Karya Latihan Bantuan Hukum (KALABAHU) 39 kembali digelar di gedung LBH Jakarta, Kamis (12/04). Pada sesi kali ini, para peserta mendapatkan materi mengenai Reformasi dan Militerisme. Materi ini dimaksudkan agar para peserta KALABAHU mengerti dan memahami perihal rerformasi dan militerisme di Indonesia secara komprehensif.
Materi tersebut difasilitasi oleh Gufron Mabruri wakil direktur program dari Imparsial, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang mengawasi dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia serta reformasi sektor keamanan d Indonesia.
“Kenapa kita perlu mendorong reformasi sektor keamanan, karena pada tahun 1998 ada perubahan politik, tidak hanya di tingkat nasional tetapi juga di tingkat global yang kemudian menuntut institusi keamanan terutama militer melakukan reposisi dirinya dalam konstelasi perkembangan politik” ujar Gufron
Ia menambahkan bahwa tidak ada garis tegas antara kekuatan lama dan kekuatan baru yang kemudian karena kekuatan lama memiliki kekuatan yang cukup untuk mempengaruhi proses transisi dan pada akhirnya reformasi keamanan terutama reformasi militer, cenderung berjalan sarat dengan negosiasi sehingga tidak semua agenda reformasi sektor keamanan dapat berjalan secara total dan menyeluruh.
“Beberapa agenda yang disuarakan oleh mahasiswa mengenai dwifungsi ABRI memang sudah dicabut secara formal, tidak ada lagi fraksi ABRI di parlemen, dan terbitnya Tap MPR perihal pemisahan dwifungsi ABRI tentu saja merupakan sebuah progres tetapi jika dibaca lagi agenda reformasi sektor keamanan, masih banyak agenda lain yang sampai hari ini belum selesai atau dituntaskan seperti reformasi peradilan militer yang belum direvisi yang sering menimbulkan ruang impunitas bagi kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer khususnya terkait pelanggaran hak asasi manusia” terang gufron
Selain itu menurut Gufron, restrukturisasi komando teritorial secara struktural belum terlaksana karena masih adanya Kodam, Korem, Koramil hingga di tingkat yang paling bawah, hal tersebut menjadi instrumen tentara berpolitik di daerah. Secara pengaturan normatif memang sudah dicabut, tetapi secara organisasi atau kelembagaan tetap ada sehingga tidak heran jika tentara masih tetap memainkan peran sosial politiknya terutama di daerah.
“Meskipun sipil memiliki ruang untuk mengontrol tentara, sipil harus mengakui batas-batas proporsionalitas tentara, di awal tahun 2000-an terutama di masa Gus Dur dinamika agenda pelaksanaan reformasi sektor keamanan menjadi era yang progresif, menjadi persoalan adalah adanya intervensi terlalu dalam di tubuh militer termasuk mengatur pergantian struktur TNI di tingkat bawah yang menimbulkan resistensi, jadi bilamana intervensi sipil terlalu dalam maka memunculkan resistensi yang kuat oleh militer kepada sipil” ujar Guforn.
Dari pemaparan yang disampaikan oleh fasilitator memunculkan gurat tanda tanya para peserta KALABAHU seperti Alex Remember dari Universitas Bengkulu “Apakah memang sebenarnya untuk negara demokratis perlu tidak adanya militer? Selain itu, apakah perlu sipil dipersenjatai?” tanya Alex.
Atas pertanyaan tersebut, sebelum dijawab oleh fasilitator, terdapat peserta yang mencoba menjawab “Jika sipil dipersenjatai maka akan menciptakan dan terjebak dalam sekuritisasi, yang bisa mengontrol TNI adalah kita-kita ini tanpa perlu dipersenjatai, alat kita adalah demokrasi dan HAM dalam mengontrol militer” jawab salah satu peserta KALABAHU.
“Kalau sipil dipersenjatai dapat membahayakan masyarakat sipil. kita harus membedakan militer dan ideologi militerisme yang kita lawan adalah ideologi militerisme, militer sebagai sebuah institusi plus dinamika ancaman yang berkembang, militer tetap dibutuhkan, dalam konteks indonesia tentara sebagai aktor pertahanan, tentara dibutuhkan dalam konteks menghadapi dinamika ancaman eksternal yang sedang berkembang. Pertanyaannya tentara seperti apa dan bagaimana yang kita inginkan untuk Indonesia? Tentu tentara yang menghormati prinsip demokrasi, menghormati hak asasi manusia tidak mengulangi kesalahan pada era atau masa sebelumnya, tidak berpolitik, tidak berbisnis dan sejahtera” ujar Gufron menjawab pertanyaan dari peserta KALABAHU LBH Jakarta 39.
Menjelang akhir sesi, fasilitator menjelaskan bahwa reformasi sektor keamanan di Indonesia belum usai hal ini dapat terlihat dari adanya masalah relasi sipil-militer saat ini antara lain keterlibatan militer dalam politik elektoral, kendali demokrasi belum maksimal dengan adanya berbagai MoU yang secara formil dan materil melanggar Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia, reformasi peradilan militer belum terlaksana, kesejahteraan anggota TNI belum terpenuhi dan belum maksimalnya transparansi dan akuntabilitas institusi TNI. (Andi M Rezaldy)