Sidang lanjutan dugaan kriminalisasi 26 aktivis buruh kembali digelar Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (19/07). Agenda persidangan kali ini memasuki bagian terakhir pemeriksaan saksi. Pada kesempatan ini Jaksa Penuntut Umum kembali menghadirkan saksi dari anggota Polda Metro Jakarta.
Toropan merupakan saksi penangkap yang mengaku melakukan penangkapan terhadap massa buruh. Toropan tercatat sebagai anggota Unit IV Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Dihadapan Majelis Hakim ia mengaku melakukan penangkapan terhadap 7 aktivis buruh dan 2 orang Pengacara Publik dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Dalam keterangannya pula dihadapan Majelis Hakim, Toropan mengaku hanya mengingat wajah Tigor Gemdita Hutapea, salah seorang Pengacara Publik LBH Jakarta.
“Saya hanya ingat wajah Tigor yang sedang sibuk main ponsel dekat Pos Polisi seberang Istana Presiden, selebihnya saya tidak ingat lagi wajah para terdakwa yang lainnya, karena peristiwanya sudah lama sekali yang mulia,” terang Toropan yang pada tanggal 30 Oktober 2015 ditugaskan melakukan pengamanan unjuk rasa yang dilakukan berbagai elemen buruh.
Dalam persidangan, Tim Advokasi Buruh dan Rakyat (Tabur) beserta para terdakwa, dalam pembelaanya menolak keras kehadiran saksi yang dianggap memberikan keterangan palsu yang tidak sesuai dengan fakta lapangan.
“Saksi hari ini sangat mengecewakan karena terbukti berbohong. Hal itu terindikasi palsu, tidak benar, dan manipulatif. Ketika kita menyaksikan tayangan video milik LBH Jakarta yang merekam proses penangkapan diputar dalam persidangan,” ungkap Dian Septi salah satu aktivis buruh yang turut dikriminalisasi saat ditemui usai persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kebohongan itu terlihat, lanjut Dian, ketika saksi menjelaskan bahwa dia menangkap sekaligus 7 aktivis buruh dalam satu mobil komando secara bersamaan. Namun faktanya 7 aktivis tersebut tersebar di beberapa mobil komando yang ditangkap secara terpisah.
Fakta lain bahwa, ketika pemutaran video di persidangan berlangsung ternyata saksi bukanlah yang menangkap 7 aktivis buruh tersebut, melainkan Polisi lain yang menggunakan pakaian-pakaian preman dan Turn Back Back Cirme.
Dian juga membantah atas keterangan saksi yang menyatakan adanya pelamparan batu saat terjadinya pembubaran massa aksi.
“Tidak benar adanya pelemparan batu dari rekaman-rekaman yang telah kami tunjukan, serta rekaman yang ditunjukkan dari pihak kepolisian pada persidangan sebelumnya. Tidak ada pelemparan batu yang dilakukan massa buruh,” tutur Dian.
Menurut Dian, saksi Toropan terkesan melindungi institusi dan rekan kerjanya, serta ada keterangan yang sudah didesain sebelumnya.
Saat persidangan, tim kuasa hukum Tabur, Arif Maulana, juga menanyakan bagaimana proses pengamanan penangkap yang dilakukan oleh Toropan saat bertugas. Toropan menjelaskan massa aksi sudah diperingati 3 kali untuk membubarkan diri. Namun karena masih bertahan massa aksi kemudian dipaksa bubar dengan dilempari gas air mata.
Sekitar Pukul 19.00 WIB, Toropan dan sejumlah aparat kepolisian mulai bergerak menangkap massa aksi yang masih bertahan sekitaran Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Toropan mengaku massa aksi berjumlah kurang lebih 11 ribu orang yang masih bertahan di lokasi.
Kemudian Arif menanyakan kembali mengapa dari total 11 ribu massa aksi yang ditangkap hanya 25 orang? Tropan mengaku menangkap karena ada beberapa massa aksi yang masih bertahan. Menurut dia personil aparat yang ada dilapang tidak cukup untuk menangkap sejumlah masa aksi.
“Berarti ditangkap secara random (acak) ya?,” tanya Arif mencoba menggali bagaimana proses penangkapan pada peristiwa tersebut.
Perintah penangkapan merupakan intruksi dari atasannya, Direktur Reserse Kriminal Umum, Kombes Krisna Murti dengan berkordinasi dengan Kampam beserta unit lainnya seperti Intelkam.
Tigor melakukan sanggahan dalam persidangan atas apa yang ia alami. Tigor mengaku saat terjadi penangkapan dirinya dipukuli dari belakang, ponselnya dirampas, serta diminta untuk menghapus foto-foto yang tersimpan dalam ponselnya. Setelah ditangkap, Tigor diseret dan dibawa ke mobil Dalmas untuk diamankan.
Kepada Majelis Hakim, Tigor juga menjelaskan dirinya saat itu hanya bertugas mengawasi, mendokumentasikan, dan bertugas sebagai Pengacara Publik saat unjuk rasa buruh berlangsung.
“Saya adalah penegak hukum sama seperti anda, mengapa saya harus ditangkap,” tanya Tigor.
Tigor juga menanyakan kepada Toropan, siapa personil aparat yang memukulnya dari belakang, namun Tropan mengaku tidak mengetahuinya. “Saya tidak tahu, karena saat proses penangkapan semua terjadi sponitas begitu saja. Jadi saya juga lupa,” tegasnya.
Dalam beberapa keterangan saksi juga menjelaskan bahwa para terdakwa tidak ada melakukan tindakan pidana dan pengerusakan fasilitas umum. “Saya melihat tidak ada buruh melakukan perbuatan melawan hukum, hanya saja tidak mau membubarkan diri.”
Di akhir persidangan, Tim kuasa hukum Tabur, Asfinawati mengingkatkan Ketua Majelis Hakim Suradi atas kesaksian Polisi yaitu Toropan apabila keterangan saksi diduga tidak jujur, maka hakim harus mengikat saksi.
Menurut Pasal 174 KUHAP, kata Asfinawati, menyatakan bahwa apabila keterangan saksi dalam persidang disangka palsu, hakim ketua sidang harus memperingkatkan dengan sungguh-sungguh kepada saksi. Hal tersebut supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan apabila ia tetap memberikan keterangan palsu.
“Saya berharap Majelis Hakim untuk menindaklanjuti keterangan saksi diduga palsu. Ini sama sekali bukan kepentingan klien kami semata, tapi guna menjaga harkat martabat persidangan mulia ini,” tutup Asfinawati. (Andre)