Pemprov DKI Jakarta berencana merevisi Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 (“Perda 2/2020”) pada akhir Juli 2021 ini. Revisi tersebut terkait penambahan sanksi pidana kurungan dan denda bagi masyarakat yang tidak menggunakan masker secara berulang serta sanksi pidana bagi pelaku usaha yang mengulangi pelanggaran protokol kesehatan yang termuat dalam Pasal 32A dan 32B. Tidak hanya itu, Satpol PP juga diberikan kewenangan penyidikan yang meliputi upaya paksa seperti pemeriksaan dan penyitaan atas pelanggaran Perda tersebut yang dimasukan dalam ketentuan Pasal 28A.
Melonjaknya angka penyebaran Covid-19 di DKI Jakarta secara signifikan pada pertengahan 2021 menjadi alasan Pemprov DKI Jakarta merumuskan ketentuan pemidanaan terhadap masyarakat terkait protokol kesehatan. Dalam penjelasannya, upaya tersebut dilakukan untuk memberikan efek jera bagi masyarakat agar mematuhi protokol kesehatan. Meskipun Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta menyatakan akan menunda pembahasan, namun wacana dan proses revisi tersebut masih terus bergulir.
Terhadap hal tersebut, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Urban Poor Consortium (UPC), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) secara tegas menolak revisi tersebut dengan alasan berikut:
Pertama, alasan revisi cenderung hanya sepihak menyalahkan warga sebagai penyebab meningkatnya angka penularan Covid-19 di DKI Jakarta tanpa mengevaluasi pola komunikasi dan tanggung jawab hukum yang diemban pemerintah dalam penanganan Covid-19. Penegakan hukum protokol kesehatan di DKI Jakarta dengan Perda 2/2020 masih belum konsisten dan adil diterapkan kepada seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut seringkali memicu ketidakpercayaan publik pada pemerintah yang akan menghambat penanganan Covid-19. Alih-alih menambah sanksi pidana, konsistensi penegakan hukum, edukasi masyarakat dan transparansi data adalah hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk mendorong tertib hukum dalam masyarakat.
Kedua, sanksi pidana berpotensi menyasar dan menambah kesengsaraan masyarakat miskin kota yang bergantung hidupnya pada pekerjaan informal harian di luar rumah. Sebagaimana telah terdokumentasikan di berbagai peliputan media, masyarakat miskin terpaksa keluar rumah untuk dapat bertahan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Maret 2021, penduduk miskin di DKI Jakarta mencapai 501,92 ribu jiwa, meningkat 21.080 jiwa sejak Maret 2020 sebelum pandemi Covid-19. Angka tersebut belum termasuk besarnya angka masyarakat rentan miskin khususnya pasca bertambahnya pengangguran selama pandemi. Dengan kondisi kesejahteraan masyarakat yang demikian menurun, penerapan sanksi pidana tidak akan efektif dan hanya menjadi kebijakan yang tidak sensitif serta akan menambah kesengsaraan masyarakat.
Ketiga, upaya mengatur sanksi pidana bagi masyarakat hanyalah bentuk pengalihan dari kegagalan pemerintah melaksanakan tanggung jawab dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Upaya pengendalian Covid-19 tidak akan berhasil dilakukan tanpa menjamin kebutuhan hidup harian warga dan akses kesehatan yang layak dan gratis bagi seluruh lapisan masyarakat. Alih-alih mempidanakan, pemerintah perlu memperbaiki kesimpangsiuran data penerima bantuan sosial serta tidak meratanya penyaluran bantuan sosial di DKI Jakarta yang terjadi hingga awal tahun 2021. Adanya sistem informasi yang transparan, mekanisme komplain yang terukur hingga efisiensi dan re-alokasi anggaran perlu jadi prioritas, apalagi setelah terbongkarnya mega korupsi bantuan sosial untuk wilayah Jabodetabek oleh Kementerian Sosial yang menimbulkan ketidakpercayaan publik yang sangat besar kepada pemerintah.
Keempat, Pemprov DKI perlu mengevaluasi ulang pemberian kewenangan penyidikan kepada Satpol PP yang ditegaskan kembali dalam revisi tersebut. Selain menimbulkan tumpang tindih kewenangan dengan kepolisian dalam penegakan peraturan di daerah, hal ini juga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan, mengingat besarnya kewenangan yang diberikan kepada Satpol PP serta masih maraknya kekerasan dan praktik pungutan liar yang terjadi selama ini dalam korps tersebut.
Atas dasar tersebut, kami menuntut:
- Gubernur DKI Jakarta dan Ketua DPRD DKI Jakarta untuk membatalkan Rencana Perubahan Perda 2 Tahun 2020;
- Pemprov DKI Jakarta agar mengevaluasi dan mencabut aturan terkait kewenangan penyidikan Satpol PP;
- Pemprov DKI Jakarta agar melakukan persuasi kepada masyarakat dengan menjamin keterbukaan informasi dan penyebaran informasi yang merata terkait penanganan Covid-19 dan akses terhadap jaminan sosial.
Link Streaming Konferensi Pers: https://youtu.be/SvmJvHyO0rw