Rilis Bersama Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)
Rencana Penghentian Swastanisasi Air Jakarta Tidak Partisipatif, Gubernur DKI Jakarta Berpotensi Rugikan Publik
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyampaikan kepada berbagai media bahwa kebijakan terkait penghentian swastanisasi air akan diumumkan pekan depan. Kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini diambil setelah adanya kajian oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air selama kurang lebih 6 bulan. Sayangnya, tawaran mekanisme penghentian swastanisasi air Jakarta yang ditawarkan oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air paska kajian tersebut merupakan mekanisme yang tidak menguntungkan masyarakat.
Hasil kajian dari Tim Evaluasi Tata Kelola Air menjadi dasar pengambilan kebijakan penghentian swastanisasi air yang akan dikeluarkan Gubernur DKI Jakarta. Proses kajian bahkan pengambilan kebijakan yang akan dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta dilakukan tanpa tranparansi publik, dalam hal ini masyarakat DKI Jakarta, yang mengalami dampak langsung dari swastanisasi air Jakarta. Selain itu, pengabaian partisipasi publik oleh Gubernur DKI Jakarta dilakukan dengan tidak hadir pada undangan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ) pada 4 Februari 2019. Terakhir, KMMSAJ juga telah mengajukan Permohonan Informasi publik terkait hasil kerja Tim Evaluasi Tata Kelola Air Minum dan audit independen terhadap PAM Jaya tahun 2018, namun hingga hari ini permohonan informasi publik belum ditanggapi. Ketiadaan niat membuka partisipasi publik terhadap pengelolaan air telah diingatkan jauh sebelumnya melalui berbagai agenda, termasuk demonstrasi peringatan hari air internasional oleh KMMSAJ di depan Balai Kota.
Minimnya transparansi dan partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan untuk menghentikan swastanisasi air Jakarta ini, merupakan kejadian berulang yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ketika melakukan perjanjian kerjasama dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT. PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta pada tahun 1997, dimana perjanjian kerjasama tersebut dibuat tanpa adanya transparansi dan partisipasi publik. Lebih lanjut, Gubernur DKI Jakarta berulang kali menyatakan bahwa “air adalah barang publik”, namun sayangnya Gubernur DKI Jakarta tidak melibatkan publik dalam mengambil kebijakan untuk menghentikan swastanisasi air di Jakarta. Hal ini menunjukan apa yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, kontra produktif dengan sikapnya dalam mengambil kebijakan. Minimnya transparansi dan partisipasi publik ini kemudian menghasilkan 3 mekanisme yang ditawarkan oleh Tim Tata Kelola Air paska kajian yang sudah dilakukan selama 6 bulan terakhir, dimana semua mekanisme yang ditawarkan ini sama sekali tidak memberikan solusi, namun justru berpotensi mengulang masalah dan menimbulkan persoalan baru terkait pengelolaan air di Jakarta.
Mekanisme pertama yang ditawarkan oleh Tim Evaluasi Tata Kelola Air adalah negosiasi ulang kontrak kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT. PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta. Menegosiasi ulang kontrak yang kerjasama, merupakan wujud sikap ketidakberpihakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dengan mentolerir kerugian yang dialami oleh negara dan masyarakat akibat kontrak ilegal swastanisasi air Jakarta selama 22 tahun.
Mekanisme kedua yang ditawarkan Tim Evaluasi Tata Kelola Air adalah pengambilalihan sebagian tata kelola air Jakarta sambil menunggu kontrak antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT. PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta berakhir pada tahun 2023. Air adalah kekayaan alam yang merupakan hajat hidup orang banyak, dan sudah seharusnya dikelola penuh oleh negara untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Pengambilalihan sebagian tata kelola air di Jakarta, sama saja dengan membiarkan sebagian pengelolaan air di Jakarta dikelola oleh swasta. Mekanisme ini merupakan pelanggaran hak konstitusional warga negara, bentuk tindakan melangkahi konstitusi yang juga sudah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1997.
Mekanisme ketiga yang ditawarkan Tim Evaluasi Tata Kelola Air adalah terminasi atau pembayaran uang deviden pengelolaan air, sebagaimana diatur dalam perjanjian kerjasama antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT. PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta. Mekanisme ini juga bukan merupakan mekanisme yang tepat, karena perjanjian kerjasama itu sendiri merupakan perjanjian yang inkonstitusional, melanggar hak konstitusional warga negara sehingga sudah semestinya batal demi hukum dan dianggap tidak berlaku. Dengan demikian, maka tidak satupun pasal dalam perjanjian kerjasama tersebut patut digunakan untuk pengambilan kebijakan penghentian swastanisasi air di Jakarta. Lebih lagi, mekanisme ini dilakukan dengan membayarkan sejumlah uang kepada pihak swasta, dimana uang pembayaran tersebut juga pasti bersumber pada pembayaran pajak masyarakat. Hal itu berarti, bukan hanya harus menanggung kerugian selama 22 tahun, masyarakat pun harus merelakan uangnya yang dibayarkan selama ini untuk “me-legal-kan” kerugian tersebut.
Oleh karena itu, Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ), mendesak :
1. Gubernur DKI Jakarta untuk bertindak tegas dan tidak hanya membuat janji palsu dalam menegakkan mandat Konstitusi untuk mengembalikan pengelelolaan Air oleh Negara untuk sebesar besarnya Kemakmuran rakyat.
2. Gubernur DKI Jakarta melibatkan publik dalam pengambilan kebijakan untuk menghentikan swastanisasi air dan pengembalian pengelolaan air di Jakarta pada Negara;
3. Gubernur DKI Jakarta menegakkan mandat Konstitusi dengan memutus kontrak antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan PT PAM Lyonnaise Jaya (PT. PALYJA) dan PT AETRA Air Jakarta.
4. DPRD DKI Jakarta untuk mengawasi rencana pengambilan keputusan pengambilalihan pengelolaan air Jakarta.
Jakarta, 7 April 2019
Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ)