Pada Rabu lalu (14/8), Pemerintah Indonesia melalui Tim Perumus RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) menyatakan bahwa pihaknya berharap RKUHP dapat disahkan pada September 2019. Atas pernyataan tersebut, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menilai bahwa RKUHP Masih Bermasalah, baik dari segi substansi ide norma maupun redaksi norma, terkhusus dalam pasal-pasal pidana terkait keagamaan. Oleh karenanya, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendesak Pemerintah RI dan DPR RI untuk memperbaiki rumusan RKUHP.
Koalisi menilai, keberadaan delik-delik pidana keagamaan ini berpotensi menimbulkan kecurigaan di masyarakat, segregasi sosial, meningkatkan tindakan intoleransi, dan merusak hubungan kerukunan antar umat beragama.
Selain itu, desakan untuk memperbaiki rumusan RKUHP juga disandarkan pada beberapa alasan lainnya betapa problematisnya pengaturan dan perumusan delik pidana keagamaan dalam RKUHP, yang antara lain:
1. Mengabaikan Kepastian Hukum
Pengaturan pidana yang didasarkan hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP), adalah bentuk pembangkangan terhadap Negara Hukum yang mengandaikan kepastian hukum untuk mencapai keadilan. Maka yang akan terjadi adalah situasi ketidakpastian dan kesewenang-wenangan hukum. Ketentuan ini akan menimbulkan masalah besar, overkriminalisasi (kriminalisasi yang berlebihan), hingga tindakan persekusi, yang jelas-jelas mengkerangkeng hak kebebasan warga negara untuk tidak dihukum secara sewenang-wenang.
2. Menjadikan Agama sebagai Subjek Perlindungan Hukum Pidana
Ketentuan Pasal 313 sampai Pasal 318 RKUHP yang dikelompokkan sebagai “Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama”, telah menjadikan agama sebagai subjek perlindungan hukum pidana. Dalam praktik hukum pidana modern di berbagai belahan dunia, konsepsi perlidungan seperti ini tidaklah dikenal dan dianggap absurd. Hukum pidana modern hanya melindungi hal yang sangat jelas dan terukur: tubuh manusia, properti, dan lingkungan hidup.
Selain itu, bila agama dijadikan sebagai subjek perlindungan hukum pidana, maka akan menimbulkan konflik dalam internal umat beragama.
3. Sumber Menguatnya Intoleransi dan Persekusi di Masyarakat
Masih diaturnya ketentuan hukum pidana penghinaan agama (dalam Pasal 313 dan 314 RKUHP) menunjukkan Pemerintah RI justru memelihara konflik keagamaan. Ada banyak riset baik nasional dan internasional, yang menyatakan bahwa salah satu penyebab utama maraknya tindakan intoleransi dan persekusi di masyarakat adalah masih eksisnya aturan pidana penghinaan agama, yang kini masih terdapat dalam RKUHP.
4. Tumpang Tindih Pengaturan Hukum
Pengaturan pidana perusakan seperti pembakaran rumah ibadah, benda yang dipakai ibadah, dan pidana perusakan benda suci keagamaan dalam Pasal 318 ayat 2 dan Pasal 503 ayat 1 RKUHP, adalah pengaturan hukum yang berlebihan, tumpang tindih, dan tidak diperlukan. Bila pun ada tindakan pembakaran, pencurian, atau perusakan, semestinya tetap mengacu pada ketentuan pasal pidana pembakaran, pencurian, dan perusakan biasa.
Selain itu, tidak ada ukuran dan batasan yang jelas dengan apa yang dimaksud sebagai “benda yang dipakai ibadah”, “benda suci keagamaan”, dan sebagainya. Hal ini berpotensi menimbulkan multitafsir dan kesewenang-wenangan dalam penerapan hukum.
5. Ditujukan untuk Menciptakan Situasi Overkriminalisasi
Dirumuskan dan dicantumkannya delik-delik pidana keagamaan dalam Pasal 313-318 dan Pasal 503 ayat 1, serta diberlakukannya pasal hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat, menunjukkan pemerintah dan DPR-RI masih mengadopsi semangat penal populism (pemidanaan populis), yang dalam artian semua perbuatan yang dianggap “tidak baik” harus dipidana. Semangat ini jauh dari semangat keadilan restoratif, karena justru menimbulkan overkriminalisasi (pemidanaan yang berlebihan).
Padahal di satu sisi, pemidanaan terhadap suatu perbuatan beserta pelakunya, tidak serta-merta dapat menyelesaikan akar permasalahan yang ada di masyarakat. Ia pada akhirnya hanya dijadikan alat pencipta ketakutan di masyarakat, yang membuat individunya tidak bisa bebas melakukan aktivitas sebagaimana biasanya.
Di sisi yang lain, imbas dari situasi overkriminalisasi akan berimplikasi pada overcrowding Lapas (melonjaknya jumlah penghuni Lapas), dan membebani dana APBN untuk mensupport kebutuhan warga Lapas itu sendiri. Pada akhirnya, Negara dirugikan banyak-baik secara materiil dan imateriil- bila memberlakukan ketentuan-ketentuan RKUHP yang bermasalah ini.
Selain alasan-alasan substansial dalam draft RKUHP, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan juga berpendapat bahwa dari segi pelibatan dan perumusan draft RKUHP masih kurang partisipatif. Ini dapat dilihat dari minimnya pelibatan dan perumusan bersama draft dengan kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu kemerdekaan beragama dan berkeyakinan maupun lembaga-lembaga keumatan. Artinya, Tim Perumus dan DPR-RI merumuskan dan membahas RKUHP terkait pidana keagamaan tanpa memahami situasi riil dan kebutuhan di lapangan –yang sering dihadapi oleh kelompok masyarakat sipil dan lembaga keumatan-.
Penolakan atas draft RKUHP yang bermasalah ini juga masih terus disuarakan oleh Aliansi Nasional untuk Reformasi KUHP. Atas hal tersebut, maka kami dari Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan mendesak Pemerintah RI dan DPR-RI agar:
1. Meninjau ulang dan memperbaiki ketentuan:
a) delik pidana keagamaan (Pasal 313 s.d. Pasal 318, Pasal 503 ayat 1 RKUHP)
b) ketentuan hukum yang hidup di masyarakat (Pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP)
Ketentuan-ketentuan ini berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan hukum, intoleransi, konflik, dan persekusi;
2. Melibatkan kelompok masyarakat sipil yang fokus pada isu kemerdekaan beragama dan lembaga-lembaga keumatan, dalam merumuskan delik-delik yang terkait perlindungan umat beragama, seperti: perlindungan kemerdekaan beragama, perlindungan dari ujaran kebencian berbasis sentimen agama, perlindungan dari tindakan persekusi dan kekerasan atas nama agama, dan sebagainya.
3. Apabila perbaikan terhadap pasal-pasal RKUHP di atas tidak dilakukan perbaikan, seyogyanya Pemerintah RI dan DPR RI menunda pengesahan RKUHP untuk waktu yang tidak ditentukan sampai benar-benar terbentuk tim perumus independen yang melibatkan semua pihak dan partisipatif.
Jakarta, 16 Agustus 2019
KOALISI NASIONAL ADVOKASI KEMERDEKAAN BERAGAMA ATAU BERKEYAKINAN
YLBHI, LBH Jakarta, Paritas Institute, HRWG, ILRC, CRCS UGM, Satunama, ELSA Semarang, Wahid Foundation, LBH Banda Aceh, LBH Makassar, SEJUK, SEPAHAM, Inklusif, PUSAD Paramadina, HRLS FH UNAIR, Fahmina, LBH Padang, & Jaringan Gusdurian