LBH Jakarta kembali melanjutkan Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Buruh 2018 dengan materi “Hak Pekerja atas Kesehatan dan Jaminan Sosial” di Gedung LBH Jakarta (12/1). Narasumber pada materi ini adalah Andriko Otang, S.H., M.H., yang merupakan Direktur Trade Union Rights Centre (TURC).
Andriko Otang dalam pembahasan tentang “Hak Pekerja atas Kesehatan dan Jaminan Sosial”, menjelaskan jaminan sosial merupakan hak bagi pekerja atau buruh dan keluarganya sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 99 UU No. 13 Tahun 2003, “Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja”.
Hak tersebut juga dipertegas dengan Universal Declaration of Human Right Article 22 yang menyatakan “Everyone, as a member of society, has the right to social security …” serta dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28H Ayat (3) yang menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas jaminan sosial…”
Dalam pemaparannya, Andriko Otang menjelaskan program jaminan sosial yang pada dasarnya merupakan sebuah mekanisme mobilisasi dana masyarakat. Andriko Otang mengungkapakan bahwa dana jaminan sosial adalah akumulasi dana yang juga bermanfaat untuk membiayai investasi dalam negeri, sebelum dana itu digunakan untuk membayar program jaminan sosial. Contoh yang dekat adalah Malaysia, dana jaminan sosial telah menjadi engine of development dan menyelamatkan Malaysia dari krisis ekonomi.
Lebih lanjut, Andriko Otang juga menjelaskan dana jaminan sosial yang umum disebut BPJS. Menurutnya, BPJS sekarang menikmati perubahan status menjadi nirlaba, sehingga BPJS tidak membayar pajak dan dividen.
“Inilah salah satu keuntungan dari terbitnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Dana iuran dan hasil pengembangannya, seluruhnya dikembalikan kepada peserta untuk membiayai peningkatan manfaat jaminan sosial. Adapun bagi masyarakat yang tidak mampu, iuran jaminan sosialnya dibayar oleh negara, sesuai dengan amanat UUD 1945, dimulai dari program jaminan kesehatan,” jelas Andriko Otang.
Andriko Otang juga menyinggung soal data Badan Pusat Statistik (BPS) di tahun 2017. Menurut data BPS ada potensi peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai sekitar 87,8 juta pekerja (terdiri dari pekerja formal 39,1 juta, informal 40,7 juta, dan jasa konstruksi 8 juta), sedangkan yang telah menjadi peserta BPJS telah mencapai 42,7 juta dari 414.027 Badan Usaha. Sisanya, sebanyak 48,61% belum terakomodir dalam BPJS Ketenagakerjaan.
Dari data tersebut terlihat jelas bahwa reformasi jaminan sosial di Indonesia belum selesai. Reformasi jaminan sosial di Indonesia memakan waktu yang cukup panjang. Semenjak tonggak baru lahirnya jaminan sosial nasional melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), perlu tujuh tahun untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011. SJSN diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan dan standar kehidupan para pekerja, termasuk mereka yang berada di sektor informal. (Riyan)