Press Rilis LBH Jakarta, 19 Agustus 2016
Hari Jadi ke 71 Mahkamah Agung RI:
Nomor: 1627/SK-Rilis/VIII/2016
Jumat, 19 agustus 2016, tepat dua hari setelah kemerdekaan Republik Indonesia ke- 71. Mahkamah Agung Republik Indonesia juga memperingati hari jadinya sebagai pemegang kekuasaan kehakiman bersama lembaga peradilan dibawahnya. Bagaimana kondisi Peradilan Indonesia saat ini, terlebih setelah mencanangkan reformasi birokrasi sejak tahun 2003?
Kondisi Peradilan Indonesia di bawah Mahkamah Agung RI semakin memprihatinkan, reformasi peradilan yang diharapkan masih jalan ditempat karena nyatanya tak membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Kekuasaan kehakiman Indonesia masih belum merdeka dari suap, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), dan maladministras. Kepercayaan masyarakat terhadap peradilan berada di titik nadir. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan kondisi dan kinerja lembaga peradilan di bawah MA sangat memprihatinkan dan penuh praktik korupsi. Temuan itu merupakan hasil investigasi ORI dalam upaya perbaikan, peningkatan kualitas pelayanan publik dan administrasi peradilan di Indonesia. Investigasi ORI berfokus pada pelayanan pendaftaran perkara, jadwal sidang, pemberian salinan dan petikan putusan.
Senada dengan Ombudsman RI, Komisi Yudisial dalam kurun waktu empat bulan pertama tahun 2016, telah menerima 488 laporan yang masuk langsung dari masyarakat, termasuk surat tembusan ke KY sebanyak 527 laporan. Jika diakumulasi, ada 1.060 laporan yang masuk. Ini menandakan masyarakat masih banyak yang kecewa dengan pelayanan pengadilan. Tak cukup data di atas, Dalam registrasi penanganan kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak april 2016, setidaknya ada 27 kasus yang melibatkan aparatur Mahkamah Agung. Tujuh panitera dan dua puluh hakim termasuk ketua pengadilan. Jajak pendapat harian Kompas, Senin 6 Juni 2016, menggambarkan 75,7 persen responden menilai citra hakim buruk. Citra hakim itu lebih buruk dibandingkan dengan citra panitera, kejaksaan, dan pengacara. Jajak pendapat juga menyimpulkan 8 dari 10 responden menilai reformasi peradilan belum berhasil dilaksanakan. Dibandingkan dengan negara tetangga berdasarkan World Justice Project Rule of Law 2015, Indonesia berada pada peringkat ke-74 dari 102 negara. Kondisi tersebut mengamini Indeks Rule of Law 2015 yang dirilis World Justice Project, yang menyatakan penegakan hukum di Indonesia sangat rendah. Hal tersebut menempatkan Indonesia di peringkat 52 (0.52) dari 102 negara dunia. Indonesia juga termasuk negara dengan peringkat terbawah di antara 15 negara Asia-Pasifik, yaitu di peringkat ke-10. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia dan Filipina. Salah satu penyumbang poin buruk pada pemeringkatan ini adalah rendahnya integritas dan etika di lingkungan peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 (dari 102 negara dunia) atau ke-14 (dari 15 negara Asia-Pasifik). Rendahnya posisi Indonesia juga dikarenakan sulitnya warga mendapat akses civil justice melalui peradilan. Pada dimensi ini, Indonesia berada di peringkat ke-83 (102 negara dunia) atau ke-13 (dari 15 negara Asia-Pasifik).
Sayangnya persoalan serius ini sampai detik ini, belum mendapatkan respon yang memadai dari Ketua MA sebagai pimpinan lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini menunjukkan jika MA tidak melihat persoalan mafia hukum atau korupsi yudisial sebagai sesuatu yang penting untuk segera diselesaikan. Sikap tidak jelas, khususnya Ketua MA, mengindikasikan bahwa MA tidak memiliki komitmen dalam melakukan pembenahan secara menyeluruh karena membiarkan praktek korupsi yudisial. Ketiadaan sikap yang tegas dan jelas dari pimpinan tertinggi MA tentu akan menggangu marwah dan martabat lembaga pengadilan. Lebih jauh, akan semakin menghancurkan kepercayaan publik terhadap pengadilan dan hukum Indonesia.
Menanggapi situasi tersebut, Kepala Bidang Fair Trial Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana menyatakan praktek buruk lembaga peradilan ini berdampak meluas.
“Ini masalah serius, masyarakat terlanggar haknya untuk memperoleh keadilan,” kata Arif.
Oleh karena itu, Rentetan kasus dan masalah yang terjadi di lembaga peradilan ini harus disikapi serius dan segera. Persoalan tersebut tidak boleh dianggap sebagai problem oknum atau personal semata, ini bukti adanya kelemahan mendasar dari sistem yang bekerja di MA dan pengadilan dibawahnya.
“Sistem pengawasan, rekrutmen, sistem transparansi, sistem administrasi putusan dan pembinaan di lembaga pengadilan harus segera diperbaiki, oleh karena itu langkah strategis dan radikal perlu diambil Mahkamah Agung,” tambah Arif.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Alghiffari Aqsa juga menyatakan bahwa LBH Jakarta dalam peringatan hari jadi ke 71 Mahkamah Agung ini, mendesak agar Ketua Mahkamah Agung mundur jika memang tidak mampu bersikap tegas untuk mengatasi permasalahan korupsi dan mafia peradilan yang terjadi di Lembaganya.
“LBH Jakarta Mendorong MA untuk serius berbenah mereformasi diri dengan menggandeng institusi hukum yang lain dan melibatkan partisipasi publik. KPK, Ombudsman dan Komisi Yudisial harus terlibat mendorong reformasi total Lembaga peradilan untuk melawan mafia peradilan dan memerangi korupsi peradilan secara sistematik dan menyeluruh,” tutup Alghif.
CP: Alghiffari Aqsa (081280666410), Arif Maulana (0817256167)