Rilis Pers
Jakarta, 9 Mei 2025 – 1 Mei menjadi sebuah momentum peringatan Hari Buruh Internasional (May Day). Dalam rangka memperingati hari tersebut, berbagai dibantu masyarakat sipil yang terdiri dari buruh, mahasiswa, aktivis, dan lain-lain melakukan aksi konservasi di berbagai daerah. Aksi ini menuntut sejumlah hak yang harus dipenuhi oleh negara, salah satunya adalah kesejahteraan buruh. Di Indonesia, aksi peringatan Hari Buruh Internasional 2025 diperingati di beberapa daerah. Di Jakarta, peringatan Hari Buruh internasional terbelah menjadi dua. Pertama, peringatan yang diselenggarakan oleh serikat buruh buruh yang terdiri dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, Partai Buruh. Sementara pada agenda peringatan Hari Buruh Internasional yang lainnya dilaksanakan di Monas dan dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto.
Aksi yang dimobilisasi oleh GEBRAK di Jakarta, dijaga oleh 4.793 aparat gabungan TNI dan Polri. Melihat situasi tersebut dan dari banyaknya pengalaman adanya tindakan represif aparat saat aksi Koalisi Masyarakat Sipil mencoba melakukan pemantauan terhadap aksi peringatan hari buruh pada tanggal 1 Mei 2025 di berbagai daerah. Dari pemantauan langsung di lapangan maupun berita dan media sosial, kami menemukan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap massa aksi di 4 kota/kabupaten di Indonesia dengan setidaknya 20 korban mengalami luka-luka dan 58 orang mengalami penangkapan dan dilewati secara sewenang-wenang. Selain 2 bentuk tersebut, kami menemukan kekerasan lain seperti penggunaan kekuatan yang berlebihan, penyiksaan, dan pelarangan rekaman oleh jurnalis.
Kami menganalisis serta melihat berbagai bentuk kekerasan tersebut dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi yang relevan terkait bentuk kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian selama aksi Mayday 2025. Di Jakarta, terlihat bahwa kelompok menggunakan baju hitam sebagian besar justru tidak melakukan serangan secara agresif ke kepolisian, namun mundur bersama dengan barisan berbaju merah.
Lebih lanjut berdasarkan pemantauan yang telah kami lakukan tersebut, kami menemukan fakta serta adanya pola pengamanan aksi massa yang kami nilai hal tersebut dilakukan secara serampangan dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan. Berikut adalah temuan lapangan dari 3 daerah yang berhasil kami dapatkan: :
Pertama, Adanya tindak kekerasan terhadap petugas medis. Kekerasan kepada petugas medis ini terjadi di Jakarta Pusat, 1 Mei 2025. Dari beberapa dokumentasi yang dikumpulkan, tampak sekitar puluhan aparat kepolisian yang mengepung petugas medis. Pengepungan itu dilanjutkan dengan upaya penggeledahan paksa, intimidasi, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang kepada petugas medis.
Kedua, Kekerasan fisik, diantaranya adalah: aksi massa yang dipukul pada bagian kepala, dada, dan sekujur tubuh, ditendang, dipiting, diinjak dengan sepatu lars, dilindas dengan kendaraan bermotor. Bahkan kekerasan fisik berulang serta terus menerus ketika penangkapan tersebut dilakukan dalam durasi 3-4 menit.
Ketiga, Penjebakan penangkapan dengan menggunakan ambulans. Tindakan ini terjadi di Semarang, 1 Mei 2025. Hal ini merupakan bentuk penjebakan (penjebakan) yang dilakukan oleh aparat kepolisian dengan motif menangkap puluhan massa aksi yang ingin mengakses fasilitas kesehatan di dalam ambulans tersebut.
Keempat, pembingkaian buruk terhadap massa aksi. aparat kepolisian melakukan tindakan pembingkaian (framing) kepada massa aksi yang melakukan intimidasi dengan tuduhan sebagai kelompok Anarko. Pernyataan itu jelas menunjukkan upaya mendegradasi gerakan masyarakat sipil yang melaksanakan hak ekspresi dengan melakukan “pembunuhan karakter” terhadap aksi massa yang ditangkap oleh aparat kepolisian.
Kelima, kekerasan seksual terhadap perempuan. Salah satu korban juga memberikan buktinya melalui akun X pribadinya. Dalam kesaksiannya, korban mengaku diteriaki oleh aparat kepolisian dengan sebutan ‘lonte’, ‘pukimak’, hingga menarik baju dalam korban. Selain itu, dalam dokumentasi tersebut, terlihat seorang perempuan yang ditarik paksa untuk ditangkap oleh aparat kepolisian.
Keenam, pengepungan kampus oleh aparat Kepolisian. Saat massa aksi sudah menyelamatkan diri ke dalam salah satu kampus di Jawa Tengah, nampaknya sekitar ratusan aparat kepolisian serta orang-orang yang tidak dikenal memadati sekitaran kampus untuk mengepung massa aksi di dalam kampus. Hal ini mengakibatkan banyak massa aksi mengalami ketakutan.
Ketujuh, penggunaan kekuatan berlebihan. Penggunaan secara kekuatan berlebihan, yakni dengan senjata pengontrol massa yang serampang. Berdasarkan dokumentasi yang dikumpulkan, terlihat sejumlah penggunaan senjata pengendali massa seperti gas air mata dan meriam air (water canon) yang digunakan secara massal tanpa menimbulkan dampak yang cukup berbahaya bagi warga sipil.
Kedelapan, proses pemeriksaan yang tidak manusiawi. Penyiksaan psikis juga ditemukan saat melakukan pendampingan terhadap Peserta Aksi di Polda Metro Jaya. Kesemua massa aksi diperiksa sejak 1 Mei 2025 malam hingga 2 Mei 2025 pagi. Bahkan hingga sekitar pukul 05.00 WIB (2 Mei 2025) dalam kondisi fisik yang kelelahan dan luka-luka sehabis aksi dan kesakitan akibat mengalami kekerasan
Kesembilan, penutupan akses fasilitas publik. Pagi hari sebelum aksi dilakukan, Polisi telah menutup beberapa fasilitas umum dengan dalih sebagai bagian dari “pengamanan”. Namun faktanya hal ini justru mengganggu fasum pengguna dan membuat akses membujuk juga tertutup seperti JPO Jalan Gatot Subroto yang merupakan satu-satunya jembatan yang dapat digunakan.
Lebih lanjut, pola-pola tersebut diatas sebenarnya bukanlah hal baru yang kami temukan dalam pemantauan pengamanan massa aksi. Pola diatas juga kami temukan dalam proses-proses pengamanan aksi sejak tahun 2019, tepatnya aksi #ReformasiDikorupsi hingga Tolak RUU TNI pada Maret 2025 lalu. Hal ini menunjukkan bahwa Institusi Kepolisian tidak memiliki upaya perbaikan maupun pengawasan yang ketat dalam melaksanakan tugas-tugas pengamanan mereka. seolah-olah Kepolisian digunakan sebagai alat untuk mengkriminalisasi serta membungkam suara-suara kritis masyarakat melalui tindak kekerasan serta intimidasi terhadap setiap aksi yang dilakukan. Tentunya situasi ini sangat membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Oleh karena itu berdasarkan temuan-temuan tersebut di atas Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), mendesak:
Pertama, Pemerintah dapat menjalankan kewajibannya sebagai pengemban tugas Hak Asasi Manusia agar dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran yang dapat kembali terjadi dimasa yang akan datang;
Kedua, Kepolisian Republik Indonesia dapat melakukan evaluasi secara menyeluruh atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas pengamanan aksi serta melakukan proses hukum bagi para anggota yang melakukan pelanggaran. Proses hukum tidak hanya berhenti pada tahapan etik, tetapi juga harus diadili melalui hukuman pidana guna memberikan hukuman yang setimpal;
Ketiga, Kompolnas untuk segera melakukan investigasi/pendalaman secara komprehensif atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Kepolisian. Menegaskan pola yang terus berulang, perlu adanya rekomendasi tegas dan serius sebagai langkah pencegahan agar peristiwa ini tidak kembali terjadi di masa yang akan datang;
Keempat, Komnas HAM untuk segera berkonsultasi serta melakukan penyelidikan pro-justisia atas serangkaian peristiwa pengamanan aksi yang selama ini telah terjadi.
Jakarta, 9 Mei 2025
Hormat kami,
Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD)
YLBHI – LBH Masyarakat – WALHI – Greenpeace Indonesia – KIARA – LBH Jakarta – KontraS – Trend Asia – ICJR – PBHI – Yayasan Lokataru – PSHK Indonesia – LBH Pers – IM57+ Institute – SAFEnet – AJI Indonesia – PPMAN – Amnesty International Indonesia – JATAM – Paralegal Jalanan Jakarta – AMAR PILO – LBH APIK Jakarta – ICW – PUSAKA Bentala Rakyat – Imparsial
Dokumen terkait Pola Kekerasan Aksi Mayday Tanggal 1 Mei dapat diakses di sini