Rilis Pers Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Nomor 348/RILIS-LBH/X/2024
Minggu, 6 Oktober 2024. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta menggelar debat perdana Pilkada Jakarta 2024 yang bertempat di JIExpo Convention Centre, Kemayoran, Jakarta Pusat. Adapun tema debat yang diusung adalah, “Penguatan Sumber Daya Manusia dan Transformasi Jakarta menjadi Kota Global.”
Dalam debat tersebut, LBH Jakarta menilai bahwa seluruh paslon tidak menawarkan solusi konkret yang berbasis masalah Jakarta. Padahal seharusnya, seluruh paslon mampu menawarkan solusi yang demokratis dan berbasis ilmu pengetahuan terkait dengan berbagai permasalahan yang masih menjerat Jakarta.
Lebih lanjut, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, visi dan misi seluruh paslon hanya sekedar jargonistik dan berorientasi pada peningkatan elektabilitas. Dalam catatan Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA), terdapat 9 permasalahan krusial dan mendesak di Jakarta yang hingga kini belum mampu diselesaikan. Beberapa di antaranya seperti buruknya kualitas udara Jakarta, penggusuran paksa yang masih menghantui warga, ketiadaan jaminan hak atas hunian dan keamanan bermukim (security of tenure), buruknya akses atas air bersih akibat swastanisasi air, serta penanganan banjir yang belum sesuai akar penyebab. Hal tersebut yang belum terlihat dari Visi dan Misi paslon yang sedang berkontestasi.
Visi dan misi paslon nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono yang hendak yang membangun budaya betawi tidak akan membawa dampak yang signifikan apabila tidak dibarengi dengan upaya menjaga dan menjamin ruang hidup warga Jakarta. Contoh konkret yang dapat dijadikan referensi adalah penggusuran paksa yang dilakukan terhadap Kampung Petukangan, Jakarta Selatan. Kampung tersebut merupakan situs budaya Betawi yang masih menjaga keluhuran budaya seperti, Pencak Silat Beksi, bahkan merupakan tempat kelahiran guru Pencak Silat Beksi, yaitu Godjalih atau Kong Haji, yang dikenal gigih melawan kolonialisme Belanda saat itu. Namun sayangnya, keluhuran budaya di Kampung Petukangan kini telah berubah menjadi jalan tol yang pembebasan lahannya dimulai sejak 2009.
Begitu pula visi dan misi yang ditawarkan paslon nomor urut 2, Dharma-Kun. Mereka menawarkan langkah penanggulangan banjir melalui manajemen air hujan serta sungai hingga memaksimalkan fungsi waduk, taman, dan hutan kota. Menurut kami, hal tersebut hanya akan menjadi solusi kosong karena jenis banjir yang terjadi di Jakarta tidak hanya sekedar karena besarnya curah hujan. Faktor struktural yang patut untuk diperhatikan juga adalah bahwa banjir DKI Jakarta juga disebabkan oleh “banjir kiriman” yang berasal dari hulu atau DAS (Daerah Aliran Sungai) Ciliwung Cisadane, khususnya di daerah Puncak Bogor. Terlebih, hingga saat ini wilayah Puncak Bogor yang merupakan wilayah dataran tinggi dengan banyaknya pohon terus dialihfungsikan menjadi resort ataupun tempat rekreasi oleh para pemilik modal, sehingga mengakibatkan semakin berkurangnya wilayah resapan air di ranah hulu.
Jika program penanggulangan banjir tersebut dijalankan, maka hal itu hanya mengulangi kegagalan penanggulangan banjir di Jakarta yang selama ini masih disikapi dengan seragam sebagai banjir karena luapan sungai, sehingga fokus penanganan hanya dilakukan pada aliran sungai. Buruknya konsep penataan ruang, seperti banyaknya pengembangan infrastruktur yang tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan lingkungan, seringkali tidak dilihat sebagai salah faktor penting penyebab banjir.
Selain itu, kami menilai program Benyamin Sueb Awards yang ditawarkan oleh paslon nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno tidak diletakkan sesuai makna dan konteksnya. Jika dilihat, karya-karya Benyamin Sueb tak lepas dari kritik-kritik atas situasi sosial saat itu, khususnya mengenai problem ketimpangan yang terjadi di Jakarta.
Alih-alih hanya sekadar menggunakan namanya untuk suatu penghargaan, seharusnya semangat melawan ketimpangan yang diusung oleh Benyamin Sueb lah yang dijadikan landasan pengambilan kebijakan. Oleh karenanya, penggunaan nama Benyamin Sueb tanpa dibarengi dengan kebijakan konkret dan tepat sasaran untuk mengikis ketimpangan di Jakarta hanya sekadar jargonistik dan berpotensi mengkerdilkan nama besar sosok tersebut.
Kedua, seluruh paslon tidak memiliki pemahaman yang komprehensif soal keadilan gender. Dalam jawabannya, paslon nomor urut 1, Ridwan Kamil-Suswono tidak mampu memahami problem mendasar dari adanya ketidakadilan gender, yaitu budaya patriarki. Pendidikan politik sebagaimana yang ditawarkan paslon tersebut sangat berpotensi menjadi ruang-ruang formil semata apabila tidak diikuti dengan upaya sistematis dan terencana untuk mengikis belenggu jerat terhadap perempuan dari budaya patriarki.
Begitu pula dengan tanggapan paslon nomor urut 2, Dharma-Kun yang menekankan pentingnya adab dalam mengikis kesenjangan akses antara laki-laki dan perempuan. Konsep yang ditawarkan paslon nomor urut 2 tersebut terlalu abstrak. Tidak jelas apa tolok ukur bagi “adab” yang ia yakini mampu menjamin keadilan akses antara laki-laki dengan perempuan. Padahal dalam praktiknya, “adab” melalui tafsir yang patriarki kerapkali dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan perempuan.
Paslon nomor urut 3, Pramono Anung-Rano Karno juga tidak memahami konteks budaya patriarki sebagai salah satu problem utama ketidakadilan gender. Tawarannya berupa Job Fair tanpa dibarengi dengan jaminan ruang aman dan akses yang laik bagi perempuan hanya akan menjadi program yang tidak tepat sasaran.
Selain dari apa yang dikemukakan seluruh paslon, terdapat problem lain yang tidak dielaborasi dalam debat dan hingga kini belum dapat diselesaikan oleh Pemprov DKI Jakarta, misalnya tentang jumlah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih terhitung tinggi. Jika merujuk pada data dari Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) DKI Jakarta, tercatat sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi selama 2023. Hal ini yang seharusnya menjadi salah salah satu prioritas untuk diselesaikan melalui serangkaian kebijakan yang menjamin ruang aman bagi perempuan dan anak.
Ketiga, seluruh paslon hanya membangun narasi normatif dan tidak mengurai lebih jauh kompleksitas permasalahan yang telah terjadi di Jakarta secara proporsional dari perspektif sosial dan budaya. Hal tersebut terlihat dalam proses debat dengan sub tema “Transportasi yang Terintegrasi”.
Permasalahan yang selama ini muncul, seperti adanya jalur khusus transportasi sepeda semakin minim diakses oleh pengguna dikarenakan ruang aman bagi pengguna sepeda tidak memiliki perlindungan yang jelas, trotoar bagi penyandang disabilitas kerap kali disalahgunakan. Selain itu, masyarakat juga harus berdesak-desakan di transportasi publik yang jumlah armadanya terbatas sehingga dapat berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan dan cedera fisik.
Wacana mengenai program river way yang digulirkan paslon nomor urut 1 juga belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang mendiami dekat aliran sungai. River way dapat berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan baru seperti pencemaran udara, sungai, dan mengganggu ekosistem flora dan fauna di sungai. Menurut kami, permasalahan-permasalahan yang telah terjadi harus diselesaikan sebelum membangun proyek transportasi lainnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami menarik kesimpulan bahwa seluruh pasangan calon tidak mengerti permasalahan empirik yang ada di Jakarta dan gagal menghadirkan perdebatan yang konstruktif sebagai sarana edukasi publik guna mencari solusi penyelesaian masalah Jakarta.
Jakarta, 7 Oktober 2024
Hormat kami,
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta