Majelis Hakim PN (Pengadilan Negeri) Pandeglang kembali menggelar persidangan tuduhan kriminalisasi penodaan agama dengan terdakwa AB, Kamis (22/3). Dalam agenda persidangan tersebut, tim penasihat hukum terdakwa menghadirkan 4 saksi ahli bagi terdakwa. Keempat saksi tersebut adalah saksi ahli HAM, Dr. Jayadi Damanik, S.P.,M.Si.,SH, saksi ahli Bahasa, Yamin, saksi ahli pidana Eva dan saksi ahli agama, H. Muhamad taufik,Lc.
Dalam keterangannya di persidangan, saksi ahli HAM menekankan bahwa dari perspektif HAM, kemerdekaan berpikir adalah hak yang tidak dapat dikurangi. Postingan terdakwa yang dianggap ujaran kebencian atau menodai agama itu, menurut ahli HAM lebih merupakan buah pengembaraan rohani dan pikiran yang bersangkutan. Hal tersebut yang kemudian dituangkan ke dalam postingan facebook, dan pikiran tidak bisa dipidanakan.
Pasal 156 (a) terkait penodaan agama pun menurut ahli HAM, telah kehilangan legitimasi yuridisnya, semenjak keputusan MK No. 097 tahun 2016, yang dibacakan tahun 2017. Putusan MK tersebut telah memberikan pengakuan negara terhadap penganut kepercayaan di tanah air.
“Karena berkepercayaan tidak sama dengan beragama, maka pasal 156 (a) tidak bisa lagi dipakai karena telah kehilangan “legal binding”. Keputusan MK ini bersifat mengikat pada semua pihak yang terkait dengan upaya penegakkan hukum di Indonesia karena kekuatan hukumnya setara UU,” jelas Jayadi Damanik.
Poin kedua yang ahli sampaikan adalah, bahwa Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada tahun 2011 merumuskan sebuah kesepakatan tentang pentingnya untuk meninggalkan jauh-jauh permasalahan yang terkait penodaan agama. Sekjen OKI, bahkan telah menyampaikan hal ini dalam sebuah kesempatan di forum PBB.
“Indonesia sebagai anggota OKI dan PBB dan sebagai bangsa yang beradab, sebaiknya juga segera menyerahkan permasalahan terkait “penodaan agama” ke wilayah moral, bukan pidana,” tambah Jayadi.
Sementara ahli bahasa, setelah membaca beberapa postingan terdakwa yang dituduh ujaran kebencian dan penodaan agama mengatakan kebanyakan dari postingan facebook terdakwa bersifat ambigu dalam makna. Banyak postingan terdakwa yang memakai kata-kata pengandaian, sehingga maknanya tidak ada yang mutlak. Sebagai seorang ahli bahasa pun ia menyatakan tidak dapat memahami secara pasti makna dari setiap postingan tersebut.
“Satu-satunya cara untuk benar-benar secara lebih utuh memaknainya, adalah dengan menanyakan langsung kepada si penutur,” jelas Yamin dihadapan Majelis Hakim.
Yamin juga menjelaskan bahwa bahasa tulisan merupakan sebuah sistem lambang yang digunakan oleh sebuah individu. Faktor kepribadian, literasi, latar belakang pendidikan, dan wawasan merupakan beberapa faktor di antara banyak faktor lainnya yang menentukan pemilihan diksi yang digunakan oleh penutur. Terkait apakah sebuah postingan merupakan sebuah ujaran kebencian atau bukan, intonasi pengucapan sangat penting dalam menentukan apakah sebuah ujaran merupakan kebencian atau bukan.
“Intonasi merupakan hal yang tidak dapat dilihat secara akurat dalam sebuah sistem lambang tulisan,” tegas Yamin.
Mengenai frasa “di sini” yang terdapat dalam beberapa postingan status terdakwa yang dianggap sebagai ujaran kebencian, yang ditujukan terhadap sebuah tempat, bisa bermakna “sebuah tempat yang dekat“. Namun, Yamin sebagai ahli bahasa juga menyatakan bahwa makna frasa “di sini” bisa juga tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Apalagi, menurut Yamin, terdakwa merupakan seorang penulis buku yang biasa menggunakan imajinasi dalam proses berpikir kreatifnya.
Mengenai postingan yang bersifat kritikan terhadap alim ulama, menurut ahli agama, kritikan terhadap alim ulama merupakan hal yang biasa, asal tidak bersifat menunjuk langsung kepada seseorang dengan cara yang berlebihan. Sementara mengenai frasa “melihat Allah“, Muhamad Taufik sebagai ahli agama menyampaikan bahwa sebagai seorang muslim yang berbaik sangka, ketika membaca frasa itu ia akan memaknainya sebagai sebuah kiasan atau ungkapan.
“Melihat Allah, bisa juga bermakna melihat-Nya dengan keimanan atau dengan mata hati,” jelas Taufik.
Persidangan berjalan dengan ruang sidang yang dipenuhi anggota ormas FPI. Tidak hanya di dalam, anggota FPI juga hadir di luar persidangan. Persidangan masih akan dilanjutkan dan akan diselenggarakan setiap 2 kali dalam seminggu. (Kom)