Siaran Pers
Menyambut tanggal 10 Desember yang diperingati sebagai hari Hak Asasi Manusia, Koalisi Peringatan Hari HAM (Koper HAM) menyampaikan kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi-JK atas komitmennya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia. Rendahnya komitmen Jokowi-JK tergambar dari tetap berulangnya berbagai pelanggaran HAM atau bahkan semakin menjadi dari berbagai sektor isu berkenaan dengan hak sipil politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Melanjutkan Impunitas
Jokowi masih belum memiliki keberanian untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat dengan tetap tidak mengeluarkan keputusan presiden untuk membentuk pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc. Sebaliknya, Jokowi justru lebih mengangkat wacana rekonsiliasi untuk menutup wacana mengadili para penjahat pelanggaran HAM berat. Belakangan, pemerintah juga mengecam upaya menuntut penuntasan tragedi 65 melalui International People`s Tribunal.
Minim Komitmen Pemberantasan Korupsi dan Kriminalisasi
Terhitung sejak awal tahun sampai akhir tahun, sudah tercatat ada 49 kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh Polri terhadap pimpinan KPK, penyidik KPK, Komisioner Komnas HAM, Media Massa dan pendukung gerakan anti korupsi, Sampai saat ini beberapa kasus kriminalisasi tersebut masih berlanjut, diantaranya kasus BW, AS, NB dan juga DI, dan tidak ada tanda-tanda Jokowi mengambil sikap tegas untuk menghentikan Kriminalisasi. Upaya pelemahan KPK juga semakin gencar dilaksanakan dengan berkali-kali diupayakan dilakukan perubahan Undang-Undang KPK, dan Jokowi masih belum mengambil sikap tegas terhadap serangkaian upaya pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi.
Jalan Panjang Menuju Peradilan yang Adil
Sistem peradilan, khususnya peradilan pidana belum menunjukkan tanda-tanda perubahan kearah yang lebih baik. Isu reformasi KUHAP dan KUHP justru tidak mencerminkan sikap tegas dari pemerintah untuk menciptakan sistem dan aturan hukum yang berlandaskan Hak Asasi Manusia. Masih berlarutnya pembahasan RKUHAP, masih terdapatnya delik-delik yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi dan beragama, dan masih diberlakukannya hukuman mati menjadi bukti bahwa reformasi KUHAP dan KUHP kearah yang lebih baik masih membutuhkan jalan panjang.
Membungkam Kebebasan Berpendapat
Satu tahun terakhir juga menjadi catatan buruk dalam perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang diwarnai begitu banyak upaya pembungkaman kebebasan berekspresi dan berpendapat. Aparat kepolisian secara terstruktur menjadi sangat represif terhadap warga Negara yang menyampaikan pendapat dimuka umum. Sebut saja represifitas aparat dalam menyikapi aksi menolak PP Pengupahan yang berujung dengan kriminalisasi 23 buruh, propaganda pemerintah untuk menghalangi mogok nasional, dan yang terakhir adalah penangkapan 306 pemuda-pemudi papua dalam aksi ekspresi identitas papua di Jakarta.
Buruh dikorbankan untuk Kepentingan Investasi
Komitmen Jokowi dalam menyejahterakan warga Negara menjadi sangat dipertanyakan dengan diterbitkannya PP Pengupahan. Substansi pengupahan sejatinya bukanlah formula untuk menyejahterakan, melainkan merupakan kebijakan yang akan memiskinkan kaum buruh dan rakyat Indonesia. Selain itu, PP Pengupahan juga menegasikan esensi dari serikat buruh yang berperan dalam menyejahterakan buruh. Selain memproduksi kebijakan yang memiskinkan buruh, di satu tahun pemerintahan Jokowi-JK, penghapusan outsourcing dan pelanggaran hukum ketenagakerjaan semakin meningkat.
Kapitalisasi Sumber daya alam
Mandat konstitusi untuk menggunakan segala kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat juga belum benar-benar diterapkan. Praktik swastanisasi air yang telah dinyatakan inkonstitusional dan juga melawan hukum oleh lembaga peradilan disikapi dengan arogansi pemerintah yang justru mengupayakan penerbitan instrumen hukum untuk tetap melegalisasi swastanisasi air. Begitupula dengan kekayaan tambang di Papua yang masih terus dikeruk oleh Freeport dan tidak adanya keberanian pemerintah untuk mengusir Freeport keluar dari Papua.
Tren Penggusuran Paksa Pada Masyarakat Miskin Kota
Belum adanya aturan khusus terkait standar penggusuran yang bermuatan hak asasi manusia telah menyebabkan ribuan keluarga terampas hak atas tempat tinggalnya. Upaya penggusuran yang dilakukan setahun terakhir masih dilakukan secara sewenang-wenang, tanpa adanya musyawarah tulus, keterlibatan oknum tentara, dan tidak tersedianya solusi alternatif bagi warga yang tergusur juga menjadi bukti bahwa tahun ini pelanggaran ham masih dibiarkan.
Militerisme Menguat
Setahun belakangan ini militer semakin menguat. Ditandai dengan banyaknya memproduksi MoU antara TNI dengan kementerian/Instansi terkait bidang pendidikan, kesehatan, dan pertanian. Sehingga MoU tersebut menjadi legitimasi bagi TNI untuk masuk dalam sector sipil. Sehingga fungsi TNI bukan hanya bidang pertahanan tapi menjadi bidang keamanan. MoU tersebut melanggar UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Selain itu, Melalui kementerian pertahanan melakukan militerisasi di sector sipil dengan mengadakan program bela Negara, yang mana program bela Negara dibawah kementerian pendidikan, bukan di kementerian pertahanan. Sehingga program bela Negara merupakan militerisasi di sektor sipil.
Berdasarkan berbagai pelanggaran-pelanggaran diatas, kami KOPER HAM (Koalisi Peringatan Hari Ham) menuntut kepada Pemerintah untuk secara serius dan sungguh-sungguh melaksanakan kewajiban Negara untuk memenuhi, menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia, dan kami mengecam keras dan akan melawan segala kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.
Hormat Kami,
KOPER HAM
(LBH Jakarta, KontraS, Semar UI, BEM FHUI, MaPPI FHUI, JKLPK, JRMK, JALA PRT, PSHK, TURC, Arus Pelangi, Korban 65, Perwakilan Mahasiswa Universitas Nasional, Ecpat Indonesia, Aliansi Mahasiswa Papua, GSBI, FMN, Kabar Bumi, Vivat, RTN, LPM Marhaen Universitas Bung Karno, Islam Bergerak, JSKK, LBH APIK, Perwakilan Mahasiswa Jayabaya, STF Driyakarya Korban Semanggi I, Korban Penggusuran Stasiun)