untuk mencapai tujuan tersebut, Pemprov perlu memprioritaskan anggaran untuk mempermudah mobilitas warga tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi, seperti aksesibilitas transportasi umum hingga infrastruktur pendukung seperti pedestrian dan jalur sepeda. Pemotongan subsidi PSO Transjakarta dan dihapuskannya anggaran pembangunan jalur sepeda dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2023 Pemprov DKI bertentangan dengan tujuan tersebut.
Kedua, Pemprov DKI menyimpangi kewajiban pembangunan rendah karbon dan pengendalian polusi udara
Mendorong efektifitas transportasi umum dan mobilitas masyarakat yang rendah emisi karbon merupakan salah satu upaya menanggulangi masalah buruknya kualitas udara Jakarta. Putusan pengadilan negeri Jakarta pusat no 374/Pdt.G/LH/2019/P dan Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta nomor 549/PDT/2022/PT DKI telah menyatakan bahwa Pemprov DKI Jakarta melanggar hukum karena selama ini lalai dalam mengontrol pencemaran udara dan wajib melakukan serangkaian upaya pengendalian terhadap hal tersebut. Politik anggaran Pemprov DKI Jakarta memangkas subsidi PSO Transjakarta dan menghapus jalur sepeda dalam KUA-PPAS 2023 tidak sejalan dengan tujuan tersebut. Di lain sisi, justru terdapat anggaran besar pembangunan lahan parkir yang justru berorientasi pada kendaraan pribadi. Klaim “pemulihan ekosistem kota dan implementasi pembangunan rendah karbon” dalam nota kesepakatan Pemprov – DPRD seolah hanya kosmetik belaka jika tidak diikuti dengan penganggaran yang konsisten.
Ketiga, Pemprov DKI melanggar mandat Rencana Pembangunan Daerah
Sebagaimana diketahui, sejak Oktober 2022 lalu Pemprov DKI Jakarta dipimpin oleh penjabat gubernur yang diangkat oleh Presiden untuk mengisi kekosongan jabatan berdasar UU Pilkada. Berdasarkan Inmendagri 70 Tahun 2021, penyusunan RKPD Pemprov DKI Jakarta harus berpedoman pada Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Jakarta 2023-2026 yang tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No 25 Tahun 2022. Dalam RPD, disebutkan bahwa transportasi umum akan menjadi tulang punggung bagi ruang kota Jakarta dan berpihak kemudahan perpindahan setiap warganya. Jalur pejalan kaki dan pesepeda disediakan di seluruh jaringan jalan dan di sekitar titik transit transportasi umum untuk meningkatkan aksesibilitas antar kawasan dengan target 70% People Near Transit (PNT). Meski secara formil dijadikan konsiderans, namun implementasi mengurangi subsidi PSO Transjakarta dan menghapuskan jalur sepeda bertentangan dengan dokumen tersebut. Tentu dalam hal ini patut dipertanyakan sejauh mana penjabat Gubernur DKI berwenang melakukan tindakan di luar rencana kebijakan yang dicanangkan dalam RPD tersebut mengingat kekosongan dasar hukum penunjukan penjabat kepala daerah hingga kini mengakibatkan ketidakpastian bagi masyarakat.
Keempat, hibah TNI-Polri rawan memperkuat pelibatan aparat tidak berwenang dalam upaya paksa Pemprov DKI seperti penggusuran paksa
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemangkasan subsidi tiket PSO Transjakarta sebesar 700 miliar dilakukan untuk mengakomodir permintaan hibah 7 Forkopimda Polda Metro Jaya, Kodam Jaya dan instansi di bawahnya. Selain tidak jelas prioritas dan urgensinya sebab instansi tersebut menerima dana APBN, rencana hibah tersebut juga berpotensi memperkuat keterlibatan TNI-Polri dalam agenda pembangunan Pemprov DKI Jakarta yang tidak sesuai kewenangan TNI-Polri seperti penggusuran paksa.
Kekhawatiran tersebut beralasan mengingat Penjabat Gubernur DKI saat ini di saat yang bersamaan kembali menyatakan akan melanjutkan proyek normalisasi sungai Ciliwung yang dahulu mengakibatkan masifnya penggusuran paksa di Jakarta. LBH Jakarta mencatat dalam periode 2015 hingga 2017, terdapat 416 kasus penggusuran paksa yang menimbulkan korban 15.042 kepala keluarga dan 13.394 unit usaha (LBH Jakarta, 2017), lebih dari setengahnya TNI dan Polri terlibat dalam penggusuran tersebut. Pengerahan aparat yang berlebihan (excessive use of power) ini melanggar kaidah HAM mengenai penggusuran. Keterlibatan aparat TNI-Polri di dalam penggusuran bertentangan dengan tupoksi yang diatur dalam Pasal 7 UU TNI serta Pasal 13 UU Polri, apalagi penggusuran tidak memenuhi kriteria konflik sosial dalam UU Penanganan Konflik Sosial.
Berdasarkan hal tersebut, LBH Jakarta menuntut Pemprov DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta untuk memperbaiki rencana kerja dan anggaran dalam R-APBD 2023 yang memprioritaskan kepentingan publik dan rencana pembangunan kota berkelanjutan dengan membatalkan kebijakan anggaran di atas. Tidak hanya itu, LBH Jakarta juga menuntut Pemprov DKI Jakarta menghentikan pelibatan aparat tidak berwenang seperti TNI-Polri dalam agenda pembangunan dan tindakan paksa pemerintahan seperti penggusuran yang berpotensi menimbulkan pelanggaran berat HAM.
Hormat Kami
LBH Jakarta