“Pelanggaran Konstitusi dan Hukum:
Refleksi Satu Tahun Penerapan Qanun Jinayat”
180 orang telah dicambuk di Aceh. Beberapa di antaranya dicambuk hanya karena pacaran atau berada terlalu dekat dengan lawan jenisnya
23 Oktober 2016, tepat satu tahun pemberlakuan Perda No. 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat (Qanun Jinayat) di Aceh. Qanun ini mengatur berbagai prilaku kriminal yang tidak diatur di dalam KUHP, seperti Khalwat[1], ikhtilath (mesum), khamar (alkohol), maisir (judi), zina, Musahaqqah, dan Liwath[2], dengan jenis hukuman pidana mencakup hukuman cambuk.
Sebagaimana ditegaskan dalam UUPA, bahwa Pemerintahan Aceh berpegang teguh pada Pancasila dan melaksanakan UUD 45. Prinsip ini harus dijalankan oleh Pemerintahan Aceh, termaksud dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait penerapan syariat Islam. Berangkat dari hal tersebut, kami sebagai Warga Negara memberikan catatan refleksi atas kebijakan Qanun Jinayat. Data Monitoring Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan sepanjang 2016, Mahkamah Syariah Aceh paling tidak telah memutuskan 221 putusan perkara Jinayat, dan sedikitnya 180 terpidana telah dieksekusi cambuk di seluruh wilayah Aceh sejak Januari sampai dengan September 2016. Masih berdasarkan hasil monitoring tersebut, 5 besar daerah yang memutus perkarra Jinayat terbanyak adalah Banda Aceh, sebanyak 40 perkara, Kualasimpang 29 perkara, Kutacane 24 perkara, Blangkejeren dan Jantho 21 perkara dan Langsa sebanyak 17 perkara.
Qanun ini banyak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia yang lebih tinggi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain UUD 1945, Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), UU HAM, KUHP, Ketentuan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Konvenan Hak Sipil dan Politik, Konvensi Anti Penyiksaan, dan UU Perlindungan Anak. Qanun Jinayat juga melegitimasi penggunaan hukm badan/tubuh (Corporal Punishmen) di Indonesia yakini cambuk yang juga bertentangan dengan Hukum di Indonesia. Sistem pemidanaan di Indonesia secara tegas melarang penggunaan hukum cambuk.
Sejak dari proses pembentukanya Qanun ini terkesan dipaksakan dengan pembahasan diburu-buru, serta tidak melibatkan dan mempertimbangkan banyak masukan masyarakat. Pemantauan Solidaritas Perempuan di 5 wilayah di Aceh menyebutkan sebanyak 97% perempuan tidak mendapatkan informasi mengenai pembentukan Qanun Jinayat. Padahal perempuan justru sangat rentan menjadi korban yang terdiskriminasi dalam Qanun ini.
Qanun Jinayat berpotensi mengakibatkan kekerasan berlapis terhadap perempuan. Dalam pasal 48 Qanun ini korban pemerkosaan justru dibebankan dengan menyediakan alat bukti permulaan. Padahal sulit mencari saksi dalam pemerkosaan dan korban perkosaan pun mengalami dampak psikologis dan trauma yang mengakibatkan sulitnya penyediaan alat bukti. Sebaliknya pelaku pemerkosaan justru dapat mudah lepas dari hukum hanya dengan 5 kali sumpah. Hal ini berpotensi besar terhadap viktimisasi korban perkosaan bahkan korban perkosaan juga berpotensi dilaporkan balik.
Implentasai Qanun Jinayat juga berdampak pada kekerasan lebih lanjut terutama bagi perempuan. Eksekusi cambuk di hadapan publik akan menimbulkan trauma dan pelabelan negatif yang berdampak pada pengucilan dan peminggiran perempuan. Lebih jauh lagi, eksekusi hukuman cambuk juga mengahasilkan budaya kekerasaan di masyarakat Aceh, apalagi setiap dieksekusi dipertontonkan di hadapan masyarakat termaksud anak-anak.
Dalam pelaksanaan satu tahunya Jaringan Masyarakat Sipil melihat implementasi Qanun Jinayat juga sarat akan pelanggaran. Terjadinya kasus salah tangkap, kekerasan oleh pihak Wilayah Hisbah dan pelaksanaanya yang diskriminatif karena tidak berlaku untuk beberapa orang yang memiliki jabatan tertentu menunjukkan Qanun ini tidak mencerminkan keadilan.
Penggunaan Qanun Jinayat juga tidak disertai Hukum Acara yang memenuhi standar Fair Trial. Proses peradilan banyak mengabaikan hak-hak tersangka seperti ketersediaan advokat dan bantuan hukum termaksud penggunaan upaya paksa. Akses terhadap putusan-putusan peradilan Mahkamah Syariah juga tidak tersedia secara akurat dan menyulitkan hak-hak para pencari keadilan. Keberadan Qanun Jinayat juga mendiskriminasi kelompok minoritas yang ada di Aceh, sehingga kelompok minoritas terancam mengalami diskriminasi, kekerasan dan kriminalitas. Hal ini juga akan mengancam keberagamaan dan berdampak pada pelanggaran hak beribadah dan berkeyakinan maupun hak berekspresi.
Melihat berbagai persoalan yang ditimbulkan, tak heran bahwa masyarakat sipil yang baik di Aceh maupun secara nasional menyuarakan kritikan terhadap Qanun Jinayat. Berbagai upaya telah dilakukan mulai dari dialog dengan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh hingga mengajukan permohonan Judicial Review melalui Mahkamah Agung. Satu tahun implementasi Qanun Jinayat semakin membuktikan bahwa qanun ini tidak memberi perlindungan bagi warganya tetapi justru melanggar Hak Asasi Manusia termaksud Hak Asasi Perempuan.
Untuk itu Kami yang tergabung Jaringan Masyarakat Sipil untuk Qanun Jinayat dalam, menuntut:
1. Pemerintah pusat khususnya presiden, Kementerian Dalam Negeri dan Mahkamah Agung untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Qanun Jinayat secara keseluruhan;
2. Pemerintah Aceh melakukan evaluasi dan merevisi Qanun Jinayat yang terbukti diskriminatif;
3. Masyarakat Aceh di setiap lapisan untuk terus mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat yang sarat akan kekerasan, diskriminasi dan pelanggaran;
4. Masyarakat Indonesia secara umum juga turut mengawasi pelaksanaan Qanun Jinayat dan kebijakan diskriminatif lainya di beberapa daerah Indonesia, sehingga kebijakan diskriminatif tidak semakin menyebar ke daerah-daerah lainya;
5. Organisasi Internasional untuk terus mengawasi dan melakukan tindakan dalam menghentikan berbagai kebijakan diskriminatif khususnya Qanun Jinayat yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan diskriminasi terhadap masyarakat khususnya perempuan, anak-anak, kelompok disabilitas, Agama minoritas dan LGBT.
Jakarta, 24 Oktober 2016
Jaringan Masyarakat Sipil Untuk Advokasi Qanun Jinayat
Soloidaritas Perempuan (SP). Institute Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Human Rights Working Group (HRWG). kontraS. Serikat Jurnalistik Untuk Keberagaman (Sejuk). LBH Keadilan Bogor Raya. Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). LBH Apik. CEDAW. Working Group Initiative (CWG). Pusat Studi Hukum dan Kebijakan. Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah (JMPS). AJI Aceh. LBH Aceh. Kontras Aceh. Lingkar Sahabat SP Aceh
[1] Berdua-duaan laki-laki dan perempuan di tempat sepi
[2] Musahaqqah: menggesek-gesekkan kelamin perempuan, liwath: anal seks