Selasa, 6 Februari 2024, Ketua DPR RI, Puan Maharani menerima supres perihal penyampaian penugasan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ). Setelah ditetapkan masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023, surpres ini merupakan pertanda bahwa beleid tersebut akan segera disahkan.
LBH Jakarta menilai bahwa Surpres terkait RUU DKJ ini adalah wujud legislasi lancung perusak demokrasi, yang tidak sama sekali berorientasi pada kepentingan publik. Hal tersebut ditandai dengan proses yang terkesan terburu-buru dan mengabaikan prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation). Terlebih, salah satu ketentuan di dalamnya akan meniadakan proses demokrasi langsung di Jakarta.
Lebih lanjut, LBH Jakarta berpandangan sebagai berikut:
Pertama, RUU DKJ digodok secara terburu-buru tanpa memberi ruang partisipasi yang bermakna bagi publik. Wakil Ketua Baleg DPR RI, Achmad Baidowi bahkan menyebut bahwa beleid ini harus rampung pada 15 Februari 2024. Padahal, mulai 6 Februari 2024, DPR RI memasuki masa reses hingga 4 Maret 2024 mendatang.
Dalam konteks ini, jelas proses pembentukan RUU DKJ telah meminggirkan kaidah konstitusional dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 91/PUU-XVIII/2020, yang menjamin hak warga untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation) dalam dalam tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut karena dalam rentang waktu yang sempit, menjadi mustahil bagi warga untuk dapat berpartisipasi secara bermakna di dalamnya.
Apabila nantinya disahkan, RUU DKJ akan menambah daftar panjang praktik legislasi buruk selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Seperti revisi UU KPK yang merusak sistem akuntabilitas dan penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia, atau pengesahan RUU Minerba dan RUU Omnibus Law Cipta kerja yang melegitimasi kerusakan lingkungan, perampasan lahan, dan pelemahan perlindungan pekerja/buruh.
Kedua, RUU DKJ bakal memperparah kerusakan mendasar dalam sistem demokrasi di Indonesia, yakni mengenai posisi kedaulatan rakyat yang salah satunya mewujud dalam bentuk pemilihan langsung.
Pemilihan kepala daerah tidak langsung justru menyebabkan Indonesia mundur puluhan tahun ke belakang seperti di masa rezim otoritarian orde baru. Padahal, sistem pemilihan tidak langsung di masa lalu telah terbukti gagal dan hanya menyisakan problem korupsi, ketimpangan, dan kesewenang-wenangan yang sedikit banyak masih dirasakan hingga kini.
Ketiga, RUU DKJ berpotensi merusak prinsip otonomi daerah dan desentralisasi sebagai mandat dan agenda reformasi. Padahal, prinsip tersebut merupakan penanda perubahan sekaligus antitesis dari rezim otoriter orde baru yang sentralistik dan cenderung tidak memperhatikan kompleksitas khas suatu daerah.
Dalam catatan Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (KOPAJA), terdapat 9 permasalahan krusial dan mendesak di Jakarta yang hingga kini belum mampu diselesaikan. Permasalahan tersebut sebenarnya hanya dapat dijawab dengan solusi yang demokratis dan berbasis ilmu pengetahuan. Dengan pemilihan Kepala Daerah tidak langsung, dikhawatirkan permasalahan di Jakarta akan semakin kompleks karena kebijakan yang dikeluarkan tak lepas dari relasi patronase antara Presiden dengan Kepala Daerah yang ditunjuk, sehingga menjadi tidak partisipatif dan tidak berorientasi pada pemecahan masalah.
Tak sampai di situ, dengan mengingat posisi strategis Jakarta–secara ekonomi dan politik–yang kerap dijadikan percontohan bagi daerah-daerah lain, bukan tidak mungkin jika RUU DKJ menjadi proyek percontohan (pilot project) yang diikuti dan diterapkan di daerah lain.
Keempat, pengabaian terhadap prinsip partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dan materi muatan RUU DKJ yang meniadakan demokrasi langsung menimbulkan prasangka bahwa Jakarta hanya akan dijadikan “bancakan” di tengah menguatnya dinasti dan kartelisasi politik di Indonesia.
Sejak mulusnya jalan Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden dan keponakan eks Ketua MK masuk ke dalam kontestasi Pilpres 2024 dengan berbagai pelanggaran etik–baik oleh eks Ketua MK maupun Ketua KPU, sulit bagi publik untuk tidak curiga bahwa kedekatan dengan Presiden merupakan salah satu faktor penentu bagi posisi politik di Indonesia
Dengan lanskap politik yang nyaris tanpa oposisi dan cenderung dikuasai oleh segelintir golongan, alih-alih dipimpin oleh Kepala Daerah yang lahir dari proses politik yang demokratis, bukan tidak mungkin ke depan, prasyarat informal untuk menjadi Kepala Daerah di Jakarta adalah kedekatan dengan Presiden, baik secara politik maupun kekeluargaan.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, kami mendesak agar Presiden RI dan DPR RI segera menghentikan proses pembentukan RUU DKJ dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
Presiden RI menarik Surpres tentang penugasan wakil pemerintah untuk membahas Rancangan Undang-undang tentang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ); DPR RI membuka ruang partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation) dalam pembahasan RUU DKJ.
Jakarta, 6 Februari 2024
Hormat kami,
LEMBAGA BANTUAN HUKUM (LBH) JAKARTA