1. Pengantar
Obsesi Presiden Joko Widodo dipenghujung tahun 2019 yang menyatakan hendak mempercepat perputaran arus modal investasi, sepantasnya membuat masyarakat sipil khawatir dengan nasibnya. Dengan memboyong draf RUU Cipta Kerja ke DPR, Pemerintah sedang mengingkari amanat konstitusi yang dipikul. Sebab, substansi yang dikandung dalam RUU Cipta Kerja sangat jauh arang dari api. Untuk merealisasikan iklim kerja yang produktif dan berkualitas Pemerintah harus mengawali dengan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum pekerja yang menjadi fondasi perekonomiannya. Artinya, pekerja harus dilihat sebagai subjek, bukan sekedar objek. Sayangnya, piramida kebijakan yang digunakan Pemerintah dalam RUU Cipta Kerja justru terbalik: menempatkan pengusaha pada hirarki proteksi tertinggi sementara menempatkan pekerja pada lapisan terbawah.
Metode legislasi yang digunakan Pemerintah untuk membuat produk RUU Cipta Kerja juga tidak biasa. Dengan dalih efisiensi biaya dan waktu pembahasan, Pemerintah memilih menggunakan metode ‘Omnibus Law’ untuk merealisasikan formulanya, meski sebenarnya metode tersebut tidak dikenal dalam konstruksi Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 15 Tahun 2019. Seolah tutup mata, Pemerintah menafikan bahwa di berbagai belahan dunia lain, metode Omnibus Law dianggap sebagai cara yang tidak-demokratis bahkan despotis. Masyarakat sipil mengkhawatirkan bagaimana anggota DPR nantinya dapat berkomitmen untuk melakukan pembahasan yang holistik dan kritis terhadap masing-masing pasal RUU Cipta Kerja. Sebab, dalam serangkaian produk terakhir yang disahkan di gedung tersebut, para wakil rakyat tampak tak sungguh-sungguh melakukan pembahasan sehingga ada banyak pasal yang keliru.[1]
1.1. su-Isu yang Disoroti
Dalam kertas kebijakan ini, LBH Jakarta akan menguraikan satu-per-satu isu yang menjadi kekhawatiran bilamana RUU Cipta Kerja disahkan. Tanpa mengurangi pentingnya memperhatikan isu-isu lain, seperti masyarakat adat, kehutanan, lingkungan hidup, dan seterusnya, kertas kebijakan ini akan membahas dua isu ekonomi, sosial dan budaya yang menjadi fokus kerja LBH Jakarta. Maka, secara garis besar, isu yang disoroti dalam Kertas Kebijakan ini antara lain:
- Ilusi Deregulasi Melalui RUU Cipta Kerja: Memangkas Aturan Tapi Menciptakan 516 Peraturan Pelaksana Baru
- Isu Ketenagakerjaan: Implikasi RUU Cipta Kerja Terhadap Hilangnya Hak-Hak Pekerja dan Legitimasi Negara terhadap Upaya Pemiskinan Strukutral
- Isu Perkotaan & Masyarakat Urban: RUU Cipta Kerja Melanggengkan Penggusuran Paksa Atas Nama Investasi dan Menciptakan Lebih Banyak Lagi Konflik Sosial
2. PEMBAHASAN
2.1. Ilusi Deregulasi Melalui RUU Cipta Kerja: Memangkas Aturan tapi Menciptakan 516 Peraturan Pelaksana Baru
Wacana deregulasi yang dibesar-besarkan tampaknya tak sejalan dengan substansi yang dikandung RUU Cipta Kerja. Dalam catatan yang sebelumnya pernah dibuat oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Omnibus Law yang notabene semangatnya memangkas regulasi nyatanya akan menciptakan 493 (empat ratus sembilan puluh tiga) Peraturan Pemerintah, 19 (sembilan belas) Peraturan Presiden, dan 4 (empat) Peraturan Daerah baru agar dapat mampu berjalan. Artinya, terdapat 516 (lima ratus enam belas) peraturan pelaksana baru yang dilahirkan RUU Cipta Kerja.[2] Dalam situasi ini, investor asing yang diharapkan mampu terbantu dengan wacana penyederhanaan regulasi nyatanya akan semakin tersesat dengan banyaknya peraturan pelaksana baru yang dilahirkan. Belum lagi menghitung banyaknya peraturan pelaksana lain yang masih berlaku sebelum adanya RUU Cipta Kerja. Pada akhirnya, jumlah yang besar ini membuktikan bahwa hipotesis Pemerintah tentang efektivitas RUU Cipta Kerja sebagai cara menyelesaikan tumpang tindihnya regulasi di Indonesia tidak terbukti.
2.2. ISU KETENAGAKERJAAN: Implikasi RUU Cipta Kerja terhadap Hilangnya Hak-Hak Pekerja dan Legitimasi Negara terhadap Pemiskinan Struktural
LBH Jakarta merangkum beberapa isu yang membuat RUU Cipta Kerja sepatutnya tidak dibahas lebih lanjut oleh DPR, antara lain:
2.2.1. Perlindungan Hak-Hak Pekerja Dikorbankan Demi Akumulasi Kapital
RUU Cipta Kerja mengusung tema fleksibilitas tenaga kerja sebagai wacana utama. Sayangnya, iming-iming tenaga kerja fleksibel hanya manis bagi pengusaha, namun tidak memberi jaminan perlindungan bagi pekerja. Seolah menutup mata pada realitas bahwa model-model hubungan kerja fleksibel yang ada selama ini justru seringkali berubah anomali, karena selain memperparah eksploitasi pekerja, produktivitas pekerja juga terganggu karena dihantui oleh ketidakpastian nasibnya paska hubungan kerja berakhir. Pemerintah seakan menempatkan pekerja sebagai pihak yang paling membutuhkan pekerjaan. Jelas saja bahwa dalam posisi tawar yang lemah, pekerja tentu tidak punya banyak pilihan. Realitas itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menjustifikasi regulasi. Sebab, jika hal itu dilakukan, pekerja akan semakin rentan tereksploitasi model perbudakan modern yang tiap saat terus berkembang modusnya.
2.2.2. Penghilangan Hak-hak Pekerja Perempuan
RUU Cipta Kerja telah meniadakan penghargaan atas peran-peran perempuan dalam ranah publik. Dalam rancangannya, perempuan tidak lagi diakui dan dihargai sebagai pekerja karena hak-haknya dipangkas dengan beragam modus. RUU Cipta Kerja mengedepankan hitung-hitungan produktivitas, termasuk dalam konteks upah, yang diukur lewat satuan waktu dan hasil. Metode pengupahan ini jelas mendiskriminasi pekerja perempuan yang sebelumnya dijamin oleh negara dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk mendapatkan hak cuti haid, hamil, melahirkan dan menyusui. Jika RUU ini disahkan, pekerja perempuan tidak akan dapat mengakses hak-hak di atas atau ketika pekerja perempuan terpaksa tidak hadir bekerja karena sedang dalam masa haid, hamil, melahirkan atau menyusui maka menurut perhitungan upah satuan waktu dan hasil, pekerja perempuan tidak akan mendapat upah penuh. Politik pengupahan ini akan terus memperburuk kondisi pekerja perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga, baik pekerja perempuan yang menjadi kepala keluarga maupun pekerja perempuan yang mengalami beban ganda.
2.2.3. Mendukung Sistem Kerja Kontrak Seumur Hidup
RUU Cipta Kerja menciptakan ketidakpastian bagi para pekerja, pasalnya beberapa ketentuan yang mengatur mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau yang lebih dikenal sebagai ‘kerja kontrak’ telah diubah dan dihapus oleh draf RUU Cipta Kerja. Perubahan dan penghapusannya kemudian menciptakan sistem kerja kontrak seumur hidup. Dan lebih jauh lagi, pekerja semakin tidak memiliki jaminan kepastian atas pekerjannya. RUU Cipta Kerja menambahkan klausul jangka waktu atau selesainya pekerjaan tertentu “ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak”, yang pada praktiknya memberikan keleluasaan kepada pengusaha untuk memutuskan secara sepihak. Sebab dalam posisi subordinasi, pekerja tidak memiliki posisi tawar yang setara ketika berhadapan dengan pengusaha. Sehingga, kesepakatan yang dimaksud hanya sebatas formalitas. Pengusaha tentu akan mengambil sikap take it or leave it dalam berunding, sementara pekerja akan dengan terpaksa menerima tawaran pengusaha demi memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memperbolehkan pembuatan PKWT secara lisan, yang semakin mempersulit pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya mengingat ketika berperkara, para pihak dituntut untuk dapat membuktikan secara tertulis.
2.2.4. Memperluas Praktik Outsourcing: Pekerja Semakin Tak Jelas Nasibnya
RUU Cipta Kerja menghapus ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang mengatur syarat-syarat melakukan perjanjian kerja pemborongan, bentuk pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain, hubungan kerja dan peralihan status hubungan kerja kepada perusahaan pemberi kerja bilamana tidak memenuhi syarat. Selain itu, larangan penyerahan kegiatan pokok atau proses produksi kepada perusahaan penyedia jasa pekerja juga dihapuskan. Oleh karena penghapusan ini, pengusaha akan lebih memilih sistem kerja outsourcing karena berbiaya murah, sehingga tidak perlu lagi memikirkan kewajiban memenuhi hak-hak pekerja. Sebaliknya, pekerja akan kehilangan perlindungan atas hak-haknya terutama hak atas pekerjaan yang layak, belum lagi pekerja juga harus menghadapi masalah pemotongan upah kepada perusahaan penyedia jasa pekerja.
2.2.5. Memperpanjang Waktu Kerja
RUU Cipta Kerja masih memperbolehkan pengusaha untuk mempekerjakan pekerja dalam sektor usaha tertentu lebih dari 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu. Ketentuan yang dikandungnya menambah waktu kerja lembur, yang semula diatur paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu menjadi 4 (empat) jam dalam 1 (hari) dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Perpanjangan ini tentu mengakibatkan pekerja kekurangan waktu istirahat yang justru dapat berdampak pada penurunan kinerja atau produktivitas pekerja akibat kelelahan baik secara fisik maupun mental. Alih-alih menambah penghasilan, perpanjangan waktu kerja lembur, pengurangan waktu libur, serta penggunaan skema pengupahan berdasarkan produktivitas justru akan semakin mengeksploitasi pekerja.
2.2.6. Menghapus Hak-Hak Cuti Pekerja
RUU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti pekerja yang sebelumnya dijamin dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Dalam rancangannya, RUU Cipta Kerja meniadakan hak cuti haid, menikah, melahirkan, melaksanakan tugas serikat, melaksanakan tugas pendidikan, dan seterusnya.[3] Cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus juga dihilangkan sebagai hak pekerja. Kehilangan masa rehat ini dapat memperburuk kondisi kesehatan mental pekerja. Ekses dari pengaturan ini bukan hanya melanggar hak-hak ekosob, tapi akan merambat pada hak-hak sipil dan politik. Penghapusan hak cuti untuk melaksanakan tugas serikat akan menjadi cara untuk semakin mempersulit pekerja berorganisasi.
2.2.7. Mendukung Politik Upah Murah
Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menjamin upah layak sebagai hak konstitusional warga negara. Dalam level internasional Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga telah meletakkan kewajiban negara untuk memenuhi hak atas upah yang layak sebagai pemenuhan kehidupan yang layak, yang juga telah diratifikasi oleh. RUU Cipta Kerja justru semakin memparah politik upah murah sebab sebelum adanya RUU Cipta Kerja, legitimasi atas politik upah murah sudah diakomodir oleh Peraturan Pemerintah No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Beberapa di antaranya adalah dengan ditetapkannya formula kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, penghilangan partisipasi pekerja dalam merumuskan upah minimum, sentralisasi kewenangan yang terpusat pada Pemerintah Pusat, upah berdasarkan satuan waktu dan hasil, upah minimum dikecualikan bagi sektor padat karya dan usaha mikro dan kecil, penghapusan denda keterlambatan membayar upah, dan pelemahan pidana upah dibawah upah minimum.
2.2.8. Membuka Ruang Pengusaha Melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Massal
Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatur bahwa PHK harus dihindari, namun dalam praktiknya, pengusaha cenderung melakukan beragam cara dan mencari pembenaran untuk memutus hubungan kerja. Pengaturan ini kemudian dihapus oleh RUU Cipta Kerja. Selain itu, RUU Cipta Kerja juga mempermudah pengusaha melakukan PHK massal melalui kesepakatan, hingga menambah alasan PHK, melegitimasi PHK dengan alasan efisiensi. Hal ini tentu melenyapkan kepastian atas kelangsungan pekerjaan. Sewaktu-waktu pengusaha dapat melakukan PHK sepihak tanpa kehadiran negara.
2.2.9. Hak Pekerja Paska PHK Digerogoti
RUU Cipta Kerja menghapus perhitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) bagi pekerja dengan masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih. Sebelumnya Undang-Undang Ketenagakerjaan menjamin 10 (sepuluh) bulan upah, namun kini dalam RUU Cipta Kerja, pekerja dengan masa kerja tersebut hanya mendapat 8 (delapan) bulan upah. Pekerja juga tidak lagi berhak atas Uang Penggantian Hak (UPH) karena RUU Cipta Kerja mengkonstruksikan UPH bersifat fakultatif, tidak lagi imperatif. Atau dengan kata lain, bukan lagi menjadi hak normatif pekerja. Implikasinya juga akan sangat dirasakan oleh pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Selain tidak mendapatkan UPH, pekerja juga tidak lagi mendapat Uang Pisah. Kemudian, dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau likuidasi, hak lainnya pekerja akan dibayarkan setelah pembayaran kepada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan dilaksanakan. Setelah PHK, pekerja akan kehilangan jaminan atas pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara jaminan kehilangan pekerjan yang digagas RUU Cipta Kerja tidak dapat menjadi jawaban, karena sebetulnya melalui jaminan tersebut upah pekerja harus dipotong setiap bulannya, sehingga mengurangi penikmatan atas upah yang layak.
2.2.10. Penghapusan Pidana Perburuhan
Pemerintah mengurangi jenis-jenis tindak pidana perburuhan melalui RUU Cipta Kerja. Terdapat 13 (tiga belas) jenis tindak pidana perburuhan yang dihapus yaitu (1) pengusaha yang tidak memberi hak pensiun, (2) pemberi kerja yang tidak memiliki izin bila mempekerjakan tenaga kerja asing, (3) pengusaha yang tidak memberi hak pekerja paska pesangon karena menghadapi proses perkara pidana, (4) pemberi kerja yang tidak memberi perlindungan bagi pekerja sejak rekrutmen hingga penempatan, (5) lembaga penempatan tenaga kerja swasta yang tidak memiliki izin, (6) pemberi kerja tenaga kerja asing yang tidak menaati ketentuan jabatan dan standar kompetensi yang berlaku, (7) pemberi tenaga kerja asing yang melanggar kewajiban, (8) pengusaha yang melanggar kewajiban untuk melindungi pekerja perempuan anak, hamil dan pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari, (9) lembaga pelatihan kerja swasta yang tidak memiliki izin atau tidak mendaftar ke instasi bidang ketenagakerjaan, (10) pengusaha yang tidak membuat surat pengangkatan bagi pekerja yang bekerja berdasarkan PKWT secara lisan, (11) pengusaha yang tidak membuat peraturan perusahaan, (12) pengusaha yang tidak memperbaharui peraturan perusahaan, dan (13) pengusaha yang tidak memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberi naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja. Beberapa jenis tindak pidana di atas diubah menjadi sanksi administratif.
2.3. ISU PERKOTAAN & MASYARAKAT URBAN: RUU Cipta Kerja Melanggengkan Perampasan Ruang Atas Nama Investasi dan Menciptakan Lebih Banyak Lagi Konflik Sosial
LBH Jakarta mencatat banyaknya aturan terkait kepemilikan lahan, bangunan, dan zonasi yang diubah, membuka potensi lebih besar untuk terjadinya penggusuran paksa untuk kepentingan investasi, antara lain:
2.3.1. Alasan Melakukan Penggusuran Ditambah
Pemerintah memperluas jenis-jenis kegiatan pembangunan yang dapat diberikan. Dari sebelumnya 17 (tujuh belas) kegiatan pembangunan, diperluas menjadi 22 (dua puluh dua) jenis kegiatan pembangunan. Kegiatan-kegiatan pembangunan yang dimaksud mencakup tambahan: Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas, Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Industri, Kawasan Pariwisata, dan Kawasan Lainnya yang akan diatur dalam Peraturan Presiden. Dengan perluasan jenis-jenis kegiatan ini, Pemerintah menyepakati perannya sebagai perpanjangan tangan dari investor. Penggunaan redaksi ‘Kawasan Lainnya’ juga menambah ketidakpastian hukum bagi masyarakat, sebab, Presiden diberikan diskresi yang luas untuk sewaktu-waktu dapat menerbitkan Peraturan Presiden sebagai instrumen pelaksana sesuai kebutuhan yang sifatnya cenderung politis. Pemerintah juga masih mempertahankan jenis kegiatan ‘Penataan Pemukiman Kumuh Perkotaan’ sebagai objek pengadaan lahan dalam RUU Cipta Kerja. Padahal, jenis kegiatan tersebut seringkali disalahgunakan sebagai alasan untuk menggusur paksa warga. Persoalan tentang pemukiman kumuh sebenarnya mengakar dari ketidakmampuan negara memberikan jaminan akan kehidupan yang layak.
2.3.2. Melegitimasi Pelanggaran Hak atas Kota
Pada lanskap perkotaan seperti Jabodetabek, tempat tinggal menjadi isu yang kompleks. Dengan watak fundamentalisme pasar, masyarakat urban melihat tempat tinggal sebagai segala representasi sosial dari diri seseorang. Kecenderungan memprivatisasi ruang hidup melahirkan perubahan besar pada cara masyarakat dalam berbudaya dan berkewarganegaraan: ruang tidak lagi dinikmati secara kolektif, melainkan dianggap sebagai properti privat. Watak investasi yang tidak peka sosial seperti sebelumnya marak terjadi di perkotaan inilah yang ingin semakin dipromosikan Pemerintah lewat Omnibus Law. RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi pengadaan lahan di bawah 5 ha, dengan mengecualikan syarat konsultasi publik, kesesuaian ruang, pertimbangan teknis, dan bahkan AMDAL. Padahal, untuk wilayah perkotaan padat penduduk seperti Jakarta, luas 5 ha dapat ditinggali oleh ratusan kepala keluarga. Akibat pengaturan ini, penggusuran paksa dengan skala kecil sangat mudah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. RUU Cipta Kerja menunjukan bagaimana persepsi tentang pembangunan hanya dimonopoli oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Korban dari gagahnya narasi pembangunan tak lain adalah masyarakat miskin yang perlahan dipaksa harus angkat kaki.
2.3.3. Berpotensi Menghapus Kesetaraan dalam Proses Musyawarah
Dalam RUU Cipta Kerja, pihak yang dilibatkan ditambahkan, dari sebelumnya hanya pihak yang berhak dan masyarakat terdampak, kini konsultasi publik dilakukan dengan mengerahkan Pengelola, Pengguna Barang Milik Negara/Daerah (BMN/BMD), dan masyarakat terdampak. Ditambahnya dua subjek dari wilayah penguasa ini akan memengaruhi proses konsultasi publik yang cenderung intimidatif bagi masyarakat. Salah satu contoh riil yang marak terjadi di Jakarta adalah kasus sengketa hak atas tempat tinggal antara warga dan TNI AD. Kasus ini setidaknya membuktikan betapa mudahnya negara mengambilalih objek yang dikuasai masyarakat, alih-alih atas nama kebutuhan negara, penerbitan status BMN tersebut seringkali cacat prosedur dan dilakukan secara sepihak. Pelibatan Pengguna BMN, yang dalam kasus ini merupakan personel militer, tentu akan membuat ketimpangan kesetaraan yang membuat pihak warga mengalami tekanan untuk sepakat. Meski di atas kertas dianggap sah, namun hubungan hukum yang tercipta sebenarnya tidak sah secara hukum, sebab kesepakatan yang di bawah tekanan atau intimidasi tidak memenuhi unsur ‘sepakat’ sebagai syarat sahnya perjanjian dalam KUHPerdata.
2.3.4. Berpotensi Memperparah Pelanggaran Tata Ruang dan Alih Fungsi Zona
Perubahan skema Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung dalam Cipta Kerja dengan menggunakan penggunaan sistem submisi online dalam proses permohonannya di satu sisi dapat memangkas birokrasi, namun, di sisi lain bisa bermasalah dalam hal koordinasi pusat dan daerah.[4] Kewenangan menerbitkan persetujuan diberikan langsung kepada Pemerintah Pusat. Yang luput diperhatikan adalah potensi terjadinya praktik manipulasi desain pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan kondisi aktual di lapangan yang bisa saja terjadi. Hal ini dapat membuka celah pemberian persetujuan tanpa didahului pengawasan di lapangan (inspeksi lapangan). Pendekatan demikian dikhawatirkan dapat mengurangi prinsip kehati-hatian dan kecermatan dalam proses penerbitan suatu ‘izin’. Selain itu, konsekuensi dari penggunaan skema persetujuan akan melahirkan birokrasi berjenjang dalam konteks penegakkan hukum. Persetujuan sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang sifatnya bescikkhing habya dapat dibatalkan oleh instansi yang menerbitkannya (asas contrarius actus). Dalam konstruksi RUU Cipta Kerja Pemerintah Pusat berperan eksklusif untuk menerbitkan Persetujuan, sementara porsi Pemerintah Daerah dibatasi menjadi hanya untuk menindak. Skema baru ini patut diprediksi akan menimbulkan kesulitan dalam wilayah penegakan hukum, khususnya pada kasus-kasus yang membutuhkan penanganan cepat, karena keberadaan gap kewenangan antara daerah dan Pusat.
2.3.5. Bercorak Diskriminatif dalam Penegakan Hukum: Melunak Kepada Investor, Tapi Menormalkan Kriminalisasi terhadap Warga
RUU Cipta Kerja mengubah pendekatan penghukuman bagi pelaku usaha dengan skema berjenjang, yang artinya, dalam hal terjadi pelanggaran hukum, penegak hukum akan mendahulukan penggunaan sanksi administratif (seperti denda hingga pencabutan izin usaha) untuk menjerat pelaku usaha, dan jika penghukuman sebelumnya tetap tidak berhasil, baru penegakan hukum pidana dapat dilakukan. Skema ini dimaksudkan agar proses penegakan hukumnya tertib pada asas ultimum remedium, di mana hukum pidana dijadikan the last resort (upaya terakhir). Akan tetapi, pendekatan yang lunak ini nyatanya hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha, sementara bagi masyarakat (yang menolak penggusuran paksa) RUU Cipta Kerja sama sekali tidak membawa kebaruan apapun. Omnibus Law sama sekali tidak menyinggung instrumen UU PRP No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak, yang seringkali dijadikan senjata oleh aparat penegak hukum untuk mengkriminalisasi warga. Padahal, jika memang Omnibus Law sejak awal dimaksudkan untuk menjadi instrumen hukum yang reformatif, Pemerintah dapat mencabut UU PRP No. 51 Tahun 1960 yang sudah tidak relevan dengan zaman melalui Omnibus Law ini. Selain itu, kecenderungan aparat kepolisian untuk menggunakan delik-delik tanah di KUHP, seperti Pasal 167 dan Pasal 385 KUHP, untuk menekan warga dalam proses musyawarah dalam pembebasan lahan akan terus terjadi, karena pemerintah masih mempertahankan cara-cara represif untuk mendisiplinkan warga, yang sayangnya, justru tampak kehilangan ketegasannya ketika berhadapan dengan investor.
3. KESIMPULAN & REKOMENDASI
Berdasarkan uraian berbagai persoalan yang diciptakan RUU Cipta Kerja di atas, maka dalam Kertas Kebijakan ini LBH Jakarta menyimpulkan bahwa:
- RUU Cipta Kerja merupakan produk hukum yang tidak demokratis dan sarat kepentingan elite oligarki.
- RUU Cipta Kerja bukan terobosan yang tepat untuk menyelesaikan masalah investasi, selain karena kenyataannya justru memperbanyak regulasi teknis pelaksanaan, juga mempertontonkan watak rezim yang sangat mudah terdikte oleh kaum pemodal.
- Pertumbuhan ekonomi yang dicita-citakan RUU Cipta Kerja tidak akan pernah terjadi, bila hak-hak pekerja dikorbankan dan kesenjangan ekonomi di masyarakat terus dibiarkan.
- RUU Cipta Kerja hanya akan memperbanyak lembar koleksi konflik sosial di masyarakat urban karena filosofinya hanya mengakomodir kepentingan kalangan pemodal.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, LBH Jakarta merekomendasikan kepada pemangku kebijakan, dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI, untuk secepatnya:
- Menghentikan seluruh proses pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja demi kepentingan Rakyat Indonesia.
- Mencabut draf RUU Cipta Kerja dari Program Legislasi Nasional.
- Mengedepankan dan memperkuat perlindungan serta pemenuhan hak-hak masyarakat, termasuk kelompok pekerja.
- Menggalakkan gerakan pemberantasan korupsi yang notabene merupakan penyebab segala masalah sosial.
- Menanggalkan wacana Pemerintah terkait pembangunan yang tidak memperhatikan rakyat.
***
[1] “Typo dalam UU KPK Dinilai Indikasi Pembahasan Amburadul”, CNN Indonesia, (8 Oktober 2019), diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191008212215-12-437914/typo-dalam-uu-kpk-dinilai-indikasi-pembahasan-amburadul
[2] “Poin-poin Masalah RUU Cilaka atau Cipta Kerja Menurut PSHK”, Tirto, (15 Februari 2020), diakses dari https://tirto.id/poin-poin-masalah-ruu-cilaka-atau-cipta-kerja-menurut-pshk-ezbP
[3] Berikut ini adalah daftar cuti pekerja yang dihilangkan tersebut: Haid, Menikah, Menikahkan, mengkhitankan anak, membabtiskan anak, melahirkan, keguguran kandungan, anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia, menjalankan kewajiban terhadap negara, menjalankan ibadah yang diperintahkan agama, melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh, dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
[4] Berdasarkan wawancara dengan narasumber ahli hukum agraria, Vera Soemarwi, tanggal 3 April 2020.